Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Datuk Malang di Balai Raja

Habitat gajah di kawasan Suaka Margasatwa Balai Raja kian sempit. Proyek jalan lingkar dan jalan tol tambah menggencet keberadaan mereka.

24 Oktober 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Aktivitas warga dan para pekerja disekitaran SM Balai Raja yang dulu terbiasa meilhat gajah kini tidak lagi melihat gajah, Riau, September 2020./Mongabay

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Pemerintah menetapkan Suaka Margasatwa Balai Raja seluas 18 ribu hektare pada 1986.

  • Pada 1992, pemerintah menetapkan Balai Raja sebagai kawasan konservasi gajah Sumatera.

  • Proyek nasional jalan tol Pekanbaru-Dumai sepanjang 131,48 kilometer, yang merupakan bagian dari jalan tol Trans-Sumatera, kian mendesak ruang hidup gajah Balai Raja.

RINDU Jumar kepada kawanan gajah kian langka terobati. Bagi petani yang telah tinggal sekitar 20 tahun di Desa Pematang Pudu, Kecamatan Mandau, Bengkalis, Riau, ini, gajah ibarat keluarga sendiri. Kawasan desa ini berada di dalam lanskap Suaka Margasatwa Balai Raja. Jumar memanggil pemimpin kelompok gajah yang dulu kerap bertandang ke sekitar permukimannya dengan sebutan Datuk.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dulu, ketika batin Jumar kangen kepada Datuk, beberapa hari kemudian gajah ini pun muncul di halaman depan atau belakang rumahnya. Kini, seiring dengan kurang lebatnya pohon dan semak akibat terus bertambahnya rumah penduduk, Datuk tak nongol lagi. “Manalah Datuk pergi, kok tak datang?” tutur Jumar pada September lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ia berkisah, hingga 2005, kawanan gajah biasa datang ke sekitar permukimannya dengan jumlah 30-40 ekor. Kawanan hewan itu makan tanaman kebun seperti sawit dan batang kelapa muda. Meski begitu, Jumar tak pernah berlaku kasar kepada gajah-gajah itu.

Bila kawanan gajah itu tiba, Jumar biasa menggiring mereka agar balik ke hutan Talang, tutupan hutan yang masih tersisa di Balai Raja. Gajah dia tuntun dengan lampu senter. “Kalau ngusir ikuti dari belakang. ‘Ayo, Datuk. Aku antar sampai tempat.’ Itu saja.” Karena Jumar memperlakukan mereka dengan baik, rumahnya tak pernah dirusak kawanan gajah.

Menurut dia, ada masyarakat desa yang mengusir kawanan gajah dengan kasar, misalnya dengan cara melempar atau menggunakan tembakan senapan. Kalau memperlakukan gajah dengan kasar, kata Jumar, gajah akan marah, lalu merusak tanaman kebun, bahkan merobohkan rumah tinggal. Belakangan, kawanan gajah itu tinggal tiga ekor, sepasang dengan anak satu. Itu pun sudah sangat jarang terlihat di kampung Jumar. “Entah ke mana perginya,” ujar Jumar.

Berdasarkan informasi World Wide Fund for Nature (WWF) Indonesia di Riau, jumlah gajah di Balai Raja tinggal lima-tujuh ekor. WWF Indonesia menamai gajah-gajah itu Dita, Seruni, Rimba, Getar, Codet, dan Bara. Gajah bernama Dita mati tahun lalu. Padahal, pada 2014, WWF Indonesia mencatat masih ada 25 ekor gajah di Balai Raja.

Pemerintah menetapkan Suaka Margasatwa Balai Raja seluas 18 ribu hektare pada 1986. Pada 1992, pemerintah menetapkan Balai Raja sebagai kawasan konservasi gajah Sumatera. Wilayah Balai Raja—biasa disebut Blok Libo—secara administrasi berada di Kecamatan Mandau dan Kecamatan Pinggir, Bengkalis. Sejak 1924, wilayah ini menjadi bagian dari konsesi eksploitasi minyak bumi. Pada 1970-an, beberapa konsesi lain masuk, terutama untuk perkebunan akasia dan sawit.

Wishnu Sukmantoro dalam kajian berjudul “Analisa Konservasi Gajah Sumatera di Kantong Balai Raja atau Disebut Juga Blok Libo, Kabupaten Bengkalis, Riau” menyebutkan, pada 2000-an, terjadi perambahan besar-besaran kawasan Balai Raja untuk dijadikan perkebunan sawit. Akibatnya, kawasan suaka margasatwa itu kini tersisa hanya 200 hektare. Hutan ini masuk wilayah perlindungan perusahaan minyak PT Chevron Pacific Indonesia.

Jalan Lingkar Barat Duri yang belum selesai, kini berlubang dan tergenang air, di Kecamatan Bathin Solapan, Bengkalis, Riau./Mongabay

Kajian Wishnu menyatakan Balai Raja dalam kondisi kritis. Penyelamatan populasi gajah pun menjadi sulit karena habitat mereka berkurang. Dampaknya, konflik antara gajah dan manusia tak terhindarkan akibat wilayah jelajah gajah bertabrakan dengan lahan garapan masyarakat ataupun perusahaan.

Direktur Eksekutif Yayasan Taman Nasional Tesso Nilo, Yuliantony, menyebutkan data yang sedikit berbeda. Menurut dia, dari 15.343 hektare luas kawasan konservasi Balai Raja, hanya 200 hektare yang berupa hutan. Di dalam kawasan ini ada aktivitas manusia. Bukan hanya masyarakat yang menempati kawasan konservasi, tapi juga negara. “Ada kantor camat, gedung sekolah, dan tempat Pramuka juga,” kata Yuliantony.

Habitat gajah Balai Raja juga terdesak oleh pembangunan infrastruktur jalan. Pemerintah Kabupaten Bengkalis membangun Jalan Lingkar Barat Duri, satu dari enam proyek tahun jamak Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah 2012-2013. Pemerintah Bengkalis menyatakan jalan ini untuk mengurai kemacetan jalur Pekanbaru-Medan, yang melintasi Kecamatan Pinggir dan Kota Duri, Bengkalis. Jalan sepanjang 33,6 kilometer dengan lebar 16 meter ini mengular dari Kulim 7 hingga Desa Balai Raja.

Sejak 2016, proyek jalan lingkar ini ditolak para pegiat lingkungan bersama masyarakat. Zulhusni Syukri, Direktur Rimba Satwa Foundation, salah seorang yang menggerakkan penolakan terhadap proyek Jalan Lingkar Barat Duri. Akibat kuatnya perlawanan dari masyarakat, Pemerintah Kabupaten Bengkalis menghentikan proyek jalan ini tahun lalu.

Meski proyek dihentikan, kerusakan hutan telah terjadi. Ruas jalan yang telah dikerjakan membabati hutan. Danau dan genangan air tempat biasa gajah mandi pun tertimbun. Sungai yang biasa dimanfaatkan gajah untuk bermain telah dibuatkan jembatan penghubung. Hutan-hutan kecil tempat gajah berlindung sudah ditebang untuk membuka jalan. “Ini jelas mengganggu habitat gajah,” ucap Zulhusni.

Selain Jalan Lingkar Barat Duri, ada proyek Jalan Lingkar Batu Panjang-Pangkalan Nyirih, Jalan Duri-Sungai Pakning, Jalan Lingkar Bukit Batu-Siak Kecil, Jalan Lingkar Pulau Bengkalis, dan Jalan Lingkar Timur Duri. Proyek pembangunan ruas-ruas jalan tersebut melewati sekitar Suaka Margasatwa Balai Raja.

Proyek nasional jalan tol Pekanbaru-Dumai sepanjang 131,48 kilometer, yang merupakan bagian dari jalan tol Trans-Sumatera, kian mendesak ruang hidup gajah Balai Raja. Proyek yang sedang dalam pengerjaan ini melintas di antara Suaka Margasatwa Balai Raja dan Suaka Margasatwa Giam Siak Kecil, yang berjarak sekitar 10 kilometer. Kawasan antara Balai Raja dan Giam Siak Kecil merupakan daerah jelajah gajah. Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat memberikan solusi dengan membangun jembatan jalan tol tinggi yang bagian bawahnya berfungsi sebagai koridor lintasan gajah.

Sekretaris Forum Konservasi Gajah Indonesia Donny Gunaryadi mengatakan pembuatan terowongan tersebut tak membuat gajah lalu-lalang. Hewan itu justru menabrak besi, kawat, ataupun tembok pembatas jalan tol. Menurut dia, proyek ini merugikan kelestarian habitat di kawasan tersebut. “Proyek jalan tol juga makin membuka akses ke perburuan. Ini sungguh mencemaskan,” kata Donny.

SUNUDYANTORO (TEMPO), SAPARIAH SATURI, SUPRIYADI, LUSIA ARUMINGTYAS (MONGABAY)
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Sunudyantoro

Sunudyantoro

Wartawan Tempo tinggal di Trenggalek

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus