Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Detektif Feminis Bernama Enola 

Dalam suatu dunia fiksi paralel, Sherlock Holmes memiliki adik perempuan yang sama brilian dengan dirinya, tetapi jauh lebih riang dan jenaka. Inilah Enola Holmes, yang memecahkan kasus sekaligus mematahkan pagar yang membatasi perempuan. 

 

24 Oktober 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
(dari kiri) Henry Cavill, Millie Bobby Brown dan Sam Claflin dalam Enola Holmes. imdb

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BUKAN menyulam atau meronce kerang. Pada usia 16 tahun, Enola Holmes malah sibuk membaca setiap buku yang ada di perpustakaan rumahnya di Ferndell Hall, bereksperimen sains, berlatih yuyitsu, memanah, dan memecahkan teka-teki kata. Ibunya sendiri, Eudoria, yang mengajarkan setiap literatur, olahraga, seni bela diri, dan keterampilan lainnya yang dimiliki Enola tetapi tak umum ditekuni gadis remaja pada era Victoria. Lebih dari itu, yang paling kuat ditanamkan Eudoria kepada putri bungsunya adalah kemandirian berpikir yang tak goyah di tengah pagar-pagar yang dibangun mengelilingi kaum perempuan Inggris pada akhir abad ke-19—yang sebagian pasaknya masih terus tertanam hingga hari-hari ini.

Namun ibu yang menjadi pusat gravitasi kehidupan Enola itu tiba-tiba meninggalkannya pada hari ulang tahun yang ke-16. Enola menyadari bahwa segala yang ditanamkan ibunya selama ini adalah bekal untuk mempersiapkannya akan kepergian itu. Nama Enola jika dibalik menjadi alone atau sendiri, begitu kata gadis itu tepat ke arah penonton pada awal cerita. Maka, hanya dirinya sendiri yang bisa diandalkan.

Tepat saat itu, dua abangnya yang merupakan nama-nama berpengaruh se-Inggris Raya memutuskan turut campur dalam nasib Enola. Mereka adalah Mycroft dan Sherlock Holmes. Lho, memangnya mereka punya adik perempuan?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

(dari kiri) Millie Bobby Brown dan henry Calvin beradu akting dalam Enola Holmes. 2020 Legendary/Netflix

Memang tak pernah ada yang namanya Enola dalam jagat Sherlock Holmes ciptaan Sir Arthur Conan Doyle. Penulis Amerika Nancy Springer yang menghidupkan karakter ini pada 2006 lewat rangkaian novel remaja The Enola Holmes Mysteries, sebuah pastiche alias imitasi dari dunia bikinan Doyle. Dalam dunia paralel ini, Mycroft dan Sherlock memiliki adik perempuan yang terpaut usia dua dekade lebih dengan mereka. Enola juga memiliki kemampuan menelusuri petunjuk dan memori visual setajam Sherlock. Dia membuka biro detektif sendiri di London, spesialis menangani kasus-kasus orang hilang.

Sebelum menciptakan adik perempuan untuk Sherlock Holmes, Springer pernah memberi Robin Hood seorang anak perempuan bernama Rowan Hood dan membuat lima seri buku petualangan berdasarkan kisah gadis itu. Tentang Enola Holmes, ada enam judul yang ditulis Springer. Film Enola Holmes diadaptasi dari buku pertama seri itu yang berjudul The Case of The Missing Marquees.

Karena dasarnya adalah cerita detektif untuk kelompok pembaca belia, kasus yang harus dipecahkan Enola boleh dibilang tak terlalu rumit. Setelah Eudoria menghilang, kedua abangnya meyakini si bungsu harus “diluruskan” di sekolah khusus perempuan untuk belajar tata krama. Tentu ide ini tak menarik bagi Enola. Mengelabui Mycroft dan Sherlock, Enola kabur ke London berbekal petunjuk yang ditinggalkan Eudoria di bunga krisan.

Pada film yang patut diduga merupakan bagian pertama dari calon waralaba menjanjikan ini, fokus ada pada perkenalan latar belakang Enola dan relasinya dengan Sherlock serta Mycroft. Millie Bobby Brown yang lekat dalam ingatan sebagai Eleven, anak perempuan kaku berkekuatan psikokinetis super di serial The Stranger Things, tampil brilian sebagai Enola.

Pada momen-momen dia mendobrak dinding keempat untuk berbicara langsung pada penonton, dapat dipastikan sesuatu yang sangat lucu atau sangat penting segera terjadi.

Enola adalah sebuah penemuan karakter yang akan menjadi simbol kekuatan dan panutan banyak anak perempuan. Cara Millie Bobby Brown menampilkannya membuat warna Enola makin cemerlang. Dia adalah perpaduan antara kemandirian, kecerdasan, ketangkasan, dan humor yang seimbang. Brown yang juga duduk di kursi produser tampak punya peran besar dalam menentukan arah karakternya. Sebagai aktris muda yang sangat vokal tentang kesempatan perempuan dan mendukung kuat gerakan Black Lives Matter, Brown memastikan nilai-nilai yang dia yakini itu tecermin dalam pilihan tindakan dan ucapan Enola.

Enola bukanlah remaja putri yang akan risau saat seseorang mengkritik tubuhnya. Baginya yang penting anggota tubuhnya fungsional. Dia juga tak ragu melontarkan pendapat tajam ketika aturan terasa tak masuk akal. Yang juga mencolok adalah bagaimana Enola tak canggung berganti-ganti gaya antara perempuan anggun dan laki-laki lincah. Memang perubahan gaya itu adalah bagian dari penyamaran Enola. Namun gesturnya yang terlihat nyaman dalam berbagai pakaian dapat dimengerti sebagai isyarat untuk menjadi nyaman dengan identitas gender dan seksual apa pun.

Millie Bobby Brown dalam proses syuting Enola Holmes. 2020 Legendary/Netflix

Sherlock yang biasanya selalu menjadi sorotan kali ini harus menyingkir ke pinggir untuk memberikan tempat utama bagi Enola. Henry Cavill sebagai Sherlock tak menampilkan sosok detektif jenius berhati dingin yang biasa, melainkan Sherlock si kakak laki-laki yang membiarkan dirinya tersentuh oleh tingkah-polah Enola.

Akan menarik juga melihat bagaimana Sherlock dan Enola beradu hipotesis dan berlomba membaca petunjuk. Namun tak ada kesempatan untuk itu. Segera setelah meninggalkan rumah, jalan Enola dibuat bercabang lewat pertemuan dengan Viscount Tewkesbury (Louis Partridge), seorang putra bangsawan tampan berambut tebal bergelombang yang cocok sekali menjadi anggota keenam One Direction. Tewkesbury berada dalam bahaya besar karena diincar seorang pembunuh bayaran. Menuruti emosi dan ketertarikannya terhadap si teman baru, Enola melupakan sejenak misi mencari ibunya untuk menyelamatkan dan mengungkap otak di balik rencana pembunuhan Tewkesbury.

Percabangan ini membuat babak kedua cerita menjadi kurang memikat karena tak cukup ruang untuk mendalami kasus hilangnya Eudoria ataupun misteri Tewkesbury. Pengungkapan masing-masing kasus menjadi terlalu cepat dan tak memuaskan. Yang membuatnya termaafkan adalah interaksi menggemaskan antara Enola dan Tewkesbury. Kendati begitu, ikatan antara Enola dan Eudoria seharusnya dapat diberi perhatian lebih lagi.

Meski lebih banyak muncul lewat adegan kilas balik, Eudoria (Helena Bonham Carter) adalah sosok kuat dengan ide-ide sangat progresif, bahkan untuk ukuran zaman sekarang. Dia memilihkan sendiri kurikulum pendidikan anaknya, kurikulum yang terbukti menyiapkan Enola untuk merambah rimba London raya yang penuh sudut-sudut dan manusia-manusia berbahaya. Eudoria mendidik dengan keras tetapi mengasihi dengan lembut. Dia mengerti bahwa dunialah yang belum siap untuk anak perempuannya sehingga dia menempuh jalan terjal untuk mengubah dunia itu. Salah satunya dengan memperjuangkan hak pilih perempuan. Ibu dan anak inilah magnet utama film Enola Holmes, cerita detektif hanya sampingan.

Ada juga upaya-upaya lain untuk menjaga film ini berada pada jalur yang beriringan dengan wacana-wacana penting zaman modern. Film ini seolah-olah dibuat dengan tertib merunut sebuah daftar periksa (checklist) berisi poin-poin representasi kesetaraan dan inklusi yang menjadi kesadaran dunia sinema belakangan ini. Tokoh utama perempuan? Checked. Perempuan bukan hanya karakter sempalan tapi memegang peran? Checked. Ada perwakilan karakter dari berbagai ras? Checked. Ada dialog bernas tentang privilese dan keterwakilan dalam politik? Checked

Nyaris semua poin dapat diberi tanda centang sehingga terkadang muncul kecurigaan apakah Enola Holmes benar ingin membawa pesan progresif atau sekadar agar tuntutan zaman sekarang terpenuhi. Bukankah luar biasa sekali bagaimana Edith (Susie Wokoma), seorang karakter perempuan dan berkulit hitam pula, yang dirancang untuk men-sekak seorang Sherlock Holmes dengan kata-kata, “Politics doesn’t interest you because you have no interest in changing a world that suits you so well”? Terasa too good to be true.

Namun, jika mundur sedikit dari pembacaan terlalu rumit atas film ini, Enola Holmes adalah sebuah materi berharga yang layak dipertontonkan kepada anak-anak perempuan kita.

MOYANG KASIH DEWIMERDEKA

Enola Holmes. 2020 Legendary/Netflix

Enola Holmes

Sutradara: Harry Bradbeer
Skenario: Jack Thorne (berdasarkan novel Nancy Springer)
Pemain: Millie Bobby Brown, Henry Cavill, Sam Claflin, Helena Bonham Carter, Louis Partridge

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Moyang Kasih Dewi Merdeka

Moyang Kasih Dewi Merdeka

Bergabung dengan Tempo pada 2014, ia mulai berfokus menulis ulasan seni dan sinema setahun kemudian. Lulusan Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara ini pernah belajar tentang demokrasi dan pluralisme agama di Temple University, Philadelphia, pada 2013. Menerima beasiswa Chevening 2018 untuk belajar program master Social History of Art di University of Leeds, Inggris. Aktif di komunitas Indonesian Data Journalism Network.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus