Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

JFK dari Massachusetts

John F. Kerry kian melaju sebagai calon terkuat presiden dari Partai Demokrat. Unggul dalam isu politik atau karena karisma Kennedy?

22 Februari 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Amerika sedang gandrung JFK. Maaf, ini bukan John F. Kennedy, Presiden Amerika Serikat yang legendaris dari Partai Demokrat. Ini John Forbes Kerry, si JFK dari Massachusetts, calon terkuat presiden dari Partai Demokrat sampai saat ini. J.F. Kerry dan J.F. Kennedy sama-sama datang dari Negara Bagian Massachusetts. Keduanya sama-sama cerdas, berpengalaman sebagai senator, veteran perang besar, dan sama-sama berkehendak menjadi Presiden Amerika. J.F. Kennedy dilantik menjadi Presiden Amerika pada 20 Januari 1961 dan ditembak mati pada 22 November 1963. J.F. Kerry kini melaju ke arah Gedung Putih—dan mudah-mudahan tak menjadi almarhum gara-gara naik pangkat menjadi presiden. Kerry menang telak dalam pemilihan pendahuluan di 12 dari 14 negara bagian. Jauh sebelum masuk ke politik, dia sudah pernah membuat panik seorang presiden. Suatu hari pada tahun 1971, sepulang dari Vietnam, ia bergabung dengan kelompok antiperang dan berdemonstrasi di Capitol Hill. Mereka membuang medali Perang Vietnam di tangga gedung sebagai tanda protes. ”Bagaimana mungkin kami diminta untuk mati di medan perang demi sebuah kesalahan?” katanya. Kerry diminta bersaksi di Senat—yang membuat gerah Presiden Richard Nixon. Menurut koran The Guardian, beberapa kali rapat rahasia digelar Presiden untuk membungkam mulut letnan muda itu. Pada hari-hari ini, giliran Presiden George W. Bush yang dibikinnya gemetar. Kerry menjadi hantu lagi bagi Republik. Mewakili Negara Bagian Massachusetts, Kerry sudah empat periode duduk di Senat. Ini prestasi yang amat jarang di Amerika. Dia investigator andal dalam kasus-kasus besar macam skandal Iran-Contra dan pencarian sisa serdadu Amerika di Vietnam. Selama di Senat, ia berhasil menormalkan hubungan Amerika-Vietnam. Catatan dalam karier politik dan militernya tanpa cacat, setidaknya kubu Republik belum menemukannya hingga hari ini. Ia mendapat lima medali kehormatan dalam Perang Vietnam. Kerry adalah kapten kapal patroli angkatan laut yang berhasil menghancurkan pasukan Vietcong dan menyelamatkan anak buahnya. Karena statusnya sebagai veteran Vietnam itulah, ia amat dihormati oleh ratusan ribu veteran dari berbagai perang yang pernah dilakukan Amerika. Kerry masuk ke Fakultas Hukum Universitas Yale—sekolah yang juga dimasuki oleh George Walker Bush dua tahun kemudian. Lulus dari Yale, ia bekerja sebagai jaksa penuntut sebelum menjadi Letnan Gubernur Massachusetts tahun 1982. Dua tahun lewat, dia naik kelas menjadi senator dan bertahan hingga empat masa pemilihan. Kehidupan pribadinya hampir sempurna. Ia anak seorang diplomat Amerika yang melalui masa kanak-kanaknya di Swiss. Ayah lima anak ini beralih dari agama Yahudi ke Katolik. Ia menikah dua kali—terakhir dengan Teresa Heinz, janda mendiang Senator John Heinz. Janda itu memberinya tambahan kekayaan US$ 600 juta sehingga total aset mereka bernilai US$ 675 juta (sekitar Rp 6 triliun lebih), menjadikannya senator terkaya saat ini. Di waktu senggang, ia memetik gitar dan mendendangkan lagu klasik. Kerry menampilkan citra diri yang mirip benar dengan Kennedy. Banyak analis politik di Amerika membandingkan ”duel” Kerry-Bush dengan pertarungan JFK-Nixon. Saat itu Republik terkenal agresif memakai isu perang dalam kampanye. Nixon memang prajurit dalam Perang Dunia II. Tapi isu itu segera rontok saat melawan Kennedy, seorang politikus muda, senator populer, tampan, dan pahlawan perang pula. Kerry tak menolak disamakan dengan Kennedy, tapi ia menolak menyebut Kennedy sebagai pahlawan bagi dirinya. Dan para pemilih ternyata gandrung pada Kerry, yang tak terlalu bersikap oposan terhadap Bush. Ia tak seratus persen menentang perang seperti Howard Dean, tidak ngotot mempertanyakan kredibilitas lawan-lawannya seperti Wesley Clark. Pekan lalu Clark mundur dan memberi suaranya pada Kerry, sedangkan calon lain, Carol Moseley juga mundur dan memberi suaranya pada Howard Dean. Hingga minggu lalu, cuma tiga nama yang saling bersaing ketat, yakni Kerry, Dean, dan John Edwards. Penampilan dan latar belakang setiap kandidat ternyata amat berpengaruh. ”Hanya profil macam Kerry—tentara sekaligus senator—yang bisa mengalahkan Bush,” kata sebagian pemilih di New Hampshire saat ditanya alasan memilih Kerry. Tapi Kerry bukan tanpa kelemahan mencolok seperti yang ditulis mingguan Time. Sikapnya dipandang oportunistis. Dia disebut politikus yang punya tiga sikap: pro-kontra-kembangkan. Hampir dalam semua isu besar ia dapat berganti dari seorang pendukung menjadi penentang. Ia membunuh musuh di Vietnam, tapi membuang medalinya sebagai protes. Ia berang dengan Perang Teluk I, tapi ikut menyokong serangan AS ke Kosovo, Grenada, dan Afganistan. Kerry amat anti-hukuman mati, tapi belakangan setuju hal itu diberlakukan bagi teroris. Ia menyetujui hak kaum gay, kecuali pernikahan antar-gay. Dan ia Katolik, tetapi penyokong aborsi. Sikap itu bisa menjadi pukulan balik berbahaya. Kelompok gereja di Amerika sudah memprotes pendiriannya soal aborsi saat ia berkampanye di Virginia. ”Kamu tak bisa sekaligus menjadi Katolik dan pro-aborsi,” kata mereka. Kritikan lain datang dari salah satu lawannya, Howard Dean, kenapa begitu sedikit nama Kerry tercantum dalam berbagai undang-undang yang dihasilkan Senat. Dalam politik Amerika, itu pertanda kelemahan. Sebab, seorang legislator berpengalaman diperlukan untuk mengerti bagaimana semua peraturan itu diterapkan. Tapi Kerry segera menunjuk bukti 12 undang-undang yang mencantumkan namanya. Di antaranya, anti-pencucian uang dan perawatan anak. ”Lebih penting menyumbangkan ide ketimbang nama kita,” Kerry menandaskan. Kubu Republik sudah pula menyiapkan perang untuk Kerry dengan berbagai isu: kemalasannya terlibat dalam proses legislasi, sikapnya yang terlalu liberal untuk ukuran seorang Demokrat, dan pendiriannya yang tak teguh. Tapi pendukung Kerry punya argumen : itu bukan kelemahan tetapi kemampuan untuk melihat visi yang baru. Bagaimana dengan partai Republik, yang kembali mencalonkan Bush? Kredibilitas presiden itu sedang menukik tajam karena Perang Irak. Beberapa pekan lalu Kepala Inspeksi Senjata Amerika di Irak, David Kay, memberinya pukulan telak. Kepada wartawan, Kay mengatakan Amerika telah salah menyerang Irak karena tak ada senjata pemusnah massal. Kay lalu mengundurkan diri sebagai pertanggungjawaban pribadinya. Padahal alasan yang selalu dipakai Amerika untuk membenarkan perang itu adalah Irak menyimpan senjata pemusnah massal. Ujian berat bagi Kerry akan datang minggu ini, saat dia berkampanye di bagian selatan Amerika. Wilayah itu dikenal sebagai ”kubu tradisional” Partai Republik. Andai Kerry menang di sana, jalannya ke Gedung Putih kian terbuka lebar—kendati kejutan selalu bisa terjadi dalam putaran final pada November nanti. I G.G. Maha Adi (Time, New York Times, Washington Post)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus