Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Wong Cilik di Negeri Penjajah

Harry Poeze meluncurkan buku Di Negeri Penjajah pekan lalu. Para pelaut, babu, dan jongos turut memberikan kontribusi terhadap kemerdekaan Indonesia.

28 Juli 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI NEGERI PENJAJAH: ORANG INDONESIA DI NEGERI BELANDA 1600-1950 Penulis: Harry A. Poeze Penerbit: KPG Tebal: 417 halaman

MISTERI adalah spesialisasi Harry A. Poeze, sejarawan penulis paling ambisius tokoh misterius Tan Malaka. Tapi, bagi Poeze, misteri itu tak hanya ada pada orang besar sekaliber Tan. Baginya justru misteri terbesar dalam perjalanan historis berbagai bangsa, termasuk Indonesia, adalah mereka yang disebut oleh Tan sebagai murba alias orang kecil atau rakyat.

Inilah yang menarik ketika membaca karya Poeze, Di Negeri Penjajah: Orang Indonesia di Negeri Belanda 1600-1950, yang diluncurkan pekan lalu. Sebuah karya ensiklopedik ihwal ratusan orang Indonesia yang pernah mengunjungi Belanda. Dalam diskusi bukunya tersebut, Poeze menyebut orang kecil itu tak sekadar nomor belaka, tapi juga punya peran membentuk sejarah.

Jadi jangan kaget jika Poeze dalam pengisahannya tak cuma terpesona oleh Mohammad Hatta yang pada 3 Agustus 1921, sembilan hari menjelang ulang tahunnya yang ke-19, berlayar ke Belanda dengan kapal Tambora milik Rotterdamsche Lloyd dari Teluk Bayur. Poeze pun kasih perhatian kepada orang Indonesia yang bekerja di kapal-kapal besar yang menghubungkan Hindia dengan Belanda. Bukankah tanpa mereka tak mungkin Hatta sampai ke Belanda, bergabung dan beraktivitas dalam Perhimpoenan Indonesia?

Rotterdamsche Lloyd merupakan perusahaan pelayaran yang paling banyak mempekerjakan orang Indonesia, selain KPM dan Maatschappij Nederland. Laporan tertua tentang orang Indonesia yang bekerja di kapal laut Belanda dari 1620 adalah ketika tiga pemuda Ambon (Marcus de Roy, Andrea de Castro, dan Laurens de Fretis) yang diberangkatkan ke Belanda untuk ”dikristenkan”, tapi malah memilih bekerja jadi pembantu dan awak kapal. Ketika perbudakan dihapuskan pada 1860, pekerja kapal dan para pembantu menjadi mayoritas orang Indonesia yang datang ke Belanda menggantikan para budak yang sebelumnya banyak dibawa tuan-tuan putih pelakon pracht en praal (bermegah-megah dan bermewah-mewah). Sampai 1946, ada ribuan orang Indonesia yang bekerja di kapal-kapal Belanda.

H.J. Vreemer dalam De Taak 17 Mei 1919 melaporkan, makanan mereka buruk, pakaian compang-camping, dibayar rendah, terkatung-katung, dan tak sedikit yang mati menyedihkan di Rotterdam. Ini ramai diberitakan dalam media. Tapi tiada tanggapan, juga perubahan. Vreemer sebagai donatur Indische Vereeniging (perkumpulan mahasiswa Hindia) kemudian mendorong anggotanya untuk menjenguk kapal dan berbicara dengan orang-orang setanah airnya itu. Hanya itu.

Kalaupun ada elite setanah air yang memberikan perhatian, itu adalah Semaoen, tokoh komunis yang tiba di Belanda pada 1923. Semaoen mendirikan Sarekat Pegawai Laoet Indonesia awal 1924. Namun itu pun lebih ditujukan guna membentuk barisan ”kurir” militan untuk membawa majalah Pandoe Merah yang berisi materi dan propaganda komunis ke Hindia.

Mereka memang kurang diperhatikan dan cuma diperalat, tapi perasaan nasionalisme yang diembuskan para elite itu merasuk juga ke dalam kelompok pekerja kapal itu. Setelah kemerdekaan Indonesia—ketika Belanda masih bermimpi mengangkangi Indonesia dengan mengirimkan senjata dan serdadu pada awal 1946—ribuan pekerja kapal Indonesia dari Rotterdam sampai Belgia ”melakukan pemogokan sehubungan dengan pengiriman senjata dan serdadu yang tidak sangsi lagi akan digunakan terhadap bangsa kita yang sekarang di Indonesia membela kemerdekaan”.

Satu lagi, berkat jasa babu dan jongos yang mendirikan restoran, seperti Restoran Senang Atie yang didirikan Saiman atau usaha rantangan Mak Ginem, para pelajar itu bisa mendapatkan masakan Indonesia dengan harga murah untuk pertemuan-pertemuan politik mereka. Tapi, idem dengan pekerja kapal, nasib mereka pun menyedihkan. Kalau ada perhatian elite, sebatas untuk berlebaran bareng, yaitu saat berdiri Roepi (Roekoen Pelajar Indonesia) pada 1936.

Arus jongos dan babu ke luar negeri mengalir terus sampai kini. Ahli sejarah buruh, John Ingleson, menyatakan bahwa elite dan negara Indonesia sesungguhnya dihidupi oleh devisa (baca: keringat) para babu dan jongos yang secara halus disebut tenaga kerja Indonesia itu. Kepada mereka disandangkan gelar mentereng ”Pahlawan Devisa”. Tapi nasib mereka tak jauh menyedihkan dari jongos dan babu tempo doeloe. A. Muhlenfeld pada Maret 1916 menulis di Koloniale Studien: ”… babu dan jongos itu diperlakukan dengan cara yang mengingatkan orang pada Zaman Pertengahan di Eropa, ketika tuan budak dapat melakukan apa saja terhadap budaknya”.

J.J. Rizal, sejarawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus