Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Come on…, come on…, come on…, come on…, bye…, yeah….
BEGITULAH Twist and Shout dibawakan oleh John Lennon, Paul McCartney, George Harrison, dan Ringo Starr. Mereka menggebrak suasana ketika tampil di panggung Sasana Budaya Ganesha, Bandung, awal Juni lalu. Setelah itu, berturut-turut grup itu muncul dan tampil prima di Cirebon, Semarang, Yogyakarta, dan juga Planet Hollywood, Jakarta, sepanjang Juli ini.
The Beatles kembali? Tidak, ini hanya ”reinkarnasi”-nya. Namun dari gaya bermusik mereka, suara vokalis—Paul McCartney dengan logat Irlandia dan John Lennon dengan aksen British—gerakan, hingga kostum, semua mirip The Beatles. Padahal keempat pria itu adalah urang Bandung asli yang tergabung dalam G-Pluck. ”Dari fashion dan musiknya, mereka habis-habisan menjiplak The Beatles,” kata pengamat musik Denny Sakrie.
Eit.., jangan terburu-buru meremehkan mereka. G-Pluck jelas tak asal menjiplak The Beatles. Buktinya, mereka terpilih menjadi satu-satunya band di Asia yang mendapat kesempatan tampil dalam Beatles Week Festival, ajang perayaan The Beatles terbesar di dunia, di Liverpool, Inggris, 20-26 Agustus mendatang. Dalam acara tersebut, akan tampil 200 grup, namun hanya 40 yang boleh menggelar pertunjukan langsung, termasuk G-Pluck, yang mendapat kesempatan tampil live tujuh kali dalam lima hari festival itu digelar.
Tidak cuma itu, G-Pluck mendapat kehormatan unjuk gigi di The Cavern Club, sebuah klub yang ”sakral” bagi The Beatles dan Beatlesmania. The Cavern yang terletak di Jalan Mathew 10, Liverpool, itu merupakan klub yang menjadi titik awal sukses The Beatles. Sebab, ketika main di klub itu pada 9 November 1961, Brian Epstein, bos toko musik North End Music Store, menonton The Beatles dan memutuskan menjadi manajernya. Epsteinlah yang berhasil membawa The Beatles masuk dapur rekaman untuk pertama kali pada 1962. ”Bagaimana kami tak bangga bisa tampil di Cavern,” kata Awan Garnida, pentolan G-Pluck.
Sebelum sampai ke The Cavern Club, perjalanan G-Pluck sendiri dalam menjiplak The Beatles sungguh panjang dan berliku. G-Pluck berdiri tujuh tahun lalu, tapi para personelnya sudah hampir 15 tahun memainkan lagu-lagu The Beatles. Selama masa itu, setiap anggota band juga berusaha ”bermetamorfosis”. Awan Garnida, pemimpin dan pemain bas, berjuang mirip Paul McCartney, Wawan menjadi George Harrison, Adnan Sigit berusaha mereplika John Lennon, dan Beni Pratama penggebuk drum meniru Ringo Starr, lengkap dengan berewoknya.
”Tapi kami hanya meniru saat tampil di panggung, tidak dalam kehidupan sehari-hari,” ujar Awan. Ya, G-Pluck mengadopsi dari cara dan gaya bermain gitar, pakaian, peralatan band, tone musik, sampai ceplas-ceplos cara omong personel The Beatles, lengkap dengan dialek Inggrisnya. Bahkan sampai kesalahan George Harrison saat main musik, mereka tiru juga. Kesalahan yang ditiru G-Pluck antara lain dalam lagu Let It Be, All You Need is Love, dan Slow Down. ”Ini agar kami tampil sempurna,” kata Awan
Perjuangan meniru juga dilakukan oleh personel G-Pluck dalam cara memainkan alat musik. Awan, yang tidak kidal, berusaha bermain bas dengan tangan kiri. Mereka juga memesan gitar untuk Wawan sama dengan gitar yang dimainkan George Harrison, langsung dari pabriknya di Jerman. Begitu juga dengan bas yang dimainkan Awan, dipesan langsung dari pabriknya, Hofner, di Jerman. Jenisnya pun sama dengan yang dimainkan McCartney, yaitu lefthanded 500/1–Vintage 63, yang diboyong pulang dengan harga US$ 300 ribu (sekitar Rp 2,75 miliar).
Meniru baju agar benar-benar mirip dengan yang dikenakan The Beatles saat manggung juga tak mudah. Mereka tak segan mencari-cari sampai ketemu penjahit yang tepat. Menurut Awan, yang paling sulit adalah meniru kostum Sgt. Pepper’s—baju ala tentara—yang dikenakan The Beatles. Sedangkan untuk tampil di Liverpool, G-Pluck telah memesan seperangkat kostum langsung dari penjahit yang membuat baju The Beatles.
Butuh waktu lima tahun untuk melakukan semua proses peniruan hingga mirip benar dengan The Beatles. G-Pluck melakukannya dengan mengacu pada lagu-lagu, footage, film, dan wawancara dengan The Beatles. ”Yang paling sulit adalah menginterpretasikan penampilan grup pada era pertengahan hingga 1969, karena The Beatles tampil live terakhir pada 1966 sebelum bubar pada 1970,” ujar Awan.
Sebenarnya, peniruan The Beatles bukan hal baru. Banyak grup musik yang lebih dahulu melakukannya, seperti Bharata Band, Mat Bitel, Silver Beat. Tapi peniruannya hanya sebatas pada lagu-lagu dan kostum. Tak ada yang sampai seserius dan setotal G-Pluck. ”Kami hadir sebagai pelipur dahaga para Beatlesmania yang biasanya hanya bisa melihat dari klip atau kaset. Paling tidak mereka bisa terhibur dengan menonton ’reinkarnasi’ The Beatles,” ujar Awan.
Pernyataan Awan memang bukan omong kosong. G-Pluck bermain apik tampil menghibur 90 menit nonstop membawakan 33 lagu The Beatles hampir tanpa cacat di lapangan Sasana Ganesha Bandung dalam acara Road to Liverpool. ”Saya semula tidak tahu seperti apa G-Pluck. Namun, setelah menyaksikan sendiri, saya salut. Mereka membawakan semuanya secara sempurna,” ujar Desi Rosanti, 24 tahun, penonton yang mengaku fan berat The Beatles.
Meniru grup band atau penyanyi asing memang bisa digunakan sebagai penawar rindu para penggemar di sini. Seperti G-Pluck menghibur Beatlesmania itu. Bahkan, menurut Denny, band imitasi berbagai kelompok musik asal Eropa atau Amerika pernah berkembang pesat pada 1970-an. ”Hampir semua band maupun penyanyi individu saat itu nyontek dari luar,” katanya.
Lalu pada 1980-an, Sys N.S., mantan penyiar radio Prambors yang sekarang menjadi politikus, mencoba menghidupkan kelompok-kelompok musik tiruan dalam sebuah parade. Ada Acid Speed Band yang meniru The Rolling Stones, Cockpit pimpinan Fredy Tamaela mirip Genesis. Ketika itu Gito Rollies dinobatkan sebagai Jim Brown, Ikang Fawzi sebagai Rod Stewart. ”Saya pernah melihat situs Genesis, Cockpit dari Indonesia masuk daftar peniru yang baik,” ujar Denny.
Sampai saat ini pun masih cukup banyak band di Indonesia yang meniru kelompok dari mancanegara, meski kebanyakan tak diakui. Namun, dari semua peniruan, G-Pluck tak tertandingi. Menurut Denny, kelompok itu benar-benar mengambil ”jalan Beatles”, tak sekadar musik ”rasa” Beatles. Hal itu terbukti dari respons penggemar The Beatles. Desi Rosanti, misalnya, sampai meneteskan air mata melihat penampilan The Beatles, eh, G-Pluck.
Mungkin hanya satu yang sedikit berbeda. G-Pluck lebih sopan ketimbang The Beatles. Awan ”McCartney” tak lupa memohon doa restu kepada para penggemarnya dalam setiap pementasan sebelum G-Pluck berangkat ke Liverpool, 15 Agustus nanti. ”Semua izin dan lain sebagainya sudah beres, kami berdelapan (anggota band dan kru) siap berangkat,” ujar Awan. Mudah-mudahan saja, G-Pluck mendapat keuntungan seperti The Beatles ketika manggung di The Cavern Club.
Ahmad Taufik, Alwan Ridha Ramdani dan Rana Akbari Fitriawan (Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo