Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Salam Tiga Jari dari Bangkok

Gelombang unjuk rasa damai mahasiswa mengguncang Thailand. Isu demokrasi dan hak-hak perempuan menjadi sorotan. Parlemen akan segera menggelar sidang luar biasa untuk menyelesaikan krisis politik ini.

24 Oktober 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Aktivis pro-demokrasi menyuarakan protes anti pemerintah sembari mengakat simbol tiga jari,di Bangkok, Thailand, 17 Oktober 2020. Reuters/Soe Zeya Tun

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Mahasiswa Thailand mengorganisasi gerakan menuntut reformasi pemerintahan dan monarki.

  • Pemerintah gagal meredakan unjuk rasa melalui dekrit keadaan darurat.

  • Memanfaatkan pertukaran informasi di media sosial.

GELOMBANG unjuk rasa damai yang menuntut reformasi terhadap pemerintahan dan monarki Thailand telah berlangsung berbulan-bulan. Puluhan ribu orang, yang didominasi pemuda, memenuhi jalan-jalan kota, terutama Bangkok. Mereka mengacungkan salam tiga jari, simbol protes terhadap tiran dalam film Hunger Games, daripada menyanyikan lagu kebangsaan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Perdana Menteri Prayut Chan-o-cha sempat menerapkan keadaan darurat di Ibu Kota, yang melarang orang berkumpul lebih dari lima orang, dua pekan lalu. Namun larangan itu diabaikan dan demonstrasi terus berlanjut. Prayut akhirnya mencabut kebijakan itu pada Kamis, 22 Oktober lalu. “Suara para pengunjuk rasa telah didengar,” katanya dalam pidato yang disiarkan langsung di televisi. “Sebagai pemimpin negara yang bertanggung jawab terhadap kebaikan semua rakyat Thailand, saya akan mengambil langkah pertama untuk meredakan situasi ini.”

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Parlemen, yang sedang memasuki masa reses, diminta menggelar sidang luar biasa pada Senin, 26 Oktober, untuk membahas krisis politik ini. Prayut menyatakan bahwa sidang nanti akan “membahas dan memecahkan segala perbedaan (pandangan) ini melalui proses parlementer”. Raja Maha Vajiralongkorn telah menyetujui sidang digelar “atas nama kepentingan nasional”.

Militer menindak keras orang-orang yang terlibat demonstrasi. Menurut Amnesty International, sedikitnya 84 orang dipenjara sejak Selasa, 13 Oktober lalu. Di antara mereka bahkan ada dua anak di bawah umur berusia 16 dan 17 tahun.

Sejumlah pemimpin unjuk rasa juga ditahan. Mereka antara lain Arnon Nampa, pengacara hak asasi manusia; Jatupat “Pai” Boonpattararaksa, guru musik alumnus Khon Kaen University; serta dua mahasiswa, Parit “Penguin” Chiwarak dan Panusaya “Rung” Sithijirawattanakul.

Pai dibebaskan pada Jumat, 23 Oktober lalu, setelah membayar uang jaminan. “Kami akan terus mendesak Prayut mundur sebisa kami,” ucap Jatupat kepada Reuters setelah dibebaskan. “Saya ingin masyarakat keluar dan bergabung dengan kami untuk mengubah negeri ini.”

Aktivis pro-demokrasi Parit Chiwarak mengangkat simbol tiga jari dalam demonstrasi menentang pemerintah di Bangkok, Thailand, 14 Oktober 2020. Reuters/Jorge Silva

Sirin “Flerus” Mungcharoen, aktivis mahasiswa dari Chulalongkorn University, termasuk dari sedikit pemimpin unjuk rasa yang masih bebas. Menurut gadis 22 tahun itu, mahasiswa memang menjadi kekuatan utama gerakan prodemokrasi di Thailand saat ini. Tapi, “Sekarang makin banyak pelajar yang juga ikut gerakan ini. Mereka bahkan membuat aksi protes sendiri,” ujar Sirin melalui pesan pendek kepada Tempo pada Jumat, 23 Oktober lalu.

Generasi muda Thailand, menurut Sirin, makin sadar terhadap situasi politik di negerinya sehingga membuat mereka tergerak ikut berdemonstrasi. Apalagi informasi tentang tuntutan dan tujuan gerakan aksi itu mudah diakses di Internet. “Media sosial seperti Twitter berperan besar menyebarkan kesadaran politik para pelajar yang lebih muda,” katanya.

Protes besar-besaran yang dimotori para mahasiswa berkembang di Bangkok sejak Agustus lalu. Unjuk rasa berpusat di Thammasat University, Monumen Demokrasi di Khon Kaen, dan Monumen Kemenangan. Lewat manifesto yang dibacakan sejumlah aktivis, seperti Panusaya Sithijirawattanakul dan Parit Chiwarak, para demonstran menuntut reformasi atas pemerintahan, yang sejak kudeta militer pada 2014 dikuasai kelompok tentara.

Jenderal Prayut Chan-o-cha, pemimpin kudeta itu, terpilih sebagai perdana menteri melalui pemilihan umum tahun lalu yang diwarnai kontroversi. Partai-partai oposisi ditolak ikut serta dalam pemilihan. Demonstrasi belakangan ini disertai tuntutan reformasi kerajaan setelah Raja Maha Vajiralongkorn mengubah aset kerajaan menjadi kekayaan pribadi dan membuatnya menjadi orang terkaya di negeri itu.

Para demonstran juga menuntut pencabutan atas aturan lèse-majesté, pasal dalam kitab undang-undang hukum pidana yang melarang pencemaran nama kerajaan dengan ancaman hukuman penjara hingga 15 tahun. Pasal untuk melindungi monarki ini sering digunakan penguasa untuk membungkam kelompok oposisi dan memenjarakan para pembela hak asasi manusia.

Dalam manifesto mereka, mahasiswa juga meminta kejelasan soal status aset pribadi keluarga Raja Maha Vajiralongkorn dan transparansi pengelolaan uang untuk kerajaan. Selain itu, mereka mendesak kasus-kasus penghilangan dan pembunuhan para pengkritik kerajaan diinvestigasi dan raja tak boleh lagi mendukung kudeta pemerintahan.

Sirin mengatakan generasi muda Thailand kian berani mempertanyakan setiap langkah yang diambil pemerintah dan monarki, yang sebelumnya dianggap “haram” dibahas. Masyarakat, menurut dia, juga mulai kehilangan rasa hormat terhadap nilai-nilai sakral monarki karena kelakuan anggota kerajaan dan tindakan represif aparat negara dalam melindungi mereka. “Banyak anak muda menyindir pemerintah dan monarki gara-gara hukum lèse-majesté itu," tutur Sirin.

Menurut Ivana Kurniawati, warga Indonesia yang menetap di Bangkok, tekanan pemerintah terhadap kelompok oposisi juga menjadi pemicu gerakan prodemokrasi di Thailand membesar. Pada Februari lalu, pemerintah Thailand membubarkan Future Forward Party, partai politik oposisi yang dikenal progresif dan populer di kalangan anak muda. Ketua Future Forward Party Thanatorn Juangroongruangkit dan sejumlah petinggi partai dilarang terlibat dalam aktivitas politik selama 10 tahun.

Ivana ikut terkena imbasnya karena ia dan suaminya, Rangsiman Rome, terlibat dalam partai tersebut. Ketika Future Forward Party dibubarkan, Rangsiman bersama puluhan anggota partai itu hijrah ke Move Forward Party, partai baru yang mencoba meneruskan garis politik partai sebelumnya. Rangsiman kini menjabat Wakil Sekretaris Move Forward Party.

Para mahasiswa mengorganisasi gerakannya lewat media sosial dan selebaran yang dibagikan di jalan-jalan. Mereka memperkenalkan sejumlah kode gestur tubuh, seperti yang dilakukan para demonstran di Hong Kong, untuk berkomunikasi di arena demonstrasi. Mereka juga menggunakan simbol-simbol populer di kalangan remaja, seperti salam tiga jari dari film Hunger Games dan kostum Harry Potter. Dengan pengawalan para relawan, demonstrasi berjalan tertib. “Dari awal mereka hanya ingin aksi damai, bahkan kebanyakan hanya duduk-duduk di jalan,” kata Ivana.

Sebagian besar peserta aksi protes di Bangkok adalah perempuan. Selain mengusung masalah demokrasi, mereka membawa isu penting yang selama ini terabaikan, seperti sistem patriarki yang mengakar di pemerintahan dan monarki. “Supremasi laki-laki terus tumbuh sejak kudeta. Ini perlu diubah dan perempuan harus terlibat,” ujar Chumaporn Taengkliang, pendiri lembaga sipil Women for Freedom and Democracy, seperti dilaporkan The Japan Times, Jumat, 25 September lalu. Lembaga ini ikut mengorganisasi unjuk rasa di Bangkok.

Gadis remaja di sana dibelenggu oleh aturan mengenai gaya rambut, seragam sekolah, bahkan pakaian dalam yang dinilai berlebihan. Mereka memprotes kesenjangan pendapatan bagi kaum perempuan dan klasifikasi produk higienis perempuan, seperti produk kosmetik yang dikenai pajak yang lebih tinggi. Para demonstran juga menyoroti larangan aborsi dan kontes kecantikan, kegiatan populer di sana yang dinilai merendahkan martabat perempuan. Seorang ratu kecantikan bahkan menunjukkan dukungan terhadap unjuk rasa ini dengan menggelapkan kulitnya dan muncul secara daring (online).

Menurus Sirin Mungcharoen, gerakan prodemokrasi memang seharusnya bisa lebih inklusif. Sirin juga berada di barisan yang menyuarakan hak-hak kaum perempuan, lesbian, gay, biseksual, transgender, dan queer. “Ketika kami nanti benar-benar mendapatkan demokrasi, kelompok yang selama ini dimarginalkan harus memiliki suara,” ucapnya.

Perdana Menteri Prayut Chan-o-cha sempat menerbitkan dekrit keadaan darurat di Bangkok untuk menghentikan gelombang aksi massa, tapi gagal. Human Rights Watch menyatakan dekrit itu menunjukkan bahwa pemerintah menggunakan kuasanya untuk menekan publik melalui tindakan keras aparatnya. “Otoritas Thailand seharusnya tidak melakukan represi terhadap aksi protes damai dengan aturan yang melanggar kebebasan berpendapat,” kata Direktur Human Rights Watch Brad Adams.

Pemerintah juga memperketat sensor terhadap media massa yang menyiarkan unjuk rasa. Siaran BBC World Service diblok dari jaringan televisi kabel Tru Visions. Siaran Voice TV, yang biasanya banyak berisi kritik terhadap pemerintah, juga ditutup. Kelompok media Voice TV, Prachatai, The Reporters, dan The Standard dipaksa menghentikan siaran karena dinilai melanggar dekrit keadaan darurat.

Internet dan media sosial pun berada di bawah pengawasan ketat. Pemerintah sempat mengancam akan menuntut secara hukum platform media sosial seperti Facebook dan Twitter karena tak menghapus konten mengenai protes mahasiswa. Agustus lalu, Facebook menyatakan telah menuruti permintaan otoritas Thailand untuk menghapus sejumlah konten di medianya.

Situs petisi daring Change.org diblok setelah muncul kampanye yang menuntut Raja Maha Vajiralongkorn yang sedang berada di Jerman dicekal. Masyarakat mengecam rajanya karena dinilai lebih banyak menghabiskan waktu di Jerman ketimbang di negerinya. Petisi itu mendapat dukungan lebih dari 130 ribu tanda tangan sebelum diblok. Pemerintah Thailand juga berencana menutup Telegram, aplikasi komunikasi terenkripsi yang sering digunakan para peserta unjuk rasa.

Kehadiran Raja Maha Vajiralongkorn di Jerman sudah lama menjadi sorotan masyarakat Negeri Pagoda. Sejak 2007, sang Raja dan keluarganya lebih banyak tinggal di sebuah vila di Bavaria, selatan Jerman. Putranya yang berusia 15 tahun juga bersekolah di sana. Media massa Jerman kerap memberitakan aktivitas Raja yang disebut datang dengan visa privat tapi juga memiliki status diplomatik dari Kedutaan Besar Thailand.

Anggota parlemen Jerman, Friethjoh Schmidt, menilai sang Raja telah menjalankan aktivitas politiknya dari Jerman karena kerap menerima kunjungan para pejabat Thailand. Menurut Schmidt, seperti dilaporkan Deutsche Welle, pemerintah Jerman sudah lama mengingatkan Kedutaan Besar Thailand tentang kegiatan politik rajanya. “Dia sering melanggar aturan visa dan, menurut saya, pemerintah Jerman harus bertindak tegas,” ujarnya.

Menteri Luar Negeri Jerman Heiko Maas menyatakan segala urusan politik yang menyangkut Thailand seharusnya tak boleh dilakukan dari Jerman. Kementerian Luar Negeri Jerman dilaporkan telah membahas urusan ini dengan Duta Besar Thailand. Pemerintah Thailand menyatakan akan memastikan bahwa urusan pemerintahan diurus oleh perdana menteri dan kehadiran Raja Maha Vajiralongkorn di Jerman adalah untuk urusan pribadi.

Meskipun pemerintah telah mencabut dekrit keadaan darurat di Bangkok, unjuk rasa tidaklah surut. Sirin Mungcharoen mengatakan gerakan ini bakal terus bergulir meski berjalan tanpa pemimpin. Dia meyakini tuntutan untuk memperbaiki monarki dan membangun demokrasi di negerinya bakal terwujud. “Tentu dengan strategi yang bagus dan keterlibatan masyarakat,” katanya.

GABRIEL WAHYU TITIYOGA (ASSOCIATED PRESS, BANGKOK POST, REUTERS)
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Gabriel Wahyu Titiyoga

Gabriel Wahyu Titiyoga

Alumni Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jakarta ini bergabung dengan Tempo sejak 2007. Menyelesaikan program magister di Universitas Federal Ural, Rusia, pada 2013. Penerima Anugerah Jurnalistik Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan 2014. Mengikuti Moscow Young Leaders' Forum 2015 dan DAAD Germany: Sea and Ocean Press Tour Program 2017.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus