Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Kumpul kerbau liar

18 dari 29 pasang remaja kumpul kebo di yogya tidur bersama 5-7 malam seminggu. kumpul kebo juga ada dalam masyarakat apro-amerika. kumpul kebo yogya tergolong liar tak di terima masyarakat. (kl)

29 September 1984 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ENTAH apa gerangan sebabnya, yang jelas, di dalam kamus Poerwadarminta, Baoesastra Djawa (1939), tidak tercantum kumpul kebo. Apakah perkawinan demikian belum dikenal sebelum Perang Dunia II? Tapi di dalam kamus yang mengesankan itu sudah tercantum pisah kebo: pepisahan nanging durung pegatan. Berpisah tapi belum bercerai. Jadi, apa beda pisah kebo dengan purik? Menurut Poerwadarminta, purik adalah meninggalkan istri atau suami karena pertengkaran. Kita lalu bisa berspekulasi: mungkin kumpul kebo jupa dimasukkan ke dalam kamus itu. Dan mungkin pisah kebo adalah berpisahnya mereka yang kumpul kebo. Istilah kumpul kebo mendadak sontak menjadi tenar sejak soal hidup bersama 29 pasangan pelajar, mahasiswa dan karyawan di Yogyakarta disingkap oleh penelitian kelompok Dasakung. Mereka berpacaran tetapi derajatnya lebih tinggi dari berpacaran biasa. Tidak cuma makan bersama, mencuci bersama, rekreasi bersama, tapi juga tidur bersama. Mayoritas (18 pasang) tidur bersama selama 5-7 malam dalam seminggu. Selebihnya tidak selama itu tiap minggunya. Kehidupan seks mereka tidak diteliti Dasakung. Cuma tersirat. Kalau sudah tidur bersama sekian malam dalam seminggu, masak tidak hubungan seks. Juga tidak diketahui apakah mereka mempraktekkan keluarga berencana, untuk membantu program pemerintah. Apakah ada yang hamil. Apakah ada lahir anak jadah. Kita tidak tahu. Tidak mustahil bahwa yang berubah cuma permukimannya, sedangkan peri laku seks sama saja dengan sebelumnya. Maksudnya, kalau dibandingkan zaman pra-kumpul kebo dengan zaman pascakumpul kebo untuk Yogyakarta, mungkin sama saja dari sudut hubungan seks. Mungkin sebelum dan sesudah zaman kumpul kebo proporsi mereka yang berhubungan seks di luar nikah sama. Yang berubah cuma tempat tinggalnya. Tadinya hubungan seks tapi tidak hidup bersama sekarang hubungan seks dan hidup bersama. Kalau demikian, maka yang kita ributkan adalah bentuknya, bukan isinya - tata moral hubunan seks sebelum kawin. Gejala kumpul kebo ini tidak tergolong baru. Yang baru adalah bahwa pelakunya pelajar/mahasiswa, generasi penerus yang terdidik, bermukim di pusat kebudayaan. Menurut koran Kedaulatan Rakyat (24-6-1984), di Solo cukup banyak pasangan yang bersamenleven. Mereka sudah lama hidup bersama tanpa nikah, di antaranya bahkan telah melahirkan beberapa anak dan diasuh dengan baik. "Lantaran kurang bermoral kalau hidup bersama tanpa nikah, maka 27 pasangan samenleven itu baru-baru ini dinikahkan sebagai suami-istri sccara sah, dalam upacara massal di Balai Kampung Kelurahan Joyotakan, Solo." Mereka sebagian dari 44 pasangan. Menurut camat Serengan, Drs. Srimoyo Tamtomo, sebab musabab terjadinya hidup bersama tanpa nikah antara lain toleransi masyarakat sekitar. Mereka mengetahui hal tersebut tapi menganggap "biasa", sepanjang tidak menimbulkan gangguan. Mereka dari goiongan ekonomi lemah dan pendatang dari pedesaan. Bagaimana halnya di pedesaan? Dalam bentuk lain, tampaknya kumpul kebo bukan hal baru. Penelitian kami di Mojolama (1973) menunjukkan bahwa di kelurahan itu terdapat 13 kasus kumpul kebo. Mayoritas dari mereka sudah bercerai atas nasihat dukun. Lantaran tidak cocok (menurut dukun), ada saja musibah yang menimpa. Setelah perceraian dilaksanakan, mereka tetap hidup bersama. Dan itu dinamakan kumpul kebo. Pada kasus lainnya, si istri sudah lama ditinggal suami, tidak ada kabar beritanya. Lalu ia kumpul kebo. Perkawinan mereka tidak terdaftar di kelurahan dan Kantor Urusan Agama, tapi dapat diterima masyarakat sekitar. Dan dapat diterima oleh keluarga kedua pihak. Di dalam literatur perihal kawin-mawin, masyarakat Afro-Amerika terkenal punya kebiasaan kumpul kebo atau consensual marriage. Kawin tak legal sudah menjadi ciri khas kelas bawah. Tingkat perpisahan tinggi dan anak-anak hampir selalu turut ibunya. Banyak anak jadah. Di dalam banyak rumah tangga tidak terdapat laki-laki yang berfungsi sebagai suami atau ayah. Dalam hubungan begitu, laki-laki yang bersangkutan tidak disebut "suami", tapi "ayah anak saya". Baik hubungan anak dan ayah maupun hubungan suami dan istri, Iemah. Ibu yang berkuasa dalam rumah tangga, sehingga ada penulis menamakannya matrifocal mother-headed atau matriarchal. Dengan perbedaan kecil di sana-sini, struktur sosial demikian terdapat di Jamaica, Puerto Rico, Trinidad, Guyana Inggris, Haiti, dan Pantai Karibia, Amerika Tengah. (Baik diingat bahwa Dr. Hildred Geerts menamakan masyarakat Jawa matrifocal). Dalam karangan berjudul A decision model of conjugal patterns in Martinique (1976), Dr. Michael Horowitz menganalisa sampel dalam masyarakat kecil di Martinique yang terdiri dari 127 wanita dan 104 pria, berumur 15 tahun ke atas. Status wanita: 37 sendirian, tanpa anak 13 sendirian, punya anak 20 kumpul kebo 42 kawin resmi 15 janda. Status pria: 35 sendirian, tanpa anak 2 sendirian, punya anak 18 kumpul kebo 45 kawin resmi 4 duda. Dengan menarik diuraikan bagaimana terjadinya penahapan. Tahap pertama, pada usia remaja atau menginjak dewasa pasangan-pasangan berhubungan seks tanpa hidup bersama. Tahap kedua hidup bersama tapi belum kawin resmi. Tahap ketiga, kawin resmi, pada usia yang relatif tinggi. Ketika usia sudah menanjak tinggi, laki-laki membutuhkan ikatan perkawinan yang kuat. Dengan demikian, terpateri ikatan ayah dan anak. Jalur warisan pun menjadi jelas, karena anak jadah tidak berhak atas warisan. Ikatan dengan istrinya dan anaknya direstui Gereja, dan ia menjadi "lebih terhormat". Belum jelas mengapa pola perkawinan demikian berkembang pada golongan rendah di Karibia. Bukankah di negeri leluhur mereka Afrika, tidak terdapat? Apakah ini residu cara hidup budak belian perkebunan masa lampau, yang merupakan adaptasi dari situasi tertentu? Entahlah. Di manakah letak kumpul kerbau gaya Yogya? Jelas, dan syukur, jauh sekali dari pola Karibia yang sudah begitu melembaga pada golongan miskin. Juga berbeda dengan pola Mojolama, yang dapat diterima keluarga dan masyarakat sekitar. Tidak ideal, tapi tak apa. Dianggap sebagai produk tekanan keadaan, bukan percikan kebejatan. Menurut ukuran Mojolama, kumpul kerbau gaya Yogya tergolong kumpul kerbau liar. Bukan kumpul kerbau sejati.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus