Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

lingkungan

Cetak Sawah Tumbuh Sawit. Kok Bisa?

Program food estate atau cetak sawah di Kalimantan Tengah terbengkalai. Justru berubah menjadi perkebunan sawit perusahaan. 

3 November 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

E

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MPAT tahun lalu, Arman, 37 tahun, ikut menanam padi di lahan desanya di Tajepan, Kecamatan Kapuas Murung, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah. Ada 283,6 hektare lahan di desa Arman yang masuk program food estate atau lumbung pangan yang digagas presiden ke-7 Joko Widodo. “Sempat dua-tiga kali tanam padi, lalu kami berhenti karena enggak ada hasil,” kata Arman, Ketua Kelompok Tani Aneka Tarea, Kamis, 31 Oktober 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sawah seluas 50,68 hektare yang dikelola Kelompok Tani Aneka Tarea gagal panen karena lahan desa merupakan gambut dan masih didominasi rawa. Masalah utamanya adalah karakteristik tanah di Tajepan bersifat asam atau memiliki pH di bawah 7. Adanya genangan air juga mengakibatkan padi terendam sepanjang periode tanam. Walhasil, hanya varietas lokal yang mampu bertahan hidup dengan kemampuan produksi paling bagus 3,5 ton per hektare.

Sebetulnya Arman sudah memprediksi proyek food estate bakal berakhir gagal, berkaca pada proyek serupa di era Orde Baru. Pada 1995, Presiden Soeharto memasukkan wilayah Tajepan ke program Pengembangan Lahan Gambut (PLG) seluas 1,46 juta hektare atau kondang disebut Lahan Gambut Sejuta Hektare. Program cetak sawah itu mangkrak, tapi hutan di Tajepan telanjur dibabat dan menyisakan semak belukar.

Dua kali kegagalan food estate di Kalimantan Tengah itu tak membuat pemerintah jera. Tahun ini pemerintah kembali memasukkan Desa Tajepan sebagai area program ekstensifikasi sawah. Anehnya, hampir seluruh lahan yang diusulkan sebagai area food estate di Tajepan seluas 274 hektare ternyata sudah berubah menjadi perkebunan sawit. “Sewaktu kami mengusulkan untuk dijadikan lahan food estate, ternyata sudah ada perusahaan menanam sawit,” ucap Arman.

Perusahaan diketahui membuka lahan ratusan hektare sejak beberapa tahun lalu dan makin masif pada 2024. Sebagian di antaranya telah ditanami sawit, tepatnya berada di sebelah petak lahan milik Kelompok Tani Aneka Tarea. Arman menduga lahan yang dikelola oleh warga itu telah dijual kepada perusahaan tanpa setahu masyarakat.

Sanal, 69 tahun, misalnya, baru mengetahui lahannya seluas 15 hektare yang dimasukkan ke area ekstensifikasi food estate ternyata sudah dikangkangi perusahaan sawit. Perusahaan yang ia maksud adalah PT Wira Usahatama Lestari (PT WUL)—korporasi perkebunan sawit yang berbasis di Kabupaten Kapuas. “Kami tahunya saat hendak didaftarkan menjadi lahan food estate dan kami terkejut ternyata sudah ada perusahaan,” ujarnya.

Kasus korporasi sawit yang masuk area ekstensifikasi food estate ini kemudian diselesaikan setelah masyarakat berunding dengan perusahaan. Pemerintah juga telah mengeluarkan area kerja perusahaan dari kawasan food estate. Meski begitu, padi yang ditanam Sanal di lahan food estate tak dapat tumbuh subur. Sawahnya gagal panen karena sering terendam banjir dan Sanal pada akhirnya menyerah setelah tiga tahun berupaya tanpa hasil.

Manajer Kampanye dan Advokasi Pantau Gambut, Wahyu Perdana, menceritakan bahwa PT WUL ditemukan tidak hanya membuka kebun sawit di area food estate Desa Tajepan. Wilayah konsesi perusahaan tersebut seluas 14.615 hektare dan beberapa di antaranya membentang di Desa Palingkau Jaya, Palingkau Asri, dan Tajepan. “Perusahaan membuat petak-petak yang ditanami sawit dan yang kami temukan (sawit) sudah setinggi satu jengkal,” kata Wahyu.

Menurut temuan Wahyu, sedikitnya 274,67 hektare area ekstensifikasi food estate telah ditanami sawit oleh perusahaan tersebut. Lokasi persisnya berada di dalam lahan food estate 19, 24, dan 27, sesuai dengan peta kerja Studi Investigasi Desain Ekstensifikasi Food Estate. Persoalannya, perusahaan diduga telah memegang izin hak guna usaha yang diterbitkan Kementerian Pertanian. Padahal area tersebut merupakan kawasan hutan yang diperuntukkan sebagai lahan food estate sesuai dengan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 24 Tahun 2020.

Ekskavator yang sedang membuka lahan untuk perkebunan sawit PT Wira Usahatama Lestari yang berdekatan dengan ekstensifikasi Food Estate di Desa Tajepan, Kecamatan Kapuas Murung, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah, 14 Maret 2024. Dok. Pantau Gambut 2024

Merujuk pada akta perusahaan yang terdaftar di Administrasi Hukum Umum Kementerian Hukum, PT WUL dimiliki oleh PT Trimitra Lestari sebagai pemegang saham mayoritas sebesar Rp 112,12 miliar dan PT Makmur Bersama Asia sebesar Rp 1 juta. Kedua perusahaan itu beralamat di Gold Coast Office, Eiffel Tower lantai 11, Jalan Pantai Indah Kapuk, Jakarta Utara. Alamat tersebut merujuk pada kantor Sin Tek Huat (STH) Group—korporasi sawit yang dimiliki pengusaha bernama Rusmin Wijaya.

Adapun saham PT Trimitra Lestari tercatat dimiliki PT Globalindo Alam Lestari dan PT Kalimantan Agung Lestari. Keduanya merupakan anak usaha STH Group. PT Kalimantan Agung Lestari juga tercatat dimiliki oleh Rusmin Wijaya bersama sejumlah orang yang diduga anggota keluarganya. Semua nama perusahaan tersebut beralamat di kantor yang sama.

Tempo berupaya meminta konfirmasi kepada STH Group yang disinyalir sebagai pemilik PT WUL yang mengokupasi lahan food estate untuk kebun sawit. Namun surat yang dikirim ke perusahaan tidak mendapat respons. Permintaan konfirmasi juga dilakukan melalui surat elektronik yang dikirim ke alamat e-mail perusahaan.

STH Group dalam situs resminya menjelaskan bahwa mereka beroperasi di empat provinsi, yakni Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, Jambi, dan Banten. Mereka berkomitmen bahwa perkebunan sawit yang mereka kelola telah mematuhi peraturan pemerintah dan melindungi lingkungan. “Untuk mencegah kebakaran dan memastikan lingkungan operasional yang aman, kami memberikan pelatihan dan persiapan rutin bagi sumber daya manusia kami,” tulis STH Group.

Ketua Tim Task Force Perluasan Areal Tanam Cetak Sawah Kementerian Pertanian Husnain membantah adanya perkebunan sawit di area food estate. Menurut dia, proyek yang dibangun sejak zaman Presiden Joko Widodo itu dibuat melalui penetapan wilayah yang ditentukan (AOI) bersama kementerian dan lembaga terkait. “Jadi tidak mungkin ada izin sawit di sana. Kecuali bila petani menjual atau menyewakan lahannya dan itu di luar kontrol kami,” tutur Husnain pada Kamis, 31 Oktober 2024.

Husnain juga menyebutkan bahwa pemerintahan Presiden Prabowo Subianto sudah tidak menggunakan istilah food estate, melainkan program cetak sawah. Menurut dia, program tersebut tidak mencakup Desa Tajepan yang sebelumnya masuk area food estate. Rencananya cetak sawah akan dibuat di area eks PLG dengan luas sekitar 200 ribu hektare.

Program cetak sawah merupakan program Prabowo Subianto untuk mewujudkan swasembada pangan nasional. Kata Husnain, pemerintah merencanakan ekstensifikasi sawah seluas 3 juta hektare yang tersebar di Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat, Papua Selatan, Sumatera Selatan, dan beberapa daerah lain. Untuk mencapai target tersebut, pemerintah bakal membuka lahan 750 ribu hingga 1 juta hektare per tahun.

•••

PEMERINTAH secara masif membuka lumbung pangan di bekas Pengembangan Lahan Gambut sejak 2021. Presiden Joko Widodo ketika itu berdalih bahwa food estate perlu dibangun untuk mengantisipasi ancaman krisis pangan yang sempat diwanti-wanti oleh Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO). Pemerintah lantas membangun lima blok yang tersebar di 19 desa dan 6 kecamatan di Kabupaten Kapuas dan Pulang Pisau.

Pada tahap awal, pemerintah merencanakan penggunaan 165 ribu hektare dari lahan bekas PLG. Lahan tersebut diidentifikasi sebagai kawasan tanah aluvial dan bukan gambut. Pada tahun anggaran 2021-2022, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat mendapat tugas menggarap 30 ribu hektare dengan nilai proyek Rp 2,9 triliun. Ada 85,5 ribu hektare lahan yang siap ditanami dan 79,5 ribu hektare masih berupa semak belukar.

Pantau Gambut mengambil 30 titik sampel di tiga blok, yakni Blok A, B, dan D, seluas 243.216 hektare. “Area ini kami pilih karena memenuhi kriteria sebagai daerah ekstensifikasi dengan kondisi tutupan lahan,” ujar Wahyu Perdana.

Pantau Gambut juga menganalisis sifat kimia tanah dan menguji kematangan tanah gambut dengan menggandeng Universitas Palangka Raya. Parameter sifat kimia diperlukan untuk menilai kualitas serta kemampuan tanah dalam mendukung aktivitas pertanian. Misalnya menguji kandungan nutrisi, tingkat keasaman atau pH, hingga kapasitas tanah dalam penyerapan unsur hara.

Menurut temuan Wahyu, selain berubah menjadi kebun sawit, mayoritas lahan food estate ditemukan telah terbengkalai menjadi lahan tidur atau ditumbuhi semak belukar. Hal ini dijumpai di sejumlah desa yang diteliti di Kabupaten Kapuas. Kata Wahyu, pembukaan lahan ini memunculkan potensi kebakaran hutan, pencemaran air, pelepasan karbon, hingga kekhawatiran atas hilangnya lapisan gambut yang merusak fungsi ekologis gambut.

“Semua titik yang menjadi sampel pemantauan seharusnya masih memiliki kedalaman gambut di atas 20 sentimeter,” tutur Wahyu. Kenyataannya, dari 30 titik sampel area, hanya 5 yang masih dilapisi oleh material gambut. Selebihnya, lahan telah kehilangan lapisan gambut yang memicu kekeringan dan mengakibatkan kebakaran. Pada tahun lalu, kebakaran mencapai 48.955 hektare di area dengan Fungsi Lindung Ekosistem Gambut.

Wahyu mengaku tidak kaget proyek food estate di lahan bekas PLG kini mangkrak. Dari tiga blok dengan total luas 243.216 hektare yang dianalisis oleh Pantau Gambut, hanya 1 persen lahan masuk kategori tinggi atau benar-benar sesuai dijadikan lahan pertanian. Sebagian besar lahan, yakni 63 persen, merupakan kategori sedang dan 36 persen kategori rendah atau tidak layak menjadi area food estate.

Amrina Nur Izzati dan kawan-kawan dari Universitas Indonesia pada tahun lalu menerbitkan sebuah hasil riset dalam jurnal Ecoprofit di bawah naungan Institute for Advanced Science, Social, and Sustainable Future. Laporan mereka yang bertajuk “Proyek Food Estate pada Lahan Eks Pengembangan Lahan Gambut (PLG) di Kalimantan Tengah: Perlu atau Tidak?” diterbitkan pada 31 Juli 2023.

Penelitian mereka mendapati bahwa lahan gambut tidak cocok untuk pertanian, terutama tanaman padi. Apalagi jika food estate dibangun di atas lahan yang sebelumnya mengalami degradasi seperti eks PLG, yang memiliki tingkat risiko sedang hingga tinggi. Pemerintah diingatkan agar menggunakan konsep pertanian berbasis masyarakat untuk peningkatan kesuburan tanah dan kesesuaian pertanian.

Direktur Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian Kementerian Pertanian Andi Nur Alamsyah menepis tuduhan lahan food estate telah diokupasi perusahaan menjadi perkebunan sawit. Hal ini dia pastikan setelah pengecekan lahan di lapangan. “Bahwa tidak ada alih fungsi lahan tersebut. Lahan food estate ini bersebelahan dengan lahan sawit milik swasta,” ucap Andi.

Dia tak memungkiri ada juga petani yang menanam sawit di pematang sawah sebagai tanaman sela dan bukan sebagai tanaman utama. Menurut Andi, pemerintah saat ini tengah menggenjot intensifikasi lahan yang cenderung asam. Apalagi indeks pertanaman padi di wilayah food estate masih rendah. Pemerintah kemudian melakukan evaluasi untuk meningkatkan produktivitas melalui program optimalisasi lahan.

Program ini diharapkan dapat mencetak sawah baru sekitar 150 ribu hektare di Kalimantan Tengah pada 2025. Kata Andi, target tersebut merupakan bagian dari langkah awal rencana swasembada pangan dengan mencetak lahan 3 juta hektare food estate pada 2029. Program ini merupakan bagian dari kebijakan pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.

Peneliti Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia, Khudori, menduga proyek lumbung pangan ini tak akan berhasil bila pemerintah menggunakan cara lama. Cara lama yang dia maksud adalah membuka lahan dalam skala luas. “Orang yang bangun fisik itu datang duluan ke lapangan dengan membawa asumsi-asumsi di kepala mereka dari Jakarta,” ujarnya.

Berbekal asumsi, kata Khudori, pemerintah biasanya mengebut pembangunan jaringan irigasi hingga infrastruktur pendukung lain. Pemerintah kemudian menerjunkan tim untuk meneliti sifat tanah, ketersediaan air, hidrologi, curah hujan, cuaca, potensi pelibatan masyarakat setempat, hingga analisis mengenai dampak lingkungan. “Tugas tim tersebut hanya melegitimasi seolah-olah proyek food estate bakal sukses dibangun.”

Kenyataannya, pembangunan food estate justru mangkrak. Hal ini dibuktikan dari hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan pada 2022, yang menemukan banyak masalah. Beberapa temuannya adalah pelaksanaan kegiatan survei, investigasi dan desain, serta ekstensifikasi atau intensifikasi padi di sejumlah wilayah belum sesuai dengan ketentuan. Pemerintah juga disebut tidak melakukan perbaikan atas kegagalan proyek food estate di masa lalu.

Wakil Menteri Pertanian Sudaryono memastikan lembaganya akan tetap berkolaborasi dengan Kementerian Pertahanan untuk melanjutkan proyek food estate. Kementeriannya akan menggandeng prajurit Tentara Nasional Indonesia untuk menggarap sawah bersama Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin. “Kami optimalisasi lahan rawa. Kami optimalisasi dengan dandim, koramil, termasuk penyuluhan pertanian melibatkan babinsa.”

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Ahmad dari Kuala Kapuas, Kalimantan Tengah, bersama Han Revanda Putra dan Haura Hamidah dari Jakarta berkontribusi dalam penulisan artikel ini

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus