Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ASEP Saepudin, 40 tahun, baru saja selesai salat subuh. Tak lama setelah itu, ia mendengar suara gemuruh keras. Lantaran penasaran, ia mencari sumber suara dan mendapati tembok penahan tebing di seberang warungnya di Jalan Terusan Dago, Kelurahan Dago, Kecamatan Coblong, Kota Bandung, longsor. Material reruntuhan menutupi setengah jalur jalan alternatif menuju Lembang.
"Malam sebelumnya hujan deras," kata Asep kepada Tempo di warungnya, Rabu pekan lalu. Dia menduga tebing tak kuat menahan air hujan dan konstruksi gedung The MAJ Collection Hotel & Residences, yang sedang dibangun di atasnya. Pembangunan hotel dan apartemen mewah di Kawasan Bandung Utara (KBU) itu sudah berjalan dua tahun. Gedung 25 lantai setengah jadi ini menempati lahan 6.000 meter persegi.
Wakil Gubernur Jawa Barat Deddy Mizwar pernah mempermasalahkan proses pembangunan The MAJ yang tetap mendapatkan izin dari pemerintah kota. Padahal proyek ini tak mengantongi rekomendasi dari provinsi. Selain itu, koefisien dasar bangunan dan kawasan daerah hijau milik The MAJ tak memenuhi aturan. Kawasan wilayah terbangun di daerah tersebut pun sudah maksimal, jadi sangat berat untuk dibangun. "Syarat-syarat lingkungan itu seharusnya clear dulu karena The MAJ berdiri di KBU, baru bisa dikasih izin," ujar Deddy.
PT Dago Trisinergi Properti, pengembang The MAJ, mendapat surat izin mendirikan bangunan yang ditandatangani Wali Kota Bandung Dada Rosada tertanggal 13 September 2013. Mengenai polemik seputar perizinan ini, Project Manager The MAJ Sugihargo menegaskan sudah selesai dan tak perlu dibicarakan lagi. "Kami sudah lengkap semua dengan izin lingkungan," kata Sugihargo saat ditemui di kantornya di Bandung pada Jumat pekan lalu.
Adapun soal terjadinya longsor, Sugihargo mengatakan struktur The MAJ aman. Tak terjadi deformasi atau perubahan struktur tanah. Ini terbukti dari pembacaan alat inclinometer. "Kami telah memasang alat bernama inclinometer sejak dimulainya pembangunan untuk memantau pergeseran tanah yang terjadi di bawah permukaan, sehingga dapat terpantau kestabilan lereng," ucapnya. "Pergeseran satu milimeter saja bisa terpantau dan sebelum kejadian ternyata tak ada pergeseran yang signifikan. Tak ada pergeseran satu sentimeter pun."
KBU merupakan daerah tangkapan air di dataran tinggi Cekungan Bandung Raya. Kawasan ini meliputi Kota Bandung, Cimahi, Kabupaten Bandung, Bandung Barat, dan Sumedang. Pembangunannya diatur dalam Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2008 tentang pengendalian pemanfaatan KBU, yang kemudian direvisi dengan Perda Nomor 2 Tahun 2016. Aturan ini mengharuskan pembangunan fisik hanya 20 persen dari luas lahan, sedangkan 80 persennya untuk ruang terbuka hijau dan resapan air. Sanksi pidana dikenakan bagi pelanggar perda ini.
Sebagai resapan air hujan, KBU mempengaruhi siklus hidrologi sungai di Cekungan Bandung. Sejumlah sungai yang area hulunya berada di KBU, seperti Citeupus, Cibeureum, Cikapundung, Cipamokolan, dan Cidurian, langsung bermuara ke Sungai Citarum. Artinya, kalau daerah yang berada di ketinggian lebih dari 750 meter di atas permukaan air laut ini bermasalah, kawasan hilir atau Kota Bandung dan Kabupaten Bandung Barat yang bersisian dengan sungai akan terkena imbasnya. "Itu terlihat dari banjir besar sepekan terakhir di kedua wilayah itu," ujar Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Barat Dadan Ramdan.
Pada 1970-1980, limpasan air ke bawah dari KBU hanya sekitar 25 persen. Saat kawasan ini dibuka untuk hunian dan bangunan lain, hanya dalam waktu 20 tahun pasokan air di bawahnya melimpah dan sedimentasi sungai semakin tinggi. Tak mengherankan, menurut Dadan, KBU kian "sakit". Masifnya pembangunan hotel, apartemen, dan permukiman mewah, terlebih yang tak memenuhi aturan hijau dan tanpa izin, menambah degradasi dan mulai menghilangkan peran KBU sebagai pencegah banjir.
Dadan mengatakan, dari sekitar 41 ribu hektare luas total KBU, 70 persen sudah menjadi bangunan, entah itu permukiman, fasilitas umum, entah jalanan. Termasuk jajaran kawasan komersial yang dibangun tanpa memenuhi syarat.
Kasus yang diduga melanggar pembangunan di KBU lainnya adalah pendirian Sahid Cleveland di Jalan Cipaku, Kota Bandung. PT Tri Kurnia Sejahtera, pengembang Sahid Cleveland, disinyalir telah melakukan pembangunan kondominium dan hotel di atas lahan seluas 2,4 hektare dan memasarkannya kendati mereka belum memiliki izin mendirikan bangunan. Pembangunan Sahid yang berbatasan dengan Sungai Cipaganti ini dituding Dadan sebagai salah satu penyebab banjir besar Kota Bandung.
Saat dihubungi melalui telepon, Andi Syafrullah Alamsyah, Direktur Legal PT Tri Kurnia Sejahtera, membantah tudingan tersebut. "Pembangunan saja belum ada, bagaimana bisa jadi penyebab banjir?" ujarnya. Dia tak menyangkal informasi bahwa alat berat sudah masuk, tapi sekadar untuk pematangan lahan. "Sekarang sudah tidak ada."
Menurut pantauan Tempo, di lokasi memang tak terlihat tanda-tanda aktivitas pembangunan. "Alat berat sudah tak keluar-masuk sejak dua bulan lalu," ujar Dedy Rudy, 40 tahun, warga sekitar Sahid Cleveland. Sama seperti The MAJ, Sahid mengambil lokasi di pinggir tebing yang bersisian dengan Sungai Cipaganti.
Andi mengatakan proyek Sahid Cleveland sudah dikenalkan ke masyarakat. Hanya belum dipasarkan karena belum mengantongi izin mendirikan bangunan meski sudah mendapat rekomendasi dari provinsi. Saat ini, menurut Andi, PT Tri Kurnia Sejahtera sedang mengurus izin. "Kalau ditolak, mau tidak mau kami batalkan proyek ini. Masak, mau melawan aturan?" katanya.
Mayoritas properti yang memadati KBU merupakan permukiman skala besar, hotel, apartemen, dan sarana komersial lainnya. Tim Walhi sempat mengidentifikasi Kota Bandung menyumbang 256 hotel di Kawasan Bandung Utara. Angka tersebut diyakini lebih banyak karena belum memasukkan properti komersial di KBU untuk empat wilayah lain.
Dadan menantang Wali Kota Bandung Ridwan Kamil untuk bisa menertibkan semua pembangunan kawasan komersial tanpa izin atau yang melanggar aturan di Bandung Utara, yang berada di bawah kewenangannya. "Ya, itu harus lihat dokumennya dulu. Saya harus taat hukum juga meski punya wewenang," kata Emil—sapaan akrab Ridwan Kamil. "Kalau salah, baru ditindak. Bisa segel, bongkar, atau, ya, sanksi lainnya menurut aturan."
Amri Mahbub, Tri Artining Putri, Ahmad Fikri, Aminuddin (Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo