SEJAK Dokter Gunawan Simon berusaha mengobati Adam Malik (almarhum) dengan cara inkonvenslonal, terkun (dokter-dukun) kembali ramai di masalahkan. Rapat Kerja Nasiona IDI ke-10 di Jakarta, pekan lalu yang membahas etika kedokteran dan pendidikan lanjutan, mau tak mau pasti menyentuh soal terkun. Pengurus IDI, Dokter Kartono Mohamad, pagi-pagi sudah mengutarakan, IDI akan berikhtiar menyelenggarakan pendidikan lanjutan bagi para dokter setelah mereka lulus. Maksudnya, bukan spesialisasi atau pascasarjana, yang menjadi tugas fakultas, tapi memberi imformasi tentang perkembangan ilmu kedokteran yang, menurut Kartono, tak pernah mandek. Sebab, diperkirakan banyak dokter tidak lagi menggali ilmu setelah lulus. Secara tak langsung Kartono mengungkapkan, gejala tidak belajar lagi bisa membuat seorang dokter mengembangkan diri kerpraktek dukun atau akal-akalan lain yang kemudian dikenal sebagai ke dokteran inkonvensional. IDI, juga pemerintah, tampak berusah keras menjaga agar perkembangan dunia kedokteran di Indonesia berkembang di "jalur konvensional". Dalam wawancara dengan TEMPO, Menteri Kesehatan Soewardjono Soerjaningrat menegaskan, "Karena dokter di Indonesia mengikuti standar profesional, maka tindakan nonkonvensional tidak perlu dibicarakan lagi." Ketika ditanya kemungkinan pengobatan inkonvensional, Soewardjono masih juga berkeras menggunakan standar kedokteran konvensional. "Kalau secara ilmiah dapat dibuktikan, boleh saja itu baik, tapi tidak untuk dicampuradukkan," katanya, "Saya tidak rela kalau profesi dokter Indonesia dicemari aliran nonkonvensional.' Selain Gunawan Simon, disinyalir cukup banyak dokter menempuh pengobatan cara nonkonvensional. Di antaranya, Dokter Abdul Aziz Marala, yang menggunakan lintah untuk pengobatan darah tinggi. Jenis lintah yang digunakannya, Hirudo medicinalis, yang tidak serakus jenis lain. Walau cara pengobatan nonkonvenslonal sukar dipertanggungjawabkan secara ilmiah, toh kenyataannya, praktek pengobatan "janggal" itu banyak dikunjungi pasien. Sebagian pasien itu bahkan datang dari tempat jauh. Karena sebagian besar masyarakat kita masih percaya pada kekuatan adikodrati, maka ketua IDI Prof. Dr. Mahar Mardjono melihat kenyataan ini agak longgar. Pengembangan pengobatan inkonvensional, menurut bekas rektor UI itu, boleh saja dijalankan. "Tapi jangan dokter yang mengembangkannya, dan menjadi dukun." Mengapa dokter kemudian menjadi dukun? Mahar memperkirakan hal itu akibat keadaan di lapangan. Di puskesmas, misalnya, dokter sering menghadapi keterbatasan pengetahuan dan apresiasi masyarakat tentang pengobatan konvensional. Maka, banyak dokter beralih ke pengobatan inkonvensional. "Tapi, ini namanya dokternya bodoh," ujar Mahar. "Saya sudah melihat berbagai puskesmas, walaupun keadaannya terbatas, masih terbuka kemungkinan untuk melaksanakan tugas dengan standar profesi." Karena itu, Mahar berpendapat bahwa keadaan di lapangan tak bisa dijadikan alasan munculnya terkun. "Itu sepenuhnya karena kemauan si dokter," katanya. Menghadapi keadaan itu, IDI akan bertindak tegas. "IDI sakan mencabut rekomendasi izin praktek mereka," ujar Mahar. Tindak lanjutnya: Depkes akan mencabut izin praktek para dokter itu. Tapi untuk memutuskan pencabutan rekomendasi tidaklah mudah. Pasalnya, bagaimana memastikan seorang terkun. Dokter Gigi Nyonya M. Kumalasari, yang berpraktek di Yogya dan sering disebut mengikuti paham inkonvensional, mengatakan bahwa hal itu pelik. Tak menampik bekerja sama dengan Pater Loogman, yang menjalankan pengobatan imkonvensional, tapi Kumalasari mengaku tak mempraktekkan "pengobatan magnetis Loogman. Menurut Kumalasari, Pater Loogman percaya bahwa beberapa penyakit tubuh ada hubungannya dengan kerusakan gigi. Maka, ia mengirim pasiennya kepada Kumalasari bila menemui keadaan ini. Ketika diperiksa, ternyata, memang ada giginya yang rusak. Dan gigi itulah yang diobati Kumalasari. Selain Kumalasari, dokter yang mengikuti jalur inkonvensional juga akan bertahan dengan sejumlah alasan - yang barangkali tidak mudah dibantah. Misalnya, Dr. Soeparman, spesialls penyakit dalam yang mendalami pula subspesialisasi penyakit darah, yang dikenal mempunyai kemampuan menghilangkan rasa nyeri dengan memijit. Sedikit berbeda dengan Gunawan Simon, pensiunan dokter RSCM ini terbuka dan sama sekali tak merahasiakan apa pun dari pengobatannya. Teknik pijitnya berpangkal pada rasa sakit akibat kusutnya jaringan ikat yang membungkus otot dan urat. Soeparman mengatakan, praktek ltu telah dilakukannya sejak 1960. Alasannya, pada masa itu obat-obat untuk menghilangkan rasa sakit sangat langka. Tahun 1974, ia pernah mengajukan teorinya dalam simposium anastesiologi (ilmu pembiusan), tapi tak begitu mendapat tanggapan, karena Soeparman tak bisa membuktikannya 100% ilmiah seperti diharapkan Menkes. "Teori bisa, tapi buktinya susah untuk diukur," kata Soeparman. Tentang silang pendapat ini, Dokter Soesilo dari Kanwil Depkes Yogyakarta, yang mengikuti Rakernas tiga hari itu berpendapat, heboh terkun ini karena para ahli di Indonesia terlalu berkiblat ke Barat. Ia berpendapat, pengobatan inkonvensional perlu diteliti untuk dikembangkan. Sebagai contoh dikemukakannya, banyak dokter di Amerika dan Eropa kini berpaling ke Timur mempelajari akupunktur, misalnya. Padahal, akupunktur itu tak bisa tuntas dibuktikan secara ilmiah. Pengobatan inkonvensional, menurut Soesilo, baru bisa berkembang di Indonesia setelah, "Barat meneliti dan menulisnya," katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini