Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Siapa 'kan memelihara "ayam...

29 September 1984 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PERKIRAAN, apalagi yang menyangkut masa depan, susah dilakukan," demikian kurang lebih kata sebuah pepatah kuno Cina. Dihubungkan dengan nasib Hong Kong pada tahun 1997 nanti, perkiraan itu akan lebih sulit. Lantaran tidak ada kasus semacam di masa lalu yang bisa dijadikan contoh. "Di masa lalu mana ada tanggal berakhirnya masa kolonial ditentukan oleh perjanjian?" Demikian antara lain-soal yang dimajukan Lucien Pye, seorang analis politik Cina yang mengajar di MIT, Boston. Itulah yang membuat topik masa depan Hong Kong sangat menarik dan unik. Alih kekuasaan, yang akan terjadi 13 tahun dari sekarang, terikat pada serentetan pertanyaan dasar yang berkaitan satu sama lain. Apakah komunisme dan kapitalisme bisa hidup berdampimgan di suatu koloni kecil yang sudah sekian lama menjadikan uang dan kebebasan berusaha (free enterprise) sebagai tujuan utama? Sudikah RRC membiarkan segala sistem ekonomi dan politik bebas ala Barat berlaku terus? Menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, Beijing mengatakan "ya. Karena itu, ia berjanji kepada Inggris untuk, pertama, meneruskan sistem hukum Inggris dan menjamin rakyat Hong Kong untuk bebas menciptakan sistem hukum yang dikehendakinya. Kedua, membiarkan koloni itu menjalankan kebijaksanaan dagang dan ekonominya, tetap mempertahankan statusnya sebagai pelabuhan bebas, meneruskan keanggotaannya dalam badan-badan dunia, dan mengelola sistem finansiilnya yang tersendiri. Tapi, bisakah RRC dipercaya? Di sinilah muncul dua pendapat yang berlawanan. Pendapat pertama - katakanlah yang optimistis - mengatakan, RRC pasti akan memegang janjimya. Logika optimistis ini didasarkan pada faktor-faktor ekonomi dan keuangan. RRC, katanya, mengambil keuntungan besar dengan membiarkan Hong Kong sebagai daerah istimewa ekonomi. Itu merupakan sumber devisa asing baginya. Apalagi dengan program empat modernisasi yang sedang galak-galaknya sekarang. Fungsi Hong Kong makin penting. Cina, kata pendapat ini, tak mungkin membunuh "ayam yang bertelur emas". Pendapat yang pesimistis mempertanyakan argumen di atas. Pertama, berapa banyak Beijing menyedot devisa dari Hong Kong masih merupakan mitos ketimbang kenyataan. Sumber-sumber Inggris menyebut, Cina memperoleh 40% dari devisa yang didapat seluruhnya dari koloni tersebut. Sumber-sumber Hong Kong sendiri dan Amerika mencatat angka 25%-33%. Sedangkan sumber Cina menyebut 31%. Kedua, katanya, mereka yang berangang-angan "ayam bertelur emas" membuta pada kenyataan bahwa cuma pihak Inggris-lah yang menitikberatkan faktor devisa dalam perundingan dengan Cina. Sedangkan Cina sama sekali tidak. Boleh jadi, keengganan Cina buat mengetengahkan faktor devisa merupakan taktik berunding. Tapi, pendapat bahwa Cina akan meneruskan sistem yang berlaku sekarang karena takut kehilangan devisa tidaklah berdasarkan perkiraan mendalam. Dewasa ini, salah satu sumber devisa Cina di Hong Kong adalah hasil penjualan bahan makanan, buah-buahan, sampai air yang disalurkan ke Hong Kong. Tapi, Hong Kong jadi pusat devisa asing karena keberhasilan penduduknya memproduksikan barang dan jasa yang laku di pasaran internasional. Kalau Cina yakin - tampaknya sekarang demikian - bahwa ia pun blsa meneruskan sukses yang dicapai Hong Kong, tak otomatis akan membiarkan sistem yang sekarang berjalan terus. Walaupun ia akan kehilangan devisa yang datang dari bahan makanan dan air, boleh jadi Cina percaya akan kemampuan dirinya untuk mengelola Hong Kong. Malahan lebih berhasif dari sekarang. Jadi, aiasan ekonomi-keuangan mengandung kelemahan. Faktor berikutnya adalah politik. Pandangan optimistis melihat bahwa para pemimpin Cina sekarang adalah "pragmatis". Apalagi di bawah Deng Xiaoping, RRC pasti menilai tinggi Hong Kong yang makmur sebagai penunjang modernisasi Cma. Tapl, kata yang tak yakin, ada tanda-tanda bahwa si "pragmatis" Deng pun bisa juga tidak jelas. Sejak 1979, ketika orang mulai ribut dengan hari depan koloni itu, Deng mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang barangkali tidak dimaksudkannya. Misalnya, ia mengatakan kepada Sir Murphy Maclehose, yang kemudian menjadi gubernur Hong Kong, "Katakan kepada para penanam modal di sana untuk tenang." Pernyataan itu malahan membuat penduduk Hong Kong gelisah. Tahun 1981 ia masih mengatakan demikian. Tapi sekarang secara tegas ia mengatakan bahwa RRC akan mengambil alih kedaulatan di sana. Malahan akan menempatkan tentaranya segala. Adalah politik pragmatisme yang membuat RRC berani menciptakan beberapa daerah istimewa ekonomi. Antara lain Shenzhen dan Zhuhai, yang letaknya berdekatan dengan Hong Kong. Barangkali usaha tersebut, di samping tujuan ekonomi, juga dimaksudkan sebagai latihan dalam persiapan mengelola Hong Kong. Apa pun hasil percobaan di atas, itu pasti akan mengancam Hong Kong. Kalau berhasil, pasti akan menebalkan kepercayaan Beijing untuk tidak ragu-ragu mengambil alih Hong Kong. Kalau tidak berhasil, itu malahan membuat RRC iri atas prestasi Hong Kong. Kedua kemungkinan itu akan membawa pada ambil alih kedaulatan koloni itu. Jadi, pertanyaan mendasar juga sampai pada berapa lama politik "pragmatis" bisa bertahan. Politik Cina ditandai dengan absennya kestabilan dan cepatnya perubahan. Hari ini pahlawan, esok lusa bisa jadi pengkhianat. Dan sebaliknya. Dengan tokoh pragmatis utama Deng sekarang, yang berusia 80 tahun, mungkinkah pragmatisme bisa bertahan tanpa Pak Tua ini? Sejalan dengan rontoknya Maolsme tanpa Mao, sanggupkah Dengisme bertahan tanpa Deng? Namun, apa pun yang terjadi, yang paling berkepentingan tentu saja sekitar lima juta penduduk Hong Kong. Dua juta di antaranya pelarian dari Daratan Cina yang tak tahan dengan komunisme. Umumnya, mereka pesimistis bahwa RRC akan memegang janjinya. Tak heran kalau seorang usahawan Hong Kong mengatakan, "Kami tidak percaya Tnggris. Ia ingin lari dari tanggung jawab selekas-lekasnya. Kami juga tidak bisa percaya kaum komunis. Mereka berjanji apa saja supaya bisa menguasai Hong Kong. Yang kami lakukan cuma menunggu apa yang akan terjadi."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus