BERKALI-kali ia menarik napas panjang, menatap kedua anaknya. Tapi dari wajah itu tak terpancar kepahitan dan putus asa. Maria Amanu cuma gelisah. Ia sudah mendengar keterangan tim dokter RS Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Mereka menyatakan bahwa anaknya yang berdempetan benar-benar tak bisa dipisahkan. Tidak bisa. Dan anak-anak Maria yang berdempetan pada dada itu -- kembar siam dari Kupang yang lahir 9 November lalu -- akan dirawat di RSCM, entah sampai kapan. Ditemui Linda Djalil dari TEMPO Jumat pekan lalu di Ruang Gawat Darurat RSCM, Maria, ibu kembar Kupang itu, nampak tenang. Untuk pertama kalinya ia mau menjawab pertanyaan wartawan. Dikatakannya, ia berserah pada takdir. "Saya sudah rela kalau Kembar dirawat di Jakarta dan saya balik pulang ke suami di kampung," tutur Maria. "Bukan saya tidak sayang sama Kembar, saya sayang sekali, tapi saya tidak tahu harus bagaimana. Terserah sama dokter." Tim dokter RSCM memang sudah memutuskan untuk mengambil tanggung jawab. "Kami akan mempertahankan kehidupan mereka selama mungkin," kata Prof. Iskandar Wahidayat, dokter ahli anak terkemuka yang juga ketua tim. Hasil pemeriksaan menunjukkan kondisi kembar Kupang itu sangat menyedihkan. Kembar siam thoraco-abdominopagus (menempel pada dada dan perut) itu hanya memiliki satu jantung dan satu hati, walau organ lainnya seperti ginjal, usus, dan limpa masih terkategori normal. Yang parah, jantung yang cuma satu itu pun tidak sempurna, hanya memiliki satu serambi -- jantung normal memiliki dua bilik dan dua serambi. Untuk bayi yang bukan kembar saja, kondisi jantung semacam ini sudah tergolong fatal. Hal lain yang tak menguntungkan adalah bayi kembar siam itu sama besar. Keadaan ini tak memungkinkan upaya pemisahan dengan jalan mengorbankan salah satunya. Memang bukan tidak mungkin ada kembar siam yang organ-organnya menyatu, tidak berimbang. Yang satu besar dan punya kondisi normal, yang lain sangat kecil dan menggantung. Nah, dalam kasus semacam ini, salah satu bayi kembar biasanya akan dikorbankan. Kondisi kesehatan kembar Kupang itu juga tidak menggembirakan. Bobot kelahiran mereka tak sampai 4 kilogram. Karena sangat kecil, Maria Amanu mengaku tak menemukan kesukaran ketika melahirkan. Ia mengeluarkan sendiri anaknya yang kembar itu di atas tikar, hanya dengan bantuan kakaknya. "Saya bilang ke Kakak, bagaimana ini, dua kepala, empat kaki, empat tangan. Saya kira bukan anak, cepat kubur," kata Maria mengenang. "Tapi Kakak bilang, ini manusia hidup. Kalau dia kaukubur, kau masuk penjara." Kakak Maria, Martinus Ako, yang tinggal di Kupang, adalah calon ayah kedua bayi kembar itu. Ini keharusan yang digariskan tradisi, karena anak kedua dan ketiga Maria yang dua-duanya wanita meninggal bertutur-turut. Anaknya yang pertama, Marcello, kini sudah berusia 7 tahun. Adat juga menentukan, Maria harus melahirkan di rumah kakaknya, dan sang kakak diwajibkan membantu persalinan itu. Inilah sebabnya, mengapa Maria melahirkan anak-anaknya di Kupang, ibu kota Nusa Tenggara Timur. Dan bukan di Desa Fatum Nasa, tempat ia tinggal. Ketika itu, Martinus Ako bertindak cepat dan membawa anak-anaknya yang kembar ke RS Umum Johannes, Kupang. Rumah sakit inilah yang mengkonsul RSCM. Dan atas prakasa istri Gubernur NTT, Nyonya M.S.O. Fernandes, Maria bersama Amalia dan Melania akhirnya diterbangkan ke Jakarta 7 Desember lalu, di bawah pengawasan dorter ahli anak Al Munar Munir. Maria mengisahkan, dua minggu pertama ia tinggal bersama anak-anaknya di ruang VIP RSCM. Kendati Maria harus menyusui anak-anaknya, dokter melarang ia mengangkat anak-anak itu dari boks bayi. Maria harus memompa susunya dan memberikan kepada anak-anaknya melalui botol. Namun, karena tak bisa membendung rasa sayang yang mendesak, Maria suatu ketika melanggar larangan itu. Ia menggendong dan memeluk bayi kembarnya dan membiarkan mereka menyusu. Minggu ketiga, si kembar Amalia dan Melania menjalani pemeriksaan. Pada masa itu Maria dan Petrus, suaminya yang menyusul belakangan, menginap di Perwakilan NTT di kawasan Tebet, Jakarta. Nyonya Yes A. Therik, istri kepala perwakilan NTT di Jakarta, mengisahkan bagaimana Petrus dan Maria mengalami masa-masa tegang. Maria cenderung tak mau bicara, dan karena itu banyak dokter dan wartawan menyangka, ia tak bisa berbicara dalam bahasa Indonesia. "Saya tidak malu, tapi saya capek," kata Maria menjelaskan. Hingga kini belum ada kepastian, kapan Maria akan pulang. Petrus sudah berangkat lebih dahulu, karena tak bisa terlampau lama meninggalkan pekerjaan. Pasangan ini hidup lumayan di Fatum Nasa. Mereka memiliki satu hektar sawah dan perkebunan. Maria, yang biasa membantu suaminya menggarap ladang, kini sudah gelisah. "Saya ingin cepat bekerja lagi." Untuk mengisi waktu luang, di tempatnya menginap sehari-hari ia menenun. "Tak mungkin orang Timor tidak bisa menenun," katanya ketika Linda Djalil menanyakan keahliannya itu. Apakah sudah punya rencana untuk hamil lagi? "Saya agak takut, sudah empat kali melahirkan, capek." Namun, wanita yang nampaknya periang itu teguh dalam pasrah. Maria mengisahkan, ia sehat dan tak pernah sakit, juga ketika hamil. Tubuhnya yang kekar menunjukkan ibu berusia 30 tahun itu masih kuat dan sehat. Tak ada halangan untuk kembali hamil. Wajahnya yang sering dihiasi senyum menunjukkan sifatnya yang optimisitis. Namun, di Ruang Gawat Darurat RSCM, wajah itu sering sendu. Menunggu kepastian hari keberangkatannya, sehari-hari Maria duduk di sisi boks anak-anaknya yang tidak terlalu beruntung. Ia hanya bisa menatap. Sejumlah selang plastik dari alat bantu pernapasan yang menempel pada tubuh kembar Kupang itu membuat si ibu tak bisa mengangkat dan memeluk anak-anaknya. Sementara itu, alat monitor jantung berdetak stabil. Mata kedua bayi kembar itu berkedip, lalu terdengar tangis mereka. Maria cuma bisa menarik napas panjang. Jim Supangkat & Linda Djalil
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini