BAGI sejumlah kawasan di Tanah Air, musim hujan berarti musim banjir. Tapi kawasan Waduk Riam Kanan di Kalimantan Selatan merupakan kekecualian. Di musim hujan, kawasan yang terletak 80 kilo dari Banjarmasin itu kekurangan air. Sejak Oktober lalu, misalnya, hampir tiap hari Banjarmasin diguyur hujan. Tapi di Riam Kanan tak setetes hujan yang jatuh. Bahkan mendung pun enggan menggayuti kawasan seluas 104.000 hektare itu. Suasana musim hujan di sana terwakili oleh alam yang kerontang. Waduk Riam Kanan itu, yang merupakan sumber energi bagi pembangkit listrik, airnya menyusut. Beberapa pucuk pohon menyembul dari permukaan air waduk PLTA (Pembangkit Listrik Tenaga Air) Ir Muhamad Noor itu. Lebih memprihatinkan lagi, di sekeliling waduk seluas 9.200 hektare itu muncul delta. Sungai Tiwingan, sumber air waduk, mengering. Beberapa keramba milik warga Desa Tiwingan terjungkal karena air yang dangkal. Menurut catatan Badan Meteorologi dan Geofisika, hujan memang sangat jarang menetes di Riam Kanan. Sepanjang Oktober lalu kawasan itu hanya mendapat hujan 1.068 milimeter atau rata-rata 34,46 milimeter per hari. "Hujan turun hanya sekalidua kali, tapi itu pun tak deras," tutur Rifai, petugas jaga di PLTA Muhamad Noor. Kekeringan berkepanjangan ini menerbitkan rasa khawatir di pihak Perusahaan Listrik Negara (PLN). Soalnya, air waduk telah surut melampaui batas normal. Sejak dua bulan lalu DMA (Duga Muka Air) terus menurun antara tiga dan tujuh sentimeter per hari. "Sekarang DMA waduk cuma 54,96 meter," kata Helmy M. Sjahril, Kepala PLN Sektor Pembangkit Barito. Padahal kondisi DMA normal adalah 60 meter, dan pada ketinggian inilah tenaga air bisa menggerakkan tiga turbin berkapasitas 30 megawatt. Pendangkalan waduk tentu tak bisa dibiarkan. Tanpa hujan, bukan tak mungkin DMA akan menukik hingga ke angka 52 meter. Ini berarti tak satu pun turbin yang mampu digerakkan. "Sampai angka 54 meter saja sudah gawat. Bisa-bisa cuma satu turbin yang dapat difungsikan," kata Margo Santosa, Kepala PLN Wilayah VI Kalimantan. Keadaan mungkin tak seburuk itu jika hujan segera mengguyur. Tapi hujan tampaknya sulit turun. Menurut ahli BPPT (Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi), suhu udara yang tinggi mendorong awan yang mengandung air ke daerah lain. Akibatnya hujan pun jarang turun. Helmy mengatakan, naiknya temperatur disebabkan gundulnya hutan di sekitar waduk. "Pohon-pohon itu telah dibabat habis. Tak hanya oleh tangan jail warga setempat, tapi juga oleh orang-orang pemilik HPH," katanya. Tuduhan itu ditangkis Kakanwil Kehutanan Kalsel, Dwiatmo Siswomartono. Diakuinya memang ada beberapa perusahaan HPH di sekitar waduk. "Tapi mereka tak mungkin membabat kayu di areal Riam Kanan," katanya. Alasannya, perbatasan antara areal HPH dengan kawasan Riam Kanan berupa pegunungan terjal yang sulit diterobos. Di samping itu kawasan di sekitar waduk yang disebut hutan -- luasnya 55 hektare -- tak lebih dari padang alang-alang. "Daerah itu memang sudah gundul sejak 1967. Jauh sebelum ada waduk pada 1973." Reboisasi untuk menghutankan kembali tak kunjung berhasil hingga kini. "Tanamannya sering ikut terbakar bersama kegiatan ladang berpindah," katanya. Memang tak semuanya ikut terbakar. Setidaknya Dwiatmo mengaku berhasil -- dengan dana Rp 3 milyar -- menanam pohon akasia dan sengon di lahan seluas 2.000 hektare yang kini berusia setahun. Justru karena reboisasi lebih sering gagal, Helmy menyayangkan keberadaan pemilik HPH di sekitar Riam Kanan. Pada awal pembuatan waduk diperkirakan hutan di sekitarnya cukup berfungsi sebagai daerah tangkapan air. Termasuk reboisasi areal 30 hektare yang waktu itu telah gundul. Nyatanya reboisasi gagal dan waduk pun kekurangan air. "Untuk menyelamatkan waduk dibutuhkan tambahan hutan penyerap hujan," kata Helmy. Harapan ini mustahil bisa segera terwujud. Apalagi sebagian hutan yang masih lebat, belakangan dijarah pengusaha HPH. Menurut penelitian Kelompok Program Studi Lingkungan dari Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin, pada (1989) masih ada kawasan hutan asli di kawasan Riam Kanan seluas 14.000 hektare. Tapi dari survei PLN April lalu, terbukti memang ada penebangan hutan oleh pengusaha. "Melihat tanda-tanda berupa jalan lebar, jembatan, dan bekas tebangan dengan alat mekanik, jelas penjarahan itu dilakukan pengusaha HPH," Helmy menandaskan. Sekarang kondisi PLTA yang kritis perlu segera diatasi. Apalagi PLTA itu harus kerja keras karena awal Januari nanti salah satu pembangkit di Kal-sel, PLTG (Pembangkit Listrik Tenaga Gas), terpaksa beristirahat. Artinya, beban PLTA bertambah untuk memenuhi kebutuhan listrik Kal-Sel yang sebesar 52 megawatt per hari. Mulai pekan lalu PLN berupaya membuat hujan buatan yang akan berlangsung sebulan penuh. Penyemaian awan dengan larutan urea dan garam NaCl telah dilakukan. Hujan memang belum turun, tapi mendung sudah tampak menggantung. Membuat hujan buatan itu adalah usaha PLN yang kedua selama satu tahun terakhir ini. Pada upaya pertama, PLN hanya berhasil menaikkan DMA 1,87 meter hingga menjadi 58,67 meter -- masih di bawah ambang normal. Lalu air susut lagi dalam waktu tujuh bulan. Untuk semua usaha menghindarkan Kal-sel dari kegelapan ini PLN mengeluarkan tak kurang dari Rp 1 milyar. G. Sugrahetty Dyan K. dan Alimin Hatta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini