BEBERAPA waktu lalu para pemulung dan pelapak di Jakarta, lewat Koperasi PEDULI yang baru mereka bentuk, meminta pemerintah agar melarang impor limbah. Laskar mandiri itu, yang cuma mampu memulung dari tong-tong sampah dengan berjalan kaki dari kampung ke kampung, jelas kalah bersaing dengan para pemulung berdasi, yang mendatangkan sampah dengan kapal-kapal besar dari Amerika dan Eropa. Sampah eks luar negeri ini harganya lebih murah (karena diperoleh dengan gratis dan hampir tanpa pajak), serta dianggap lebih "bermutu". Akibatnya pendapatan pemulung gurem dari hasil menjual sampah domestik turun 50-75%. Kalau saja alasan yang dikemukakan waktu itu lebih lengkap lagi, usul di atas pasti segera memperoleh dukungan berbagai pihak. Misalnya, karena pendapatan turun, para pemulung lalu malas atau mogok beroperasi. Tumpukan sampah, yang di Jakarta ini saja bertambah sekitar 20.000 m3 per hari, pasti akan terus menggunung dan menimbulkan problem lingkungan. Selain itu "mutu" sampah impor itu tidak sebaik seperti yang disangka. Sampah itu lebih buruk, baik bahan dasarnya misalnya PVC yang menghasilkan dioksin, senyawa perangsang kanker, maupun asal-usulnya dari bekas pembungkus pestisida, obat-obatan, atau bahan kimia lain yang beracun, seperti logam berat, dan sebagainya. Dengan kata lain, ia lebih tergolong sebagai B3 (bahan beracun dan berbahaya) daripada bahan baku daur ulang. Lebih-lebih, kegiatan impor limbah ini akhirnya juga dimanfaatkan sebagai media penyelundupan komoditi lain, seperti karpet serta berbagai bahan kimia lainnya. Maklum saja, siapa yang mau mengecek dengan teliti kontainer berisi sampah yang kotor dan berbau? Ada satu hal yang rupanya belum banyak diketahui masyarakat: kegiatan jual beli sampah ini tidak berdiri sendiri, tapi merupakan bagian dari fenomena pada skala global. Menurut kelompok lingkungan Greenpeace, sejak tahun 1986 para pedagang ini telah mengupayakan lebih dari seribu kali pengeksporan limbah sampai sejumlah sekitar 160 juta ton. Pengiriman limbah dari negara-negara industri maju ke negara berkembang ini mula-mula dilakukan dengan diam-diam dan tersembunyi. Sebagai contoh adalah yang dilakukan kapal Felicia tahun 1988 lalu yang sempat menggegerkan kita karena mencoba masuk Indonesia. Kapal ini semula bernama Khian Sea, dengan izin mengangkut pupuk, meninggalkan Philadelphia Oktober 1987 menuju Haiti. Tapi setelah isi sebenarnya diketahui -- 13.500 ton abu beracun sisa pembakaran sampah kota -- pemerintah Haiti menolaknya. Maka mulailah petualangan 26 bulan Khian Sea, setelah mengubah namanya menjadi Felicia, mencoba membongkar muatannya di 15 negara, tapi gagal. Diduga sampah itu lantas dibuangnya di suatu tempat di sekitar Lautan Hindia, sebelum kembali dengan nama baru lagi: Pelicano. Kegiatan perdagangan limbah itu lantas mendapat perhatian pemerintah. Negara Eropa yang tergabung dalam MEE, misalnya, bersama 68 negara bekas koloninya di wilayah Afrika, Karibia, dan Pasifik bersepakat melarangnya lewat Konvensi Lome awal tahun 1989. Sementara itu pada skala global, organ PBB, UNEP, mulai menyusun konvensi internasional yang mengaturnya. Konvensi Basel ini (The Basel Convention on the Control of Transboundary Movement of Hazarduous Waste and Their Disposal), meskipun masih dinilai lemah, telah dinyatakan efektif bulan Mei tahun 1992 ini. Tetapi perlu dipahami, Konvensi Lome hanya mengubah peta dan arah perdagangan limbah itu. Yang semula tertuju ke wilayah Afrika, Karibia, dan Pasifik, kini beralih ke Asia Tenggara terutama ke negara-negara Hong Kong, Malaysia, Thailand, Filipina, dan Indonesia. Selain itu perdagangan yang semula tersembunyi, kini justru lebih terbuka, dengan kamuflase perdagangan bahan baku daur ulang. Ini, selain terdengar sebagai sebuah penyelesaian atas persoalan lingkungan, juga sebagai upaya untuk mengelak dari Konvensi Basel yang memang sudah lemah itu. Maka tidak mengherankan selama dua tahun terakhir ini negeri kita ikut kebanjiran beribu-ribu ton limbah dari luar negeri. Belum lagi yang masuk lewat upaya-upaya ilegal, yang belum dan sulit diketahui jenis, jumlah, dan asal-usulnya, seperti soap noodle atau kantong-kantong plastik berisi limbah yang ditemukan di perairan Riau beberapa waktu lalu. Kita telah merasakan akibat globalisasi jual beli sampah ini. Ratusan ribu pemulung telah dirugikan, meskipun ada segelintir "pemulung" lain yang berdasi yang memperoleh keuntungan. Para pekerja pabrik daur ulang plastik terancam kesehatannya, lingkungan kita juga bertambah tercemar. Sementara itu, di lain pihak, banyak negara industri kaya justru memanfaatkannya untuk menghindarkan negerinya dari tumpukan sampah dan benda-benda beracun lainnya yang dihasilkannya sendiri. Untunglah pemerintah sudah bertindak tanggap. Akhir bulan lalu, lewat SK Menteri Perdagangan Nomor 349/KP/XI/92 tanggal 21 November 1992, segala bentuk impor limbah/sampah plastik dinyatakan terlarang (TEMPO, 5 Desember 1992). Yang lebih penting sekarang adalah mengupayakan agar SK ini segera dapat efektif berlaku dan mengawasi wilayah dan lingkungan kita agar tidak lagi kemasukan limbah secara ilegal. Ada baiknya juga kita mulai mempelajari baik buruk dan untung ruginya untuk ikut atau tidak dalam meratifikasi Konprensi Basel di atas. Menggembirakan, bahwa BPPT bersama Goethe Institute membicarakan soal sampah ini dalam seminar khusus tanggal 14 - 17 Desember ini. Maklumlah, di zaman globalisasi ini upaya pelecehan atas suatu bangsa dapat terjadi lewat berbagai cara. Salah satunya, ya, lewat kegiatan jual beli sampah di atas: menjadikan sebuah negara sebagai sebuah dumping ground alias tong sampah. Ini kan menyangkut harga diri kita sebagai sebuah bangsa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini