Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sinyal Pasar

Mengapa Capital Outflow Merebak di Awal Pemerintahan Prabowo

Capital outflow makin nyata di masa pemerintahan Prabowo Subianto. Kabinet gemuk memudarkan kepercayaan investor.

3 November 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Aliran dana ke pasar obligasi sempat naik dari Rp 871 triliun di awal Oktober menjadi Rp 889,8 triliun.

  • Dana asing yang hengkang di Bursa Efek Indonesia mencapai Rp 10 triliun dalam sebulan.

  • Prabowo agaknya kurang tertarik turun tangan mengatasi masalah ekonomi.

SINYAL buruk itu memang masih lunak, tidak terlalu mengagetkan. Tapi secara berangsur-angsur dana investasi mulai kabur dari pasar keuangan Indonesia. Aliran dana keluar atau capital outflow itu makin nyata semenjak pelantikan Prabowo Subianto menjadi presiden. Dana asing terbang keluar lewat pasar saham ataupun obligasi pemerintah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Fenomena ini sungguh penting dan mendapat perhatian investor. Memang benar ada faktor gejolak pasar global yang turut menjadi faktor penyebab mengalirnya dana asing ke luar negeri. Namun ini juga merupakan pertanda bahwa kepercayaan investor global kepada pemerintahan baru cenderung melemah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Respons investor global terhadap pemerintah baru tergambar pada naik-turunnya dana asing yang tertanam di pasar obligasi pemerintah. Pada awal Oktober 2024, posisi dana asing di obligasi pemerintah mencapai Rp 871 triliun. Nilainya melonjak menjadi Rp 889,8 triliun menjelang pelantikan Prabowo, yang berarti ada dana masuk Rp 18 triliun hanya dalam tempo tiga pekan.

Salah satu faktor pemicunya adalah penunjukan kembali Sri Mulyani Indrawati sebagai Menteri Keuangan di Kabinet Merah Putih, kabinet bentukan Prabowo. Pasar masih menganggap Sri Mulyani sebagai figur penting penjaga kebijakan fiskal agar pemerintahan Prabowo tidak kebablasan dan membahayakan kondisi finansial negara.

Namun efek Sri Mulyani ternyata berlangsung sebentar saja. Begitu Prabowo mengumumkan kabinet yang supergendut dan menteri-menteri baru mulai menyampaikan rencana kerja masing-masing, minat investor global terhadap obligasi pemerintah langsung merosot.

Pasar menilai Sri Mulyani seorang diri tak akan cukup untuk memulihkan keyakinan pasar. Apalagi jika kebijakan presiden dan menteri-menteri lain cenderung tak menunjukkan sikap pruden yang amat diharapkan pasar. Dana asing senilai Rp 5 triliun langsung kabur semenjak pelantikan kabinet. Per 30 Oktober 2024, jumlah dana investor global yang tertanam di obligasi pemerintah sudah turun menjadi Rp 884,8 triliun.

Di pasar saham, aliran dana yang kabur bahkan jauh lebih deras. Dalam tempo 30 hari sepanjang Oktober, jumlah dana milik asing yang hengkang melalui Bursa Efek Indonesia mencapai Rp 10 triliun. Ini juga pertanda betapa ekonomi Indonesia tidak sedang baik-baik saja. Sektor manufaktur sudah lama menunjukkan tanda-tanda tertekan. Banyak industri harus gulung tikar.

Puncaknya, pekan lalu, hakim Pengadilan Niaga Semarang menyatakan PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) pailit. Sritex adalah salah satu raksasa industri tekstil yang mempekerjakan sekitar 50 ribu karyawan. Jika perusahaan itu ternyata benar-benar harus bubar—saat ini perkara kepailitan Sritex masih dalam proses kasasi—dampak sosialnya tentu luar biasa. Selain itu, sentimen investor kepada Indonesia bakal kian tergerus.

Memburuknya sentimen pasar finansial kepada Indonesia juga akan makin menyulitkan korporasi yang tengah mencari utang melalui penerbitan obligasi. Gelagat itu bahkan sudah terasa sepanjang tahun ini, terutama pada badan usaha milik negara. Kalau toh ada investor yang berminat membeli obligasi terbitan BUMN, mereka menuntut imbalan yang jauh lebih tinggi. 

Salah satu contohnya adalah BUMN konstruksi PT Pembangunan Perumahan (PP). Menurut data Bloomberg, tahun ini, PP harus membayar kupon 211 basis point lebih besar (2,11 persen) ketimbang penerbitan obligasinya dua tahun lalu. Adhi Karya, BUMN konstruksi yang lain, bahkan harus membayar 221 basis point lebih besar. Ongkos berutang yang jauh lebih besar sudah pasti akan kian membebani BUMN yang berutang dan menurunkan tingkat profitabilitasnya, bahkan bisa membuatnya terperosok menelan rugi.

Respons pasar keuangan yang cenderung makin negatif ketika pemerintahan Prabowo belum juga berumur dua pekan semestinya menjadi sebuah peringatan serius. Namun sepertinya Prabowo kurang tertarik langsung turun tangan mengatasi masalah ekonomi seperti capital outflow atau mencari jalan untuk memulihkan keyakinan pasar. Prabowo malah lebih suka melakukan perjalanan muhibah ke berbagai penjuru dunia, hampir tiga pekan lamanya.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Waspada Kepercayaan Pasar Merosot"

Yopie Hidayat

Yopie Hidayat

Kontributor Tempo

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus