Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Awan gelap bergelayut di langit senja Desa Seraya Timur, Kecamatan Seraya, Kabupaten Karang Asem, Bali. Sejak sore, matahari sudah memudar oleh mendung. Angin kencang dan gerimis seperti jadi aba-aba bagi warga desa untuk lekas pulang dari ladang-ladang jagung, berlindung di bawah atap dan menarik selimut penghangat tubuh.
Jarum jam terus berputar, langit semakin gelap. Sekitar pukul enam sore, tanpa aba-aba, angin kencang datang dari utara. Seolah menumpahkan amarah, angin berkecepatan rata-rata 50-60 kilometer per jam itu berputar seperti gasing, mengebor bumi di bawahnya. Rumah-rumah bergoyang, satu demi satu genting dan atap rumbia mencelat. Tangis anak-anak pun mulai meledak ditingkahi lolongan anjing yang cemas. Warga kecut, lari menghambur ke luar rumah.
Lima jam kemudian, orkestra ngebor sang angin mereda. Malam itu tujuh desa di Karang Asem meratap. Pohon-pohon bergelimpangan, ratusan rumah luluh-lantak. Pemda Karang Asem menghitung, kerugian mencapai Rp 5,3 miliar, termasuk kebun-kebun jagung yang gagal panen.
Kepala Desa Seraya Timur, I Wayan Genden, menyebut amukan angin kali ini "benar-benar yang paling besar". Biasanya, kata Genden, biarpun musim angin kencang, angin tak pernah mengamuk hingga lima jam dengan putaran gasing begitu mengerikan.
Tak hanya Karang Asem yang poranda. Di Jawa, angin membuat sengsara warga Desa Gandasari, Kecamatan Jatiuwung, Tangerang, Banten. Di Ibu Kota Jakarta, tarian angin merontokkan pohon-pohon dan tiang listrik. Laporan sergapan angin sejenis berdatangan dari berbagai wilayah lain sepanjang Sumatera, Jawa, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, hingga Kalimantan Barat.
Meski memakan begitu banyak korban, toh dahsyatnya puting-beliung ini menurut Zadrach L. Dupe, Ketua Kelompok Riset Klimatologi Departemen Meteorologi dan Geofisika Institut Teknologi Bandung (ITB), masih dalam ambang normal.
Menurut Zadrach, saat ini matahari sedang berada di bagian selatan bumi. Maka, pada bulan ini radiasi matahari yang membuat pemanasan pun banyak terjadi, membentuk awan kumulus, jenis awan yang berpotensi mencurahkan hujan.
Data terakhir Jumat minggu lalu di Pusat Pengembangan Pemanfaatan dan Teknologi Penginderaan Jauh, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan), memperlihatkan hal ini. Kelompok awan kumulus tampak berkumpul terutama di atas Samudra Hindia, selatan Jawa, dan Papua.
Awan ini, menurut Zadrach, tumbuh vertikal dan bisa menjulang setinggi 18 kilometer. Bila awan ini bergabung dengan gugusan sel awan kumulus lain, akan terbentuk awan kumulus super-sel. Merger awan inilah yang menjadi cikal-bakal puting-beliung.
Penyebab lain banyaknya angin kencang, menurut peneliti Lapan, M. Rokhis Komarudin, adalah saat ini sedang berlangsung penurunan tekanan udara di Benua Australia pada dua titik. Penurunan ini akibat siklon tropis yang tengah mengamuk di sana. Kalangan pelaut mengenal badai ini sebagai badai Linda.
Biarpun terjadi di atas Australia, siklon ini menciptakan tekanan udara rendah raksasa di atas Benua Kanguru itu. Ini semacam undangan bagi angin dari belahan utara, yang tekanannya sedang tinggi-tingginya, untuk mampir ke selatan.
Posisi bumi yang miring 66,5 derajat membuat alur angin tak langsung bergerak lurus ke selatan. Angin yang berlari cepat ini bertiup dari utara menuju khatulistiwa dan, akibat rotasi bumi, berbelok di sepanjang Samudra Hindia dan bergerak lurus sejajar khatulistiwa. Sialnya, inilah wilayah Indonesia yang terbentang dari Sumatera, Jawa, Bali, NTB, hingga NTT. Angin kencang pun mampir, menyisakan kehancuran di sepanjang perjalanannya.
Pada Januari lalu, terjadi dua kali siklon tropis di wilayah Indonesia bagian selatan. Rinciannya, satu siklon tropis di Samudra Hindia bagian barat daya Pulau Jawa dan satu lagi di sebelah barat Australia. Siklon tropis di barat daya Pulau Jawa inilah yang menyebabkan beberapa wilayah di Sumatera Selatan dan Pulau Jawa dilanda hujan lebat hingga banjir awal Februari lalu.
Zadrach mengakui, meski tergolong wajar, badai tahun ini lebih dahsyat dari yang sudah-sudah. Menurut dia, ini terjadi karena kecilnya potensi El Nino. Rokhis kemudian memperlihatkan data Lapan yang menunjukkan anomali suhu muka air laut. Semuanya mendukung pernyataan bahwa "Il Kapitano El Nino" belum tampak batang hidungnya dan masih tertidur lelap.
Jika saja El Nino tidak lelap, awan bisa bergeser ke Lautan Pasifik dan menghambat laju pertumbuhan awan di atas Indonesia. Tapi, karena si Nino ini sedang tidur, pembentukan awan di atas Indonesia jadi lebih aktif. "Puting-beliung yang timbul lebih besar dengan kecepatan yang lebih tinggi," kata Zadrach.
Itu sebabnya, menurut Zadrach, angin kencang akan tetap mengancam Indonesia sampai akhir Februari. Bahkan wilayah seperti Bali, NTT, dan NTB disarankan Zadrach supaya tetap waspada hingga akhir April 2004. "Sebab, sebelum tenggat ini, matahari belum lewat dari khatulistiwa," kata dia. Selepas April, barulah badai tropis bergeser ke wilayah-wilayah utara.
Melihat fenomena ini, Moekti Harsoejachmoen, peneliti iklim dari Yayasan Pelangi Indonesia, mencemaskan terjadinya perubahan iklim. Menurut Moekti, ini karena selama ini badai tropis kerap jatuh di lautan. Belakangan ini, Moekti memperkirakan, karena berbagai aktivitas yang semakin meningkat di daratan, suhu udara mengalami kenaikan yang kemudian mengundang penguapan dan potensi lanjutan.
Kendati mengaku belum ada hasil riset yang bisa memberi bukti kuat perihal perubahan iklim dan pemanasan global, setidaknya "angin puting-beliung ini bisa dijadikan peringatan dini akan ancaman pemanasan global dan perubahan iklim," ujar Moekti.
Secara teori, Zadrach juga mengaku adanya dampak dari perubahan iklim dan pemanasan global terhadap berbagai peristiwa yang tengah menghajar Indonesia. Tapi, "Pemanasan global masih diperdebatkan, apakah memang sudah terjadi," ujarnya. Toh, ada ataupun tidak, menurut Moekti, tetap saja harus diwaspadai. Sebab, "Alam punya cara tersendiri untuk mengingatkan manusia," ia menandaskan. Dan peringatan itu kerap kali dilakukan dengan cara yang membuat manusia harus menangis.
Agus Hidayat, Rofiqi Hasan (Bali), Rinny Srihartini (Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo