KETENANGAN mewarnai San Salvador, ibu kota El Salvador. Dalam perjalanan dari lapangan terbang menuju ibu kota negeri itu, para pendatang boleh melihat sebagian warga kota mengenakan pakaian jogging merk Adidas. Mereka berseliweran dengan santai. Para wanita kampung dengan kendi air di kepala melenggok dengan tenang. Bapak-bapak tani mencantelkan cangkul di pundak, berjalan menuju ladang jagung dan anggur. Di Ibu Kota, di kawasan tempat tinggal kelas menengah, sepeda terlihat menumpuk di halaman rumah. Remaja berleha-leha dengan walkman Sony menggelantung di pinggang dan headphone menutup kuping. Pagar tembok tinggi pada rumah-rumah orang kaya diselimuti bunga bougainvilaea. Tapi suasana tenang itu tiba-tiba bisa mendadak kacau. Pelataran parkir hotel bisa berubah menjadi basis sementara pasukan sayap kanan. Jalanan teduh di bawah pokok-pokok cemara di kampus bisa menjadi ajang pembantaian yang dingin. Lubuk sungai di pedusunan adalah kubur massal para campesinos, buruh tani yang terbunuh. Tanpa terlalu lama tinggal di sana, seseorang dengan mudah bisa melihat peta keadaan di Ibu Kota. Kehidupan dan lalu lintas hanya berlangsung siang hari. Itu pun karena warga kota perlu bekerja - tak ada tujuan lain dari rumah, kecuali langsung ke tempat tugas. Mereka yang kaya terlindung di dalam mobil antipeluru berkaca riben. Kelompok tak mampu berjejal dalam bis, atau jalan kaki. "Sosialisasi dalam kehidupan bertetangga tidak jalan. Kalau pun berlangsung, tak akan ada pembicaraan politik di antara mereka. Kecerobohan bisa mengakibatkan noda, yaitu dituduh berhaluan kiri," tulis Lidya Chavez dalam majalah The New York Times, Desember lalu. Kelompok kelas menengah di El Salvador, yang biasanya memakai pramuwisma, kini lebih suka mengurus rumah sendiri. Sebab seorang pembantu bisa saja bekerja untuk kelompok kiri atau kanan. Dan kalau mereka "jual kecap" tentang majikannya ke luar, itu bisa mendatangkan risiko berat bagi tuan rumah. "Akhir Oktober lalu delapan profesor dari National University lenyap begitu saja diduga tewas," kata Lidya. Belakangan, tiga profesor dari University of Central America buru-buru minggat ke luar negeri, begitu mengetahui nama mereka termasuk daftar maut - yang kebetulan tertinggal pada salah seorang dari empat mayat yang dieksekusi pasukan sayap kanan. Terorisme kaum kanan, yang agak mereda setelah pemilihan umum 1982, kumat lagi. Siapa pun yang dicurigai sebagai simpatisan kaum revolusioner akan menjadi sasaran mereka. Dan mereka tak peduli dengan kedudukan simpatisan itu. "Tak ada perlindungan bagi pejabat resmi," kata Lidya. Di antara mereka yang baru saja diculik, terdapat Amilcar Martinez, pejabat eselon tiga Kementerian Luar Negeri. "la diciduk di jalan oleh kaum sipil bersenjata," kata Lidya lagi. Walau ada protes-protes dari kelompok hak asasi dan kalangan gereja, kadang-kadang juga dari pejabat kedutaan Amerika, atau tamu negara yang tengah berkunjung, kawanan pembunuh itu tampak tak peduli. Menurut Legal Oversight Office dari Keuskupan Katolik Roma di San Salvador, selama sembilan bulan pertama tahun 1983 tercatat 3.672 orang sipil tewas digasak teroris kanan. Sementara itu kaum gerilyawan memperpanjang daftar korban dengan membantai 62 orang lagi. "Situasi telah menyebabkan semua itu," kata seorang gadis kepada Lidya Chaves. Situasi itu pula yang menyebabkan gadis tadi tak berlama-lama mengikuti misa di Metropolitan Cathedral San Salvador. Tiga tahun lalu, golongan kanan pernah memberondong mati seorang uskup agung yang sedang memberikan misa. Dan, sewaktu penguburan pastor itu berlangsung di katedral, 31 orang yang tengah mengikuti upacara berkabung dibantai lagi oleh teroris kanan tersebut. "Kini", kata Lidya, "uskup agung yang baru, Arturo Rivera y Damas, telah menerima ancaman dari kubu politik yang sama. Teman saya, gadis Salvador itu, ngeri juga membayangkan kalau suatu pagi, ketika para jemaah menunduk dalam doa, tiba-tiba peluru berdesingan." "Por la situacion . . ." - "Situasi, Bung, situasi ...." Hari-hari ini eufemisme itulah yang terdengar di pelbagai pojok El Salvador. Ia seolah-olah memberi penjelasan: Kenapa kampus National University ditutup, dan profesornya berpencar menyelenggarakan kuliah di mana bisa. Kenapa seorang anak muda yang dulu belajar kedokteran kini bekerja sebagai klerk? Kenapa para undangan pesta makan malam harus buru-buru pulang? Dan apa sebabnya ruang makan hotel, yang biasanya nyaman sebagai tempat tetirah, kini kosong melompong, sedang kolamnya dirambati rumput liar. Situasi, Bung, situasi. Dua puluh bulan setelah rakyat memilih Dewan Konstituante - pemilihan umum pertama yang relatif jujur selama 50 tahun - harapan-harapan yang digantungkan dulu sampai kini sebagian besar tak terpenuhi. Sebagai pihak yang mendesak diselenggarakannya pemilu, Amerika Serikat - yang berharap kepemimpinan lebih demokratis akan terbentuk - juga kecewa. Kristen Demokrat, partai yang disenangi Washington, memang mendapatkan kemenangan terbesar, tapi mereka belum berhasil memotong basis-basis pembangkang kiri. Tak cuma itu yang menyulitkan pemerintah Kristen Demokrat. Golongan ekstrem kanan juga merongrong proses demokratisasi dengan memblokir perundang-undangan. Pasukan pembunuh sayap kanan, yang berasal dari kesatuan tentara dan pasukan keamanan khusus pemerintah, tetap saja menjalankan kegiatan yang brutal dan mengerikan. Sementara itu kaum pemberontak juga terus bergerilya melebarkan sayap. Sungguh sebuah perang sipil yang tak berkesudahan. "Amerika, yang berharap sanggup mengalahkan kaum revolusioner dengan memberikan bantuan ekonomi dan militer kepada pemerintah Salvador, sudah tak tahu lagi apa yang mesti dilakukan untuk menciptakan tatanan demokratis di negeri itu," tulis Lidya. AS juga mengakui bahwa urusan di El Salvador tak semudah merampungkan persoalan di Grenada. Kini orang-orang Amerika di kedutaan dan grup penasihat militernya mulai mencanangkan untuk menyelenggarakan pemilihan presiden di El Salvador - rencananya tahun ini. Harapan mereka, presiden terpilih akan memerintah lebih kuat dan lebih efektif. Tapi orang-orang Salvador tak begitu mempedulikan gagasan itu. Mereka sudah lesu dan pasrah saja pada nasib - akibat desakan untuk selalu menyesuaikan diri dengan situasi. * * * Orang-orang Salvador dikenal sebagai manusia yang gemar mengelompok. Kini mereka menjadi pasif dan kadang kala membingungkan. "Saya ingat, suatu hari saya pergi ke sebuah pasar di San Salvador. Di sana saya melihat kerumunan ibu-ibu, anak muda, dan bocah berjoget mengikuti irama musik Amerika yang memekik dari sebuah loudspeaker," tutur Lidya Chavez. "Saya kaget melihat adegan itu. Bagaimana tidak? Selama delapan bulan berkeliling di sana, jarang saya lihat orang Salvador menikmati hidup." Lidya menceritakan pengalamannya itu kepada temannya, orang Salvador. Menurut sang teman, apa yang dilihatnya itu sebenarnya El Salvador masa lalu - tatkala jalanan, kafe, dan taman tak pernah sepi dari kerumunan orang. "Memang benar bahwa rezim militer pada tahun 1970-an begitu represif," ujar sang teman. "Tapi penguasa militer baru yang melakukan kup pada 1979 membuat cara penekanan baru lagi." Dan sejak 1981 tak ada lagi rasa aman bagi tiap orang. Bagi golongan miskin di kota, atau di mata kalangan kelas menengah Salvador, situasi biadab itu tak lain akibat perang sipil yang, apa boleh buat, tak bisa dielakkan. Mereka juga tak ambil pusing, bahkan memaklumi, bahwa sistem pemerintahan tak bisa berbuat banyak untuk melindungi hidup dan kepentingan orang banyak. Tatkala datang ke negeri itu, Januari 1983, Lidya ketemu seorang tokoh bisnis pribumi dari kelas menengah. Tanpa melupakan kelemahan pemerintahnya, tokoh bisnis itu percaya bahwa situasi akan menjadi baik. "Keyakinannya itu ditunjang oleh hubungan dekatnya dengan kalangan pejabat tinggi dan keleluasaannya memasuki kediaman duta besar Amerika Deane R. Hinton, yang sudah mudik Juni lalu," tutur Lidya. Selang tujuh bulan, Lidya ketemu lagi orang itu. "Beberapa hari yang lewat dia menerima ancaman mati - lantaran pandangannya terhadap redistribusi tanah dianggap terlalu liberal oleh golongan kanan," kata Lidya. Untuk pertama kalinya tokoh bisnis itu menyadari betapa kisruhnya semua hal di El Salvador. Ia mengakui, optimismenya tentang masa depan sudah tak punya jaminan apa pun. "El Salvador bukan lagi sebuah negara," katanya. Kaum hartawan di mana pun, seperti lazimnya memiliki kekuasaan lebih. Begitu juga jutawan El Salvador. Mereka mengimpor pakaian, video kaset, serta mobil dari Amerika Serikat, dan secara berkala berpiknik ke Miami. Anak-anak mereka disekolahkan di luar negeri agar tak terjamah kehausan ikut berperang. Sejak aktivitas pasukan maut langka diberitakan koran-koran lokal, mereka hampir tak pernah lagi membaca berita tanah air. "Dalam salon-salon kecantikan, di ruang klub-klub latihan fisik, di lapangan tenis, mereka berusaha mengabaikan peperangan dinegeri sendiri," kata Lidya. Sekali waktu Lidya diundang pesta oleh kalangan atas pribumi Salvador. Ketika hidangan baru mau dinikmati lampu mendadak padam. Tapi tuan rumah santai saja - seperti tak terjadi sesuatu. "Saya bilang, itu bisa jadi disebabkan oleh serangan kaum gerilyawan. Tapi tuan rumah membantah kasar, dan mengatakan, lampu itu padam lantaran cuaca saja." Cerita tentang gerilyawan rupanya bukan topik yang pantas untuk diobrolkan di dalam rumah. Dan kalau pun la situacion disebut dalam pembicaraan, biasanya itu dihubungkan dengan sikap menyalahkan komunisme internasional - langkah Uni Soviet menciptakan pemerintahan Marxis di kawasan Amerika latin. Juga sikap menghujat pers internasional. Hugo Barrera Guerrero, tokoh Nomor 2 setelah Roberto d'Aubuisson, dalam kelompok ekstrem kanan National Republican Alliance (Arena), pernah menuduh koran The New York Times dan The Washington Post bersekongkol dengan Komunis untuk merontokkan reputasi boss-nya. Gara-garanya: kedua surat kabar itu menulis jelek mengenai d'Aubuisson. Contoh lain tentang pemutarbalikan fakta oleh pers internasional diungkapkan Barrera: pers internasional menuliskan bagaimana angkatan udara telah mengebom kota, padahal, menurut Barrera, angkatan udara Salvador hanya terbang di atas kota ketika gerilyawan menghujani kota dengan mortir. "Celakanya", rakyat percaya bahwa itu ulah Angkatan Udara, kata Barrera. * * * Di kawasan timur Salvador, perang berkecamuk antara tentara pemerintah dan gerilyawan komunis. Provinsiprovinsi sebelah barat tak terjangkau gerakan gerilyawan, sehingga perjuangan di sini lebih tradisional sifatnya - hanya merupakan letupan-letupan sosiologis. Perangai kaum tani di sebelah barat itu tak bisa dipahami tanpa bekal sedikit pengetahuan sejarah mengenai mereka. Pada 1932, di sini, wilayah perkebunan kopi di dataran tinggi, para petani - yang lebih banyak memiliki darah Indian ketimbang petani di wilayah timur - mengorganisasikan diri. Mereka menuntut upah yang lebih tinggi. Tapi, para tuan tanah menjawab dengan mengirimkan pasukan pemerintah. Lebih dari 10.000 petani terbantai dalam waktu satu minggu lebih. Dan efek pembantaian massal itu tak luntur. Keturunan Indian di barat ini sekarang enggan melibatkan diri dalam berbagai program nasional. Mereka lebih suka mengurung diri dalam kerahasiaan cara hidup sendiri. Lalu, bersama kaum tani lain di kawasan itu, dalam pemilihan umum yang lalu mereka mendukung golongan yang lebih konservatif. Yang mereka inginkan sebenarnya hanya untuk dibiarkan tak terjamah. Mereka tak peduli ini atau itu. Dan sikap itu kukuh bak sebuah benteng, sehingga golongan Kristen Demokrat mengalami kesulitan mengorganisasikan dukungan mereka. Karena kawasan itu tak terjamah perang sipil, masalah tanah lalu menjadi tema perjuangan paling pokok. Tatkala para pemimpin Kup 1979 melaksanakan program pembagian tanah, kaum tani di barat ini menyambutnya gegap-gempita - sementara kelas pemilik tanah menentangnya dengan gigih. Pelaksanaan land reform itu sangat membingungkan. Dua puluh persen tanah yang dapat diolah, menurut pemerintah, akan dibagikan kepada campesinos, golongan yang tak pernah memiliki tanah sebelumnya. Kenyataannya, lebih dari separuh pemindahan ini hanya dilakukan dalam bentuk peragaan saja. Sementara itu, 10% dari mereka yang mendapat bagian secara berangsur mulai diusir dari kapling mereka. Pengusiran ini dikabarkan masih terus berlanjut. Berdasarkan catatan Legal Oversigh Office, di daerah barat lebih banyak orang yang lenyap dibanding di kawasan lain. Dalam banyak kasus, kata pejabat gereja, para korban disikat golongan ekstrem kanan. * * * Pemberontakan yang bangkit pada akhir 1970-an di provinsi-provinsi wilayah timur digerakkan oleh kelompok gabungan Komunis dan non-Komunis. Koalisi ini memasang merk Front Augustin Farabundo Marti. Marti adalah laki-laki muda yang memimpin gerakan protes petani 1932 di wilayah barat, yang tertangkap dan dieksekusi tak berapa lama sebelum pembantaian massal terhadap pengikutnya dilancarkan. Sedangkan pasukan sayap kanan justru memakai nama perwira yang berhasil membasmi kebangkitan kaum tani di barat itu: Brigade anti-Komunis Jenderal Maximiliano Hernandez Martinez. Aneh, memang, keduanya bisa bersatu melawan pemerintah. Kawasan timur El Salvador sendiri lebih menyedihkan dibanding sisi barat yang subur. Dan peperangan selama empat tahun telah mempertegas hal itu. Bahkan pada musim hujan, dari Mei sampai September wilayah ini tampak compang-camping dan memelas. Banyak ladang kapas, yang pada masa normal kelihatan penuh bintik-bintik putih, kini dipenuhi ilalang. Suasana perkotaan khas Salvador, di daerah ini, tempat gereja berdampingan dengan pusat perbelanjaan, kantor wali kota, dan kerumunan kedaikedai, telah diubah pula oleh kecamuk perang. Dulu plaza di kota-kota itu merupakan pusat perdagangan desa. Para pemungut kapas dari pedusunan berduyun-duyun membeli perbekalan. Kini, kehidupan plaza seperti itu sudah surut. Lebih dari seratus kota - di antaranya San Augustin, San Lorenzo, Osicala, Tecoluca - kantor wali kotanya telah remuk atau bolong-bolong ditusuk peluru. Para pendeta telah minggat, dan gereja senyap. Toko-toko obat hanya dipenuhi produk-produk yang sudah kedaluwarsa. Banyak petani pedusunan hijrah ke kota menghindari perang. Sementara itu warga kota angkat kaki ke Ibu Kota. Pemerintah lalu mencatat, tak kurang dari 250.000 pengungsi yang mesti mendapatkan jatah makanan. Untung sebagian besar pengungsi itu menumpang pada sanak keluarga. Yang tinggal di kamp penampungan cuma sekitar 30.000. Tak heran bila jumlah penganggur di kota-kota selama empat tahun meningkat jadi 40% - sebelumnya cuma 25%. Di kota mana pun, penduduk lokal yang bekerja hanya sebagian kecil - umumnya dalam proyek-proyek perbaikan jalan yang dibiayai AS. Para laki-laki membungkuk, menyodokkan sekop, memperbaiki jalanan yang porak-poranda dihantam granat atau mortir. Sikap petani di provinsi-provinsi timur, dalam menghadapi situasi, tak beda dengan kebanyakan petani di mana saja. Bagi mereka citra pemerintah dan gerilyawan ditentukan oleh tindakan masing-masing terhadap petani: menguntungkan atau merusakkan. Ternyata, menurut mereka, kedua kelompok yang baku hantam itu punya ponten yang sama. Masing-masing "ya ada baiknya, ya ada jeleknya", kata seorang petani di Santa Clara. Memang, kenyataannya, baik tentara pemerintah - dengan 25.000 anggota - maupun pihak gerilyawan - dengan 7.000 pasukan - tak bisa memberikan jaminan keamanan bagi warga desa. Dalam tiga tahun terakhir ini, berbagai kota telah belasan kali berpindah tuan, dan setiap kali minta korban orang sipil. Dalam pada itu, citra pasukan khusus pemerintah - yang berjumlah sekitar 10.000 - sama sekali bukan sebagai pelindung. Tapi sebagai tukang gedor di tengah malam di pintu-pintu rumah orang yang dicurigai melakukan kegiatan subversi. Kalau sudah begini, nasib tertuduh sudah jelas: hilang begitu saja, dan tiba-tiba terdengar berita: ada mayat di pinggir jalan. Pihak pemerintah sendiri sudah kalang kabut mengelola sarana-sarana pelayanan umum. Misalnya sistem peradilan, jaringan transportasi, dan sekolah. Di pihak lain, kaum pemberontak yang sedang berkuasa di suatu tempat tak sanggup pula memperlihatkan jasa baik mereka - karena kekuasaannya sering tak tahan lama. Di bawah pihak mana pun, kaum tani merasa diintai bahaya. Dalam perjalanan antarkota bisa saja bis diberhentikan dengan mendadak - di bawah acungan senapan pasukan pemerintah atau gerilyawan. Semua penumpang disuruh keluar. Jika yang menyetop gerilyawan, perampokan pasti terjadi. Kalau pasukan pemerintah, semua penumpang dijejer di sisi bis, diperiksa satu-satu. Bencana akan menimpa mereka yang menimbulkan kecurigaan. Menghadapi kedua pihak itu, para warga desa pasang wajah yang sama. Orang yang suatu hari mengaku senang akan kehadiran gerilya, esoknya tiba-tiba mengharapkan kehadiran pasukan pemerintah. Karena bingung, Lidya Chavez menanyai seorang istri guru sekolah: kenapa begitu? "Yang penting kami tetap hidup," jawab si ibu. * * * Bagi orang Salvador yang bisa berpikir, kalau pun masih ada harapan, maka harapan itu terletak di tangan Amerika Serikat. Sebab, orang yang mendambakan kedamaian yakin, baik pemerintah maupun pemberontak sama-sama tak bakal mampu mengadakan perundingan. Hanya Washington yang menentukan nasib. Tentu saja orang Salvador tidak mengharapkan Amerika turun tangan sekaligus. Sebab, itu akan memberi angin pada kaum pemberontak untuk menang, minimal secara politis. "Tapi mereka juga tak mengharapkan Amerika balik punggung begitu saja, setelah keterlibatannya selama ini," tulis Lidya. Pokoknya, kata seorang administratur Universitas Amerika Tengah, "Kami tak akan melakukan dialog di El Salvador. Kecuali Amerika Serikat memutuskan dialog perlu dilaksanakan - suatu hal yang bisa mengubah keadaan di sini hanya dalam satu malam." Pejabat sipil dan militer Amerika yang pernah ditempatkan di El Salvador sendiri umumnya sadar harapan penyelesaian ada di pihak mereka. Dan menanggapi harapan itu, tiga jurus rencana telah dicanangkan - meski sejauh ini reaksi pihak Salvador tak menampakkan adanya keyakinan. Jurus pertama - menyangkut masalah sosial, dan disodokkan pada akhir pemerintahan Carter adalah penjatahan pemilikan tanah kepada para campesinos. Ini tonggak penting. Tapi para tuan tanah menentang dengan gigih dalam Dewan Konstituante Salvador. Bahkan para pemimpin kesatuan tani yang dldukung Amerika mendapat ancaman golongan sayap kanan, dan beberapa pengikut mereka dibunuh. Program kedua, diumumkan awal tahun lalu dan dilancarkan dengan sepenuh hati mulai akhir Juni 1983, bernama "Rencana Nasional untuk El Salvador". Tujuannya "memikat hati dan mengarahkan pikiran rakyat", seperti dikatakan para penopangnya. Tujuan seperti itu juga telah diemban Amerika dalam program sejenis di Vietnam. Mula-mula pelaksanaannya dipusatkan di wilayah penting San Vicente, tempat dulu kaum gerilyawan memulai perembesannya dari basis utama di timur. Bagi tentara pemerintah, program itu berarti penggusuran basis-basis gerilyawan di seluruh provinsi. Langkah ketiga benar-benar bersifat politis. Yakni usaha memberi kesempatan kepada seluruh rakyat di kawasan yang dikuasai pemerintah sekitar 75% dari seluruh negeri - untuk memberikan suara dalam pemilihan umum. Kepemimpinan terpilih, yang lebih tanggap terhadap kebutuhan sosial dan ekonomi dalam negeri, memang dibutuhkan. Untuk itu, golongan pembangkang kiri pun diberi kesempatan ambil bagian asal bersedia meletakkan senjata. Tawaran terakhir itu belunn tentu diterima kaum pemberontak. Boleh dipahami kecemasan mereka: jangan-jangan, waktu kampanye, wakil mereka dibunuh. Pemimpin pemberontak sendiri menghendaki adanya pembagian kekuasaan di atas, sebagai langkah pendahuluan bagi pemilu. Meski diboikot kaum oposisi bersenjata - dan para pemilih di wilayah kekuasaan pemerintah dirongrong pula oleh pihak gerilyawan agar mereka menyingkiri kotak suara - pemilu yang akhirnya dilaksanakan bulan Maret 1982 itu diliputi suasana penuh harap dan gairah. Bagaimanapun, demikian harapan banyak orang di sana, pengunjukan aspirasi semacam itu telah mendobrak jalan buntu. Dewan Konstituante, yang kemudian dibentuk, lalu membuat rancangan undang-undang pemilihan presiden, juga rencana pemungutan suara pada 25 Maret 1984. Tapi beberapa kejadian sejak pemilu 1982 itu sudah mengecewakan sebagian besar rakyat. Memang diharapkan kemenangan akan diraih lagi oleh pemimpin Kristen Demokrat, Jose Napoleon Duarte - yang sudah menjadi presiden periode 1981-1982. Tapi, masalahnya, oleh hubungan baiknya dengan sayap kanan yang kuat, akankah pihak tentara membiarkan Jose duduk di pucuk pimpinan. Lalu bagaimana kalau yang menang Roberto d'Aubuisson, pentolan ekstrem kanan Arena? Di bawah kepemimpinannya, apakah kegilaan pasukan maut yang merongrong selama empat tahun terakhir ini akan mereda? Malahan, bagaimana reaksi AS, mengingat popularitas d'Aubuissnn telah merepotkan AS dalam membantu menegakkan demokrasi? Kenyataannya, rakyat Salvador memandang pemilu 1984 dengan gundah. Kaum tani yang sempat diwawancarai Lidya menunjukkan sikap ogah-ogahan. "Kapan sih pemilu bisa mengubah negeri?" tanya seorang wanita pribumi. Seorang menteri malah dengan menyolok menunjukkan sikap senada, "Apa pengaruhnya kalau kami menyelenggarakan pemilu besok, tiga bulan mendatang, tahun depan, atau malah entah kapan? Para kandidat akan tetap sama. Tak peduli siapa yang menang, perang akan jalan terus."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini