Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PERANG dingin di Kutub Utara tak pernah benar-benar selesai. Alkisah, pada suatu hari, Agustus tahun lalu, kapal riset Akademik Fyodorov milik Angkatan Laut Rusia mendapat perintah mengirim dua kapal selam mininya ke dasar laut Kutub Utara. Menyelam sedalam 4,3 kilometer, Mir-1 dan Mir-2 mengemban tugas khusus: menancapkan bendera Rusia di dasar palung Lomonosov.
Bendera itu terbuat dari logam titanium. Tiangnya setinggi 1 meter. ”Ini seperti menancapkan bendera di bulan,” ujar pemimpin misi itu, Artur Chilingarov. ”Misi kami menunjukkan Arktik adalah Rusia,” kata veteran penjelajah Kutub berusia 68 tahun ini.
Di Kutub Utara—meliputi sebagian Siberia (Rusia), Greenland (Denmark), Alaska (Amerika Serikat), dan Kanada Utara—saling klaim wilayah berlangsung keras. Selain soal kedaulatan negara, harta karun yang terpendam di wilayah ini bukan main berlimpahnya. Jika klaim Rusia atas palung Lomonosov disetujui Perserikatan Bangsa-Bangsa, misalnya, negeri itu berhak atas minyak bumi di bawahnya—diperkirakan berjumlah 10 miliar ton.
Di tanah superdingin itu berserak pula aneka mineral, bahkan berlian. Musim panas ini, para pemburu berlian mengalir ke pulau itu. Mereka tersihir oleh penemuan tumpukan berlian—salah satunya 2,4 karat—di dekat Danau Garnet, di Greenland Barat, pada tahun lalu.
Musim panas adalah waktu yang tepat untuk berburu batu mulia di Greenland. Padang es lenyap dari bentangan tundra. Tanah menjadi ”telanjang”, menunjukkan bebatuannya, termasuk—mungkin—batu-batu berharga.
Tapi, bagi para ilmuwan, harta karun itu seperti berada dalam kotak Pandora: begitu dieksploitasi, bencana bakal datang susul-menyusul. Es di wilayah itu bakal hilang oleh eksplorasi, berubah menjadi air. Akibatnya, permukaan air laut dunia bakal naik.
Tanpa campur tangan industri pertambangan pun, padang es di Kutub Utara terus berkurang dan telah meninggikan permukaan air laut. ”Pemicunya, gas rumah kaca yang membikin bumi lebih hangat,” kata Ted Scambos, peneliti di National Snow and Ice Data Center di Boulder, Colorado, Amerika.
Gas itu terutama karbon dioksida. Inilah gas buang utama pada era Revolusi Industri, yang dihasilkan pembakaran minyak fosil. Kini konsentrasi gas tersebut 30 persen lebih tinggi daripada masa praindustri dan telah menaikkan suhu bumi sekitar 3 derajat Celsius.
Nah, gara-gara kenaikan temperatur atmosfer, kini sekitar separuh salju di Greenland langsung mencair. Ini jelas bencana karena es di wilayah itu menjadi tipis dan rapuh. ”Segalanya kini terancam,” ujar Gary Harrison, salah satu tokoh suku Athabaskan. ”Rumah kami bisa diterpa badai dan longsoran es. Bahkan nyawa kami terancam, karena jalan yang biasa kami lalui menjadi berbahaya,” katanya.
Fauna pun ikut merana. World Wildlife Fund mengungkapkan peningkatan suhu di Kutub Utara telah menurunkan populasi beruang kutub. ”Sebelum pertengahan abad ini, diperkirakan tempat hidup beruang kutub hanya di ujung utara Kanada dan ujung utara Greenland,” kata Martin Sommerkorn, penasihat perubahan iklim di organisasi itu. ”Akan ada penurunan sekitar dua pertiga populasi beruang kutub,” Martin mengancar-ancar.
Padahal kajian lembaga itu belum memakai skenario terburuk: level karbon dioksida 1.000 ppm sehingga temperatur naik 8 derajat Celsius. Pada suhu tersebut, Kutub Utara akan kehilangan seluruh esnya pada abad mendatang. Es yang mencair akan menaikkan permukaan air laut hingga tujuh meter. Bila ini terjadi, lelehan seluruh es Greenland bakal menenggelamkan kota-kota yang dibangun sedikit lebih tinggi daripada permukaan laut. London, Los Angeles, hingga Jakarta bakal kelelep.
Saat es baru hilang separuh, bencana sudah akan terasa di negara yang sejajar atau di bawah ketinggian air muka laut. ”Pertambahan semeter saja dari ketinggian permukaan laut akan menenggelamkan sebagian Bangladesh,” ujar Jonathan Gregory, ahli iklim University of Reading di Inggris, kepada jurnal Nature.
Indonesia termasuk negeri yang paling terancam jika harta karun di Kutub Utara dieksploitasi. Dengan laju kehilangan es di kutub-kutub bumi seperti saat ini saja, sebagian Jakarta (Kosambi, Penjaringan, serta Cilincing) dan Bekasi (Muara Gembong, Babelan, dan Tarumajaya) akan terendam pada 2050. Ini hasil simulasi Pusat Pengembangan Kawasan Pesisir dan Laut Institut Teknologi Bandung.
Kajian Badan Riset Kelautan dan Perikanan Departemen Kelautan dan Perikanan juga tak jauh berbeda. Menurut badan ini, pada 2050, sekitar 25 persen (160 kilometer persegi) wilayah Jakarta akan tenggelam. Dengan garis pantai sepanjang 81 ribu kilometer dan kemiringan pantai rata-rata dua persen, dalam satu abad mendatang wilayah pesisir Indonesia yang tenggelam akan mencapai 4.050 kilometer persegi. Ini belum termasuk tenggelamnya pulau-pulau kecil, yang diperkirakan akan mencapai 2.000 pulau dalam 30 tahun mendatang.
Dan sekali tenggelam, daratan mustahil muncul lagi. Sebab, air yang sudah berada di laut itu tak mungkin kembali lagi ke Kutub Utara sebagai es. ”Bahkan jika komposisi atmosfer bumi dapat diturunkan ke kondisi praindustri,” ujar Gregory.
Yosep Suprayogi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo