Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Yang Cerdas dari Nancy Meyers

22 Februari 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bayangkanlah. Bayangkan dengan segenap kemampuan imajinasi Anda yang liar.

Seorang pemilik 10 perusahaan rekaman dan hiburan, pria berusia 63 tahun (yang masih memiliki suara serak yang seksi) dengan gelambir di perutnya, jantung megap-megap, dan ketergantungan pada Viagra untuk menegakkan batang penisnya.

Seorang perempuan berusia 30 tahun, bekerja di balai lelang Christie, New York, tinggi, sintal, dada penuh, wajah bercahaya.

Dan keduanya bersetuju untuk bertukar hasrat di rumah pantai milik ibu sang perempuan, Erica Barry (Diane Keaton, yang masih seksi dan atraktif pada usia 57 tahun), di Hampton untuk sebuah akhir pekan yang panas.

Berhasil?

Sori. Tentu saja tidak. Sang pria terkena serangan jantung ketika mereka baru saja membuka acara foreplay dan Viagra baru saja ditenggak. Seluruh isi rumah pantai panik. Dan di situlah komedi dimulai. Pria tua bergelambir itu adalah Harry Sanborn, yang diperankan oleh siapa lagi kalau bukan Jack Nicholson, dan perempuan muda itu adalah Marin Barry (Amanda Peet).

Inilah film komedi romantik terpanjang (124 menit), terlezat, dan terseksi setelah When Harry Met Sally (Rob Reiner) dan serangkaian film Woody Allen, yang dibuat oleh seorang sutradara perempuan, Nancy Meyers (What Women Want), yang gemar mengolok para lelaki tanpa mencerca. Tokoh Harry Sanborn sejak awal diperlihatkan sebagai lelaki tua yang kaya raya, mata keranjang, yang cukup punya alasan untuk dibenci para mantan pacarnya ("Orang mengatakan saya ahli dalam soal perempuan muda... karena saya selalu berkencan dengan mereka selama 40 tahun terakhir," katanya membuka film ini). Tapi, dengan bahasa tubuh, Meyers (dan Nicholson) membiarkan sosok Sanborn menjadi begitu dungu dan konyol setelah tergeletak di atas tempat tidur rumah sakit dan sempoyongan dengan jubah pasien yang memperlihatkan pantatnya yang begitu tua dan keriput (bagaimana, sih, para cewek muda itu bisa tertarik padanya?—Red.). Adegan berikutnya, Dokter Julian Mercer (Keanu Reeves) meluncurkan pertanyaan standar bagi penderita jantung yang baru saja kena serangan (tapi memalukan bagi playboy tua seperti Harry Sanborn), "Apakah Anda baru saja menelan pil Viagra?" Sang pacar yang muda belia, ibunya yang senja tapi jelita, Tante Zoe (Frances McDormand), semuanya menatap sang pasien dengan mata terbelalak, ingin tahu jawabannya.

Harry gugup dan mengatakan "tidak." Sang dokter menekankan bahwa ia harus jujur karena obat yang disuntikkan ke dalam tubuhnya tak boleh "bertabrakan" dengan Viagra, "Akibatnya bisa fatal." Yang terjadi kemudian adalah sebuah ledakan adegan terlucu (minus slapstick).

Sebuah komedi romantik tentu saja tak pernah menjanjikan suspense, thriller, apalagi ketegangan. Dia bahkan tidak menjanjikan kejutan pada plot. Yang ditekankan adalah proses. Karena itu, akting para bintang menjadi sangat penting. Bagaimana seorang penulis drama Broadway terkemuka yang sudah bercerai dan berada di titik usia senja seperti Erica Barry kemudian diminati oleh dua lelaki pada saat yang sama: Harry Sanborn, yang sebaya dengannya, dan Dokter Julian Mercer, yang 20 tahun lebih muda darinya? Bagaimana lelaki seganteng dan sebaik hati Dokter Julian (untuk pertama kalinya Keanu Reeves menampilkan akting yang wajar, relaks, dan hangat) bisa langsung tertarik, jatuh cinta, terbang ke Paris bersama seorang wanita yang 20 tahun lebih tua, dan menghadiahkan sebuah cincin pada hari ulang tahunnya? Bagaimana pula dengan mudahnya lelaki muda yang begitu simpatik dengan cinta yang begitu tulus tiba-tiba saja menyerah kalah ketika melihat sinar mata Erica yang masih penuh cinta kepada saingannya itu? Logika itu tak menjadi penting. Yang penting adalah proses bagaimana Diane Keaton—yang kurang-lebih seperti memerankan dirinya sendiri—menghadapi perhatian kedua lelaki itu dan menemukan (kembali) kenikmatan seksual yang luar biasa dan cinta sejati. Dan yang lebih penting sebetulnya adalah proses perubahan yang terjadi di dalam sosok Harry, yang semula merasa tak akan mungkin jatuh cinta dan terikat pada perempuan mana pun di dunia, menjadi Harry yang tiba-tiba menyadari ajal bisa merenggutnya kapan saja (setelah serangan jantung) dan tiba-tiba saja menyadari, dalam sisa hidupnya yang pendek, dia ingin mencintai dan dicintai seseorang.

Hal lain yang menjadikan film ini film komedi romantik yang brilian dan berbeda adalah dialognya yang cerdas. "Saya tak pernah berbohong kepadamu. Saya selalu mengatakan beberapa versi kebenaran," kata Harry kepada Erica, yang merasa dikhianati dan ditinggalkan (setelah berakhir pekan dengan bercinta, Harry kembali ke New York dan kembali lagi pada gaya hidup semula: mengencani para perempuan muda!), sebuah kalimat khas lelaki playboy yang selalu merasa punya pembenaran akan tingkahnya. "Harry, kebenaran tak memiliki versi. Kebenaran adalah kebenaran," jawab Erica frustrasi. Dia tahu, dia harus meninggalkan lelaki itu.

Dialog makan malam yang menyajikan analisis Zoe, adik Erica—seorang dosen women studies—adalah adegan yang sama cerdasnya. Zoe mengkritik bagaimana para lelaki tua yang mengencani perempuan-perempuan muda akan dianggap "hebat" oleh masyarakat, sementara para perempuan sebaya kakaknya yang begitu sukses dan brilian akan lebih sukar mendapatkan jodoh hanya karena "para pria merasa terancam akan kepandaiannya." Persoalan klasik di masyarakat mana pun.

Diane Keaton tampil prima (selain dinominasikan sebagai aktris terbaik dalam Academy Award, Keaton diganjar penghargaan Golden Globes, Art Directors Guild, dan National Board of Review sebagai aktris terbaik 2004). Demikian pula Jack Nicholson. Tak peduli jika semua menganggap mereka memerankan diri sendiri karena karakter itulah yang diinginkan skenario. Keanu Reeves kali ini tampil menyenangkan dan Frances McDormand, meski hanya selintas, juga bersinar.

Pada periode ketika komedi romantik tengah digandrungi sebagai solusi untuk mengisi film musim panas di AS—dan sebagai solusi yang identik dengan film hiburan di Indonesia—film seperti ini kemudian mengingatkan kembali bahwa sesungguhnya komedi (yang bagus) adalah genre yang paling sulit digarap oleh sutradara terbaik sekalipun. Membuat orang tertawa—karena humor yang cerdas dan karena kedunguannya sendiri—adalah pekerjaan yang paling berat dalam dunia sinema ataupun pertunjukan. Sejauh ini, baru sutradara Woody Allen dan Rob Reiner yang telah memenuhi persyaratan itu. Nancy Meyers kini menambah deretan nama ini.

Leila S. Chudori

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus