Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Pengakuan Cepat Gunting Genetik

Komite Nobel menetapkan Jennifer Doudna dan Emmanuelle Charpentier sebagai pemenang Hadiah Nobel Kimia 2020 karena metode gunting genetik. Pemanfaatan metode itu kini sedang dikembangkan  antara lain untuk mengatasi sejumlah penyakit dan membuat tanaman baru.

24 Oktober 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Jennifer Doudna memegang replika CRISPR-Cas9 di Berkeley, California, Amerika Serikat./UC Berkeley/Stephen McNally/Handout via REUTERS.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Hadiah Nobel Bidang Kimia 2020 diberikan kepada Jennifer Doudna dan Emmanuelle Charpentier berkat penemuan metode gunting genetik CRISPR-Cas9.

  • Peneliti di Pusat Penelitian Bioteknologi dan Bioindustri Indonesia di Bogor, Jawa Barat, menerapkan metode CRISPR ini untuk mengatasi serangan jamur Ganoderma boninense pada tanaman kelapa sawit.

  • Peneliti LIPI bekerja sama dengan Kyoto University, Jepang, akan menerapkan metode CRISPR untuk meningkatkan ligninnya sorgum dan rumput gajah.

JENNIFER Doudna tengah terlelap ketika teleponnya berdengung pada pukul 3 dinihari. Di ujung telepon, terdengar suara reporter Nature.com meminta komentarnya atas berita yang membuatnya kaget setengah mati. “Saya dibesarkan di sebuah kota kecil di Hawaii dan dalam 100 juta tahun pun saya tidak pernah membayangkan hal ini terjadi,” kata perempuan kelahiran Washington, DC, 19 Februari 1964, itu. “Saya benar-benar tercengang dan terkejut,” ujar peneliti dari University of California, Berkeley, Amerika Serikat, tersebut.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Komite Nobel menetapkan Jennifer Doudna bersama Emmanuelle Charpentier, peneliti dari Max Planck Unit for the Science of Pathogens di Berlin, Jerman, sebagai peraih Hadiah Nobel Kimia tahun ini berkat teknologi penyuntingan gen bernama CRISPR-Cas9. CRISPR—singkatan dari clustered regularly interspaced short palindromic repeats—merupakan molekul pemandu yang terbuat dari asam ribonukleat (RNA), sementara Cas9 adalah enzim bakteri yang ditempelkan pada molekul tersebut.

Menurut Göran K. Hansson, Sekretaris Jenderal Royal Swedish Academy of Sciences, Hadiah Nobel Kimia tahun ini adalah tentang menulis ulang kode kehidupan. “Kemampuan memotong DNA yang Anda inginkan telah merevolusi ilmu kehidupan,” ucap Hansson saat mengumumkan nama pemenang. “‘Gunting genetik’ ditemukan hanya delapan tahun lalu, tapi telah sangat bermanfaat bagi umat manusia,” tutur Pernilla Wittung-Stafshede, ahli kimia biofisika dan anggota Komite Nobel bidang kimia.

Selain Doudna dan Charpentier, ada beberapa peneliti yang memiliki kontribusi penting bagi pengembangan CRISPR. Di antaranya Feng Zhang dari Broad Institute and Harvard pada Massachusetts Institute of Technology di Cambridge, Massachusetts, Amerika Serikat; George Church dari Harvard Medical School di Boston, Massachusetts; dan ahli biokimia Virginijus Šikšnys dari Vilnius University di Lituania.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Doudna dan Charpentier menulis makalah pertama mereka yang menunjukkan kekuatan CRISPR pada 2012. Sejak saat itu, pemanfaatan teknologi CRISPR meledak. Menurut New York Times, para dokter kini sedang mengujinya sebagai obat untuk kelainan genetik, seperti penyakit sel sabit dan kebutaan yang diturunkan. Ilmuwan tanaman menggunakannya untuk membuat tanaman baru. Beberapa peneliti bahkan mencoba menggunakan CRISPR untuk mengembalikan spesies yang sudah punah.

Sangat banyak pujian terhadap temuan gunting genetik ini. “Kami berharap kami benar-benar dapat menerjemahkan ini ke dalam teknologi untuk menulis ulang kode genetik sel dan organisme,” kata Martin Jinek, ahli biokimia di University of Zurich, Swiss, yang pernah melakukan riset di laboratorium Jennifer Doudna dan salah satu penulis pertama makalah tentang CRISPR. “Saya sangat senang melihat CRISPR-Cas9 mendapatkan pengakuan yang telah kita tunggu-tunggu,” ucap Francis Collins, Direktur National Institutes of Health, Amerika Serikat.

Riza-Arief Putranto, peneliti di Pusat Penelitian Bioteknologi dan Bioindustri Indonesia di Bogor, Jawa Barat, menyebutkan Hadiah Nobel untuk Doudna dan Charpentier ini tergolong istimewa. Sebab, keduanya meraih penghargaan itu delapan tahun seusai publikasi temuan mereka. Temuan lain membutuhkan waktu lebih lama untuk mendatangkan Hadiah Nobel. “Karena memang sangat masif perubahannya. Betul-betul mengubah para peneliti di laboratorium, biologi molekuler, cloning gen yang selama ini menggunakan model rekayasa klasik,” tutur Riza, Senin, 19 Oktober lalu. “Karena tekniknya revolusioner sekali.”

Satya Nugraha, peneliti di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), mengatakan metode CRISPR itu sangat penting karena bisa menggunting gen di posisi yang kita inginkan. “Metode yang ditemukan Doudna dan Charpentier ini bisa menggunting pada posisi sesuai dengan target,” katanya. Peneliti bidang bioteknologi itu menambahkan, metode ini juga bisa dipakai untuk membuat variasi genetik. Sebelumnya, untuk membuat tanaman yang memiliki daya tahan terhadap kondisi tertentu, dilakukan rekayasa genetika.

Riza, yang bekerja di PT Perkebunan Nusantara, adalah salah satu peneliti yang menerapkan metode CRISPR ini. Metode itu digunakan untuk mengatasi salah satu masalah yang dihadapi tanaman kelapa sawit Indonesia, yaitu gangguan jamur Ganoderma boninense. Saat menginfeksi sawit, jamur ini menghisap sari kayunya sehingga membuatnya keropos dan tumbang. Karena berbagai upaya fisik untuk menangani Ganoderma tak membuahkan hasil, Riza dan timnya mencoba cara biologi.

Cara kerja Ganoderma boninense di sawit, Riza menjelaskan, seperti SARS-CoV-2 terhadap manusia. Virus penyebab Covid-19 itu menginfeksi sel manusia karena ada perikatan dengan reseptor di dalam tubuh manusia. Hal yang sama dilakukan Ganoderma boninense terhadap sawit. Jamur Ganoderma bisa masuk ke sawit karena ada perikatan dengan protein tertentu yang hingga kini belum diketahui. “Kami mencari tahu aspek apa yang membuat Ganoderma boninense itu masuk. Kemudian aspek itulah yang kita gunting dengan CRISPR ini.”

Ilmuwan Emmanuelle Charpentier, Direktur Max Planck Institute for Infection Biology di Berlin 7 Oktober 2020./REUTERS/Fabrizio Bensch

Penelitian Riza tentang sawit ini berlangsung sejak 2015 dan sudah ada bibit yang gen reseptor Ganoderma-nya dipotong dengan CRISPR. Tanaman itu sedang ditumbuhkan di persemaian di sebuah laboratorium di Bogor. Umur tanaman tersebut kini berkisar 1-2 tahun. Proses berikutnya adalah pengujian tanaman sawit itu untuk mengetahui apakah masih bisa terinfeksi oleh Ganoderma boninense atau tidak. Kalau nanti terbukti tahan terhadap Ganoderma, tanaman ini rencananya diperbanyak untuk ditanam di perkebunan Indonesia.

Satya Nugraha mengatakan LIPI juga bekerja sama dengan Kyoto University, Jepang, untuk menerapkan metode gunting gen ini. Proyek penelitian pertama mereka berupa pengguntingan gen di tanaman untuk meningkatkan jumlah lignin. Lignin adalah komponen kayu yang penting. Makin banyak lignin, kayu makin keras. Dua tanaman yang akan menjadi obyek penelitian adalah sorgum dan rumput gajah. Biji sorgum bisa digunakan untuk pangan dan punya kandungan biomassa sangat tinggi. Sisanya bisa dimanfaatkan untuk industri.

Sorgum dan rumput gajah, Satya melanjutkan, juga bisa tumbuh cepat, dalam waktu tiga bulan sudah bisa dipanen. Sisa tanaman yang memiliki jumlah lignin tinggi bisa dimanfaatkan untuk industri papan dan briket. “Saat ini baru mulai dengan konstruksi mekanisme CRISPR-nya,” ujarnya. Dia menambahkan, tahun depan LIPI juga berencana menerapkan metode CRISPR untuk meningkatkan produktivitas dan kualitas padi.

Sebagai metode baru, gunting gen ini pernah memicu kontroversi dan menimbulkan perdebatan mengenai etika pemanfaatannya karena berpotensi mengubah keturunan manusia. Perdebatan etik ini muncul pada 2018 saat ilmuwan Cina, He Jiankui, mengumumkan bahwa ia telah menggunakan CRISPR untuk menyunting gen embrio manusia, yang menghasilkan bayi hasil rekayasa genetika pertama di dunia. Eksperimen He Jiankui ini dikecam banyak komunitas ilmiah sebagai tindakan tidak bertanggung jawab dan berbahaya.

Isu etik dari metode CRISPR, tutur Riza, sangat bergantung pada pemanfaatannya. Pengguntingan gen terhadap tanaman masih dianggap etis. Sebab, kalaupun nanti ada kesalahan di laboratorium, tanaman bisa dengan mudah dimusnahkan. “Kalau itu dilakukan kepada bayi, kan, tidak mungkin memusnahkannya bila ada sesuatu yang salah,” ucapnya. “Etik menjadi soal yang sulit terutama kalau metode itu dipakai di ranah manusia. Kalau untuk hewan masih relatif.”



ABDUL MANAN (NATURE, THE NEW YORK TIMES, BERKELEY.EDU)
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Abdul Manan

Abdul Manan

Meliput isu-isu internasional. Meraih Penghargaan Karya Jurnalistik 2009 Dewan Pers-UNESCO kategori Kebebasan Pers, lalu Anugerah Swara Sarasvati Award 2010, mengikuti Kassel Summer School 2010 di Jerman dan International Visitor Leadership Program (IVLP) Amerika Serikat 2015. Lulusan jurnalisme dari kampus Stikosa-AWS Surabaya ini menjabat Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen Indonesia 2017-2021.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus