Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Gelandangan tak lagi di kolong

Permukiman kali code dan condorejo ditinjau prof. j. auzorena atas undangan mapindo. dalam rangka membangun perumahan super murah untuk para gelandangan. (ling)

29 September 1984 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TUJUH tahun lalu, Mbok Sudadi hidup sebagai gelandangan di kawasan Alun-Alun Utara. Pernah pula tinggal di kolong Jembatan Kewek dalam gubuk beratap plastik dan berdinding kardus. "Sekarang kami hidup lebih tenang," ujar si Mbok. Kini tubuhnya gemuk, di lehernya ada lilitan kalung, dan di pergelangan tangannya ada sebentuk arloji. Tempat tinggal Mbok Sudadi sekarang berukuran 4 x 6 meter. Bangunan itu berdiri di tepi Kali Code, beberapa puluh meter dari Jembatan Gondolayu, Yogya. Isi rumahnya: dipan berkasur, televisi 12 inci, radio 3 band, dan tape recorder. Di dinding rumahnya, yang terbuat dari papan, menempel sebuah jam merk Tnstar. Kekayaan lainnya, sebuah sepeda dan dua buah lampu petromaks. Di pojok rumah berlantai semen itu ada onggokan kertas bekas yang disusun rapi. "Kertas itulah yang menhidupi kami," ujarnya. Suaminya, Sudadi, bekerja di perusahaan fotokopi sebagai pembersih lantai. Gajinya cuma Rp 5.000 per bulan. Tapi kertas-kertas bekas yang dipungutnya bisa mendatangkan uang sampai Rp 50.000 per bulan. Petang hari, dia menjadi pembersih sampah dari rumah ke rumah dengan imbalan Rp 20.000 per bulan. Tetangganya, Tarmin Setu, juga memiliki benda-benda elektronik seperti keluarga Sudadi. Kerja Tarmin Setu pengumpul kardus dan besi bekas. Di Kampung Condrorejo, Semarang, sehagian besar penghuninya mempunyai mata pencaharian sebagai tucang becak, tukang batu, kernet, dan pengumpul beling. Bahkan Yososukarto, 60, mempunyai profesi sebagai pengemis. Tapi di rumahnya ada televisi 12 inci, seperangkat meja dan kursi, tempat tidur berkasur, dan kompor. Sudadi, Tarmin Setu, atau Pak Karto adalah contoh bagaimana memanusiawikan gelandangan dengan hidup yang lebih layak. Permukiman gelandangan di kawasan Kah Code dan Condrorejo telah ditinjau Prof. Jurge Auzorena sebelum berlangsung ceramahnya, yang berjudul "Dunia Ketiga dan Pembangunan Perumahan, Kritik dan Analisis", minggu lalu, atas undangan Mapindo (Masyarakat Pembangunan Indonesia). Menurut arsitek asal Argentina itu, yang kini mengajar di Universitas Sophia, Tokyo, pemerintah sebaiknya menunjang kelayakan permukiman penduduk terbawah dari kelas rendah ini. Adalah mustahil untuk menghapuskan kawasan-kawasan "hitam" di kota-kota sebagai akibat meledaknya urbanisasi. "Rasanya, terlalu egoistis kalau kota besar hanya menampung penduduk kelas menengah ke atas," ujarnya. Masalah permukiman selalu menyangkut soal tanah, status hukumnya, dan uang. Menurut Auzorena, karena kemampuan dana pemerintah biasanya terbatas, masyarakat sendirilah yang jadi pusat perputaran proyek ini. Pemerimtah jadi penunjang saja. Auzorena memuji pengelolaan bekas kawasan hitam di Yogya dan Semarang oleh pihak swasta sehingga jadi kawasan perumahan supermurah. Ide memanusiawikan penghuni liar di daerah "hitam" tepi Kali Code bermula dari Gereja Kristen Jawa Gondokusuman (GKJG). Gagasan itu muncul pada 1977, setelah pengurus gereja melihat tebing-tebing Kah Code tak lagi longsor seperti sebelumnya. Selang setahun kemudian tersusunlah program "tribina" dengan tiga pembagian kerja yang saling menunjang. Kelurahan Terban melakukan bina lingkungan. GKJG melakukan bina mental. Pastor J.B. Mangunwijaya, yang juga jadi penghuni tepi Kali Code, jadi pembina fisik lingkungan. Secara bertahap lingkungan tepi Kali Code diperbaiki. Mula pertama dibuat sumur pompa untuk air minum. Lalu kakus dan bak air untuk mencuci atau mandi dengan tetap memanfaatkan Kali Code. Bantuan uang untuk perbaikan permukiman tersebut, menurut Romo Mangun, diperoleh dari donatur, dan, "Kami tak pernah mengalami kesukaran." Ia tak menyebutkan para penyumbang itu. Perbaikan permukiman untuk orang miskin di Semarang lebih maju. Di sini ada 10 lokasi sejenis Kali Code yang telah dirintis Yayasan Sosial Sugiyopranoto (YSS) dari Keuskupan Agung Semarang. Kegiatan itu dimulai 20 tahun lalu. Ketika itu ada 32 tempat gelandangan yang mengotori Kota Semarang. Ada yang tidur di emper toko, los pasar, gerbong kereta api, dan lainnya. Lalu YSS, yang bekerja sama dengan Pemda dan Jawatan Sosial, sedikit demi sedikit memukimkan mereka. Untuk menampung para gelandangan itu, YSS membuat rumah-rumah sederhana, dari bambu dan gedek, yang ongkosnya hanya Rp 250.000. Penghuni mencicil dengan menyetorkan Rp 50 per hari. Seperti juga di Yogya, hak tinggal di rumah murah itu tidak boleh diperjualbelikan. Kini di 10 lokasi tersebut sudah banyak penghuni yang mengganti dinding bambu rumah mereka dengan tembok. Di tepi Kali Codc, kalau suatu waktu penghuninya pindah, rumah dikuasai oleh kampung. Sedangkan uang sewa Rp 100 per hari masuk kas kampung. "Ini suatu model kampung kooperatif," kata Romo Mangun. "Ternyata, orang kecil kalau ditanani betul-betul, dihormati, dan dihargai, bisa bermanfaat." Kini, menurut Romo Mangun, para penghuni rumah murah di Kali Code dan Condrorejo telah meninggalkan tahap gelandangan dan setengah gelandangan ke tahap bekerja. Pemingkatan ini dimungkinkan karena di dalam lingkungan mereka diajarkan pula berbagai keterampilan, seperti pertukangan dan kerajinan tangan. Dari sudut ekologi, peran pengumpul kertas, plastik, besi bekas juga besar. Sebab, mereka menyortir barang-barang bekas itu. Untuk Jakarta, kapan kawasan yang didiami gelandangan menjadi layak dihuni? Sebab, untuk mencicil permukiman seperti Perumnas belum terjangkau oleh mereka.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus