LIMA tahun lalu Presiden Soeharto menyumbang 10 bis tua untuk dirumponkan ke perairan Kepulauan Seribu. Dan di hari-hari terakhir 1988 ini, 411 bis kota milik PPD mau ditenggelamkan lagi oleh Pemda DKI Jakarta ke tempat yang sama. Perairan di sini luasnya 108 ribu hektar, dan kedalamannya antara 10 dan 30 meter. "Tujuannya untuk memasang sarang ikan," kata Eddy Ruchijat Soheh, Asisten Sekwilda Bidang Kesra DKI Jakarta. Bis-bis tersebut tidak dibuang ke Taman Nasional. Kawasan ini merupakan zona inti dan perlindungan -- tetap dimanfaatkan untuk mempertahankan habitat penyu sisik dan terumbu karang. Sedangkan zona perlindungan, selain membentengi zona inti, juga sebagai arena kegiatan bagi pencinta alam. Dan zona pemanfaatan yang ada di sana itu semata-mata untuk parawisata. Sebenarnya, tempat perumponan lebih tepat di zona penyangga. Apalagi kawasan ini telah disediakan untuk 14.027 jiwa masyarakat setempat, yang 80% profesinya sebagai nelayan. Tapi Pemda DKI, entah mengapa, hingga hari ini belum menghubungi Pimpinan Proyek Pembinaan Suaka Alam dan Hutan Wisata/Taman Nasional Kepulauan Seribu, Ditjen Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam Departemen Kehutanan, sementara bis-bis tua itu menunggu dibuang. "Padahal, daerah pembuangan itu mengenai wilayah yang sedang berada dalam proyek kami," kata Matheus H. Halim, si pimpinan proyek. Jauh sebelum bis-bis PPD dibenamkan ke laut, toh sudah didahului dengan mencemplungkan becak. Sampai Juli 1988 dari 85.456 becak hasil razia, tercatat 49.600 buah yang sudah dirumponkan. Diharapkan rangka becak yang bertumpuk di dasar laut itu sebagai tempat berlindung ikan dan membuat ikan-ikan itu hebat berkembang biak. Besi-besi itu biasanya akan diselimuti lumut, lalu lama-lama ditumbuhi karang, menggantikan karang-karang yang rusak. Kerusakan tersebut, menurut Matheus H. Halim, 39 tahun, ada yang karena secara alami dan ada pula yang disengaja. Secara alami, karang-karang tadi mati karena pori-porinya tertutup pasir. Risiko alami itu terbilang ringan bila dibandingkan dengan perusakan oleh penduduk setempat. Pengambilan karang di Kepulauan Seribu secara besar-besaran pernah terjadi sebelum tahun 1985. Waktu itu, kata Eddy, ada pekerjaan membuat pelabuhan udara Soekarno-Hatta di Cengkareng. Pembangunan lapangan terbang itu memang membutuhkan banyak batu karang. Dalam pada itu, perumponan akan melonggarkan tempat parkir bagi bis-bis milik Perum PPD (Pengangkutan Penumpang Djakarta). Sedangkan bis-bis merk Dodge bikinan Amerika yang umurnya lebih dari 15 tahun itu sudah tak laik jalan -- selain memang tidak ekonomis lagi. Kebanyakan bis itu sudah habis masa operasinya sejak akhir 1986. Tapi ada 670 bis yang berusia 6 sampai 8 tahun (seluruh armada PPD berjumlah 1.820) yang masih dioperasikan. Bis-bis yang diceburkan ke laut itu kebanyakan hanya bodinya. Mesin, chasis, dan bannya sudah dicopoti semua, lalu dijual ke PT Krakatau Steel. "Sedangkan yang dirumponkan itu memang sudah petunjuk pemerintah," kata Sudaryono, Dirut Perum PPD. Perumponan dimaksud juga sudah menjadi salah satu cara untuk membantu meningkatkan penghasilan para nelayan yang beroperasi di perairan Kepulauan Seribu. Mengutip data Dinas Perikanan, menurut Eddy setelah diterapkan perumponan, hasil tangkapan para nelayan meningkat. Pada 1985 mereka cuma mengumpulkan ikan 1.422 ton, tapi tahun lalu mencapai 2.583 ton. Hanya hasil itu masih diragukan oleh Matheus, karena selama ini belum ada pemantauan yang jelas. "Sayang kalau perumponan yang membutuhkan biaya besar itu tidak disertai penawasan," ujarnya. Sementara itu, para nelayan belum tentu mau memancing di tempat pembuangan bangkai-bangkai becak dan bis kota itu. Agaknya, ini perlu dikaji lagi, apakah perumponan itu memang benar berdaya guna. Sebab, untuk merumponkan 5 ribu becak, misalnya, dibutuhkan biaya Rp 27 juta. Bukan semua becak "tangkapan" dirumponkan. Gubernur DKI Wiyogo Atmodarminto, 5 Desember silam, kemudian memberi contoh: 600 becak dijadikan gerobak sampah dan sayur. Itu juga sebagai sarana kerja. Tapi tidak gampang mengarahkan penarik becak untuk beralih kerja ke bidang yang lebih layak. Padahal, menarik becak, kata Wiyogo, tak manusiawi, tapi mereka suka pada kerja ini. Hasrat menghabisi becak di Jakarta muncul sejak masa Gubernur DKI Ali Sadikin. Namun, sampai 1979 belum juga tuntas. Hingga akhir tahun itu becak yang masih beredar hampir 8 ribu buah. Ketika dilakukan pendaharan kembali, 1983, jumlahnya malah mencapai 39,5 ribu. Jumlah itu membengkak lagi pada 1985, lebih dari 71 ribu. Tapi akhir Juli lalu kempis kembali, sekitar 23 ribu. Diperkirakan pada 1991, becak di Jakarta sudah licin di jalan raya. Mau dihabiskan? "Tidak sampai semua," tutur Eddy. Becak boleh beroperasi di pinggiran Jakarta, terutama di daerah yang sulit dijangkau kendaraan, misalnya di Muarakarang, Jakarta. Hanya, yang penting, bangkai bis kota sebelum dibuang harus sudah bersih dari oli. "Kalau tidak, oli itu justru merusakkan lingkungan, misalnya mematikan karang," kata Matheus. Oli sama dengan "tarbol" atau sejenis aspal yang butiran-butirannya akan menggumpal, sehingga menutupi pori-pori karang. Bahkan gumpalan itu bisa terbawa kembali, ikut ombak ke pantai. "Kalau kena punggung turis asing, 'kan payah. Bisa hitam semua," ujar Matheus. Suhardjo Hs.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini