Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pemerintah menaikkan tarif PPN khusus barang mewah dan mengeluarkan diskresi tak menaikkan pajak barang konsumsi.
Prabowo mengabaikan kesempatan tiga bulan membuat kebijakan yang sesuai dengan tata kelola.
Publik memang tidak marah terhadap kenaikan PPN, tapi cara menyiasatinya tak proper.
TERBITNYA Peraturan Menteri Keuangan Nomor 131 Tahun 2024 yang mengatur perhitungan pajak pertambahan nilai (PPN) menunjukkan cara serampangan pemerintahan Prabowo Subianto membuat kebijakan. Ia dan Kementerian Keuangan mengakali perintah undang-undang dengan cara populis secara tidak tepat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan mengamanatkan PPN naik dari 11 persen menjadi 12 persen pada 1 Januari 2025. Publik menolak kebijakan ini karena ekonomi sedang lesu: daya beli melemah, kelas menengah berkurang, pemutusan hubungan kerja terjadi di banyak industri. Berdalih mengakomodasi kepentingan publik, Prabowo membatalkan kenaikan tarif PPN untuk barang konsumsi, tapi tetap memberlakukannya pada barang mewah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sepintas cara Prabowo itu bisa meredam kemarahan publik. Namun diskresi ini buruk dalam pembuatan kebijakan. Jika benar tak ingin menambah beban masyarakat melalui kenaikan tarif PPN, ia seharusnya mengusulkan perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 itu. Sejak dilantik pada 20 Oktober 2024, ia berkesempatan mendiskusikan kenaikan tarif PPN dengan Dewan Perwakilan Rakyat.
Alasan Prabowo meminta revisi itu sangat kuat. Selain ekonomi sedang lesu, kenaikan PPN tak sejalan dengan janji kampanyenya yang tak akan menaikkan tarif pajak, melainkan meluaskan rasio pajak untuk menambah penerimaan negara. Prabowo tak memakai kesempatan tiga bulan sejak menjabat untuk mendiskusikan kebijakan penting ini.
Ia terkesan maju-mundur dengan kebijakan itu. Kenaikan tarif PPN 1 persen membuat ia tergiur oleh peningkatan pendapatan yang mencapai Rp 75 triliun. Tambahan penerimaan negara ini bisa ia pakai untuk menjalankan program unggulannya, yakni proyek makan bergizi gratis. Akibatnya, ia menunggu reaksi publik terhadap perintah kebijakan itu dan berakhir dengan akal-akalan menyiasati regulasi.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati berakrobat mencari cara agar bisa memenuhi keinginan Prabowo mendapatkan sumber pendanaan makan siang gratis seraya berpura-pura mengakomodasi protes publik. Hasilnya, PPN tetap naik untuk barang mewah, sementara tarif PPN barang konsumsi tetap 11 persen. Direktorat Jenderal Pajak menemukan “nilai lain” dalam Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai untuk barang konsumsi yang diakomodasi dengan formula tanpa dasar hukum 11/12 x 12 persen.
Utak-atik aturan ini semestinya tak terjadi jika Prabowo dan para menterinya menjalankan pengelolaan negara secara benar. Undang-undang bukan barang suci yang tak bisa diubah. Apalagi Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan dibuat pada 2021, ketika keadaannya berbeda dibanding pada hari ini. Dengan mayoritas anggota DPR berasal dari partai koalisinya, tak susah bagi Prabowo meminta revisi undang-undang tersebut.
Dengan jalan pintas mengakali aturan, Prabowo sebenarnya ingin menaikkan tarif pajak yang membebani publik itu untuk memenuhi program prioritasnya. Ia tak peduli para pemilihnya yang mayoritas berasal dari kelas menengah-bawah terpukul akibat kebijakan itu. Kini ia tampil seperti pahlawan dengan batal menaikkan tarif PPN barang konsumsi meski tak memakai cara yang proper.
Dalam lima tahun ke depan, kita mungkin akan makin sering melihat cara amatiran mengelola negara ala Prabowo. Akal-akalan tarif PPN baru satu cara di awal pemerintahannya yang mengabaikan tata kelola pemerintahan yang baik. ●