Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Hilang <font color=#669900>Hutan</font> Negeri Dewa

Hutan di Pegunungan Dieng rusak parah. Munculnya komoditas kentang menjadi kambing hitam.

6 Desember 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JALANAN menuju kawasan wisata Dieng itu terus menanjak. ­Di ketinggian dua ribu meter lebih, kabut membatasi jarak pandang, tidak lebih dari 10 meter. Udara sangat dingin. Begitu kabut tersingkap, pemandangan asli tampak. Bukan hutan dan pepohonan besar yang mendominasi pemandangan, melainkan tanaman kentang, yang membentang dari ladang di kiri kanan jalan hingga bukit di kejauhan yang tertutup awan.

Dieng dalam beberapa dasawarsa belakangan ini memang identik dengan kebun kentang dan kawasan minim hutan. Dari luas sekitar 55 ribu hektare, hutan di Pegunungan Dieng hanya tersisa sekitar 20,1 persennya. ”Padahal minimal (menurut peraturan) 30 persen,” kata Nur Sumedi, peneliti Kementerian Kehutanan yang dua pekan lalu meraih gelar doktor dari Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, dengan disertasi soal hutan di Dieng.

Akibat tidak adanya hutan, erosi di Pegunungan Dieng sangat tinggi. Tingkat erosi rata rata 180 ton per hektare per tahun. Kondisi terparah terjadi pada 2002. ”Saat itu erosi mencapai 400 ton per hektare per tahun,” kata Sumedi.

Lumpur hasil erosi yang terbawa dari Dieng lewat Sungai Serayu menyebabkan pendangkalan Waduk Mrica di Banjarnegara, Jawa Tengah, mencapai 40 persen. Ini belum dihitung dari bencana longsor, yang banyak terjadi di daerah tersebut. Menurut Sumedi, dalam tiga tahun terakhir, lebih dari 70 kali tanah longsor di Wonosobo.

Erosi yang tinggi bahkan dirasakan para petani kentang. Kebun yang berada di tempat tinggi tidak memberikan hasil sebaik yang berlokasi di tempat agak rendah. Ini karena humusnya terbawa erosi. ”Apalagi lahan di Dieng tidak memiliki penahan erosi akibat minimnya tanaman keras,” kata Fauzi, 37 tahun, salah satu petani kentang.

Pegunungan Dieng memang unik. Berbeda dengan daerah pegunungan lain di Jawa, puncak Dieng yang setinggi 2.565 meter dari permukaan laut itu ­sudah belasan abad menjadi kawasan hunian. Bahkan, sejak sekitar 200 tahun sebelum Masehi, manusia sudah ­melakukan kegiatan di sana. ”Umumnya ­mereka melakukan ziarah,” kata Sumedi.

Karena itulah tempat tersebut diberi nama Dieng, yang berasal dari bahasa Sunda kuno di (tempat) dan hyang (dewa), alias tempat para dewa. Tak mengherankan bila di sana terdapat beberapa candi, yang diperkirakan dibangun pada abad ke 4. Kompleks candi inilah salah satu daya tarik wisata di Dieng hingga kini.

Posisi penting sebagai tempat ziarah itu tiba tiba saja hilang pada abad ke 13. Mungkin karena mengikuti kepindahan kerajaan Jawa yang pusatnya bergeser dari sekitar lembah Progo ke Jawa Timur. Mungkin juga karena kawah di Dieng meletus. Yang jelas, kawasan itu ditinggalkan penduduknya.

Dieng baru mulai dihuni lagi pada 1.800 an, ketika Belanda mencari lahan untuk tanaman yang mereka bawa dari Eropa. Mereka menanam buah pir, anggur, sampai carica semacam pepaya di wilayah yang berhawa sangat sejuk itu. Carica bahkan tersisa sampai sekarang, dan versi manisannya, yang sudah dibotolkan, menjadi salah satu oleh oleh favorit dari sekitar Dieng.

Nur Sumedi, yang lahir dan besar di desa yang hanya berjarak tujuh kilometer dari Dieng, yakni Desa Larangan Lor, masih ingat, sampai ia duduk di sekolah dasar, pertanian di Dieng tidak begitu menimbulkan masalah bagi lingkungan atau menyebabkan tanah longsor. Tapi, pada 1980 an, warga Dieng menemukan bahwa tanah mereka ternyata cocok ditanami kentang, sehingga besarnya bisa lebih dari bola tenis. Lahan pun dibuka untuk tanaman kentang. Mulai saat itu, setiap sore truk berderet untuk membawa hasil panen ke kota kota besar seperti Jakarta. Keuntungan petani sangat besar. ”Bisa 32 kali,” kata Sumedi. Artinya, menanam satu kilogram kentang bakal memanen 32 kilogram.

Satu dekade sampai tahun 2000 menjadi masa keemasan kentang. Dari satu hektare saja, petani mendapat keuntung­an minimal Rp 20 juta per panen. Pada­hal setahun tiga kali panen. Bahkan, bagi yang bernasib baik, keuntungannya­ bisa Rp 36 juta. ”Dengan daya tarik pen­dapatan yang luar biasa itu, warga Dieng mulai keranjingan menanam kentang,” kata Ahmad, 46 tahun, petani kentang di Dieng Kulon, Batur, Banjarnegara.

Gairah menanam kentang itu dengan cepat membuat Dieng tidak mengenal lagi tanaman keras. Luas hutan di pegunungan pun berkurang secara signifikan. Apalagi kemudian ditambah euforia reformasi yang salah. Sesaat sebelum reformasi pada 1998, hutan sudah berkurang hingga 27 persen. Setelah reformasi, luas hutan menciut lagi hingga tinggal 17 persen saja. ”Apalagi waktu itu ada isu bagi bagi lahan,” kata Sumedi.

Setelah beberapa tahun kemudian, dan beberapa kali terjadi tanah longsor, barulah muncul kebijakan untuk memulihkan kembali lingkungan di Dieng. Data tim kerja pemulihan Dieng yang dibentuk Kabupaten Wonosobo menunjukkan lahan rusak di dataran tinggi Dieng mencapai 7.700 hektare. Dari luas ini, 4.000 hektare di antaranya di Wonosobo, dan sisanya di wilayah Banjarnegara.

Dalam lima tahun terakhir, mulai ada gerakan untuk memperbaiki lahan di Dieng. Kabupaten Banjarnegara, yang berbagi wilayah Dieng dengan Wonosobo, juga berniat membuat program serupa. ”Kita berencana membentuk tim kerja pemulihan Dieng,” kata Sekretaris Daerah Kabupaten Banjarnegara Syamsudin. Petani kentang juga mulai membuat kelompok serupa, seperti Paguyuban Wijayakusuma, yang programnya menanami hutan kembali dan mengurangi penggunaan pestisida.

Petani ikut bergerak karena merasa kentang tak lagi menyukai lahan mereka. Dulu minimal bisa untung Rp 60 juta setahun per hektare. ”Kini hanya Rp 20 juta hingga Rp 40 juta,” kata Fauzi, salah satu petani kentang.

Sumedi menyebut era sekarang ini sebagai ”konsolidasi”. Mereka yang terkait dengan Dieng mulai bergerak melakukan perbaikan. Meski demikian, Sumedi belum puas dengan kegiatan memperbaiki kampung halamannya itu. ”Arahnya belum jelas,” katanya. Ia menyebut contoh belum dilakukannya zonasi wilayah Dieng untuk mempermudah kerja. ”Daerah ini untuk apa, sebelah sana diapakan,” katanya.

Deretan persoalan di Dieng ini, menurut Sumedi, cukup penting untuk dicatat. ”Dieng merepresentasikan kerusakan gunung di Jawa,” katanya. Persoalan di Dieng mirip persoalan pem­babatan hutan di gunung gunung di tempat lain.

Nur Khoiri, Aris Andrianto (Dieng)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus