Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KANOPI ruang tunggu Stasiun Kereta Api Bandung roboh diterjang hujan lebat dan angin kencang, Ahad siang pekan lalu. Sejumlah atap seng stasiun beterbangan. Limpasan air mengalir cepat tak terbendung. Kurang dari 15 menit, ketinggian air yang merangsek ke stasiun sudah mencapai setengah meter. Para penumpang yang saat itu memenuhi peron sibuk mencari tempat tinggi. Lalu lintas kereta pun dihentikan karena sepuluh jalurnya terendam.
Ini pertama kalinya dalam tiga dekade terakhir banjir merendam stasiun itu. Sistem drainasenya tak mampu menampung limpasan air berjumlah besar. Para pegawai stasiun membuat 15 parit tambahan di bawah rel agar air cepat menyusut. "Sekarang kami tahu titik mana yang harus diwaspadai," kata Kepala Stasiun Kereta Api Bandung Suharno, Rabu pekan lalu.
Dua pekan sebelum Stasiun Bandung terendam, bandang di Jalan Pagarsih menghanyutkan sebuah mobil minibus hitam hingga 200 meter dan masuk ke Sungai Citepus. Beberapa mobil juga terendam di Jalan dr Djunjunan di depan Bandung Trade Center. Sebuah sedan putih tampak nekat menerjang banjir setinggi paha orang dewasa itu. Tak lama kemudian, mobil itu berhenti. Pengemudi pun meminta tolong warga sekitar untuk mendorong.
Banjir di Pagarsih, menurut Heri Suyatno, warga Pagarsih, terjadi setiap tahun sejak 1995. "Tapi tidak pernah seperti ini. Setiap tahun makin parah," ujar Heri, yang tumbuh besar di Pagarsih.
Curah hujan yang tinggi dalam sebulan terakhir membuat Kota Bandung menjadi bulan-bulanan banjir. Air meluap dari Sungai Citepus memicu banjir setinggi lebih dari setengah meter. Setidaknya ada 20 titik tergenang banjir, antara lain Jalan Pagarsih, Jalan Lodaya, Jalan Sudirman, Jalan dr Djundjunan, dan Rumah Sakit Cicendo. Jalan Pasteur, akses utama yang menghubungkan Bandung dan Jakarta serta jalur pantai utara Jawa, pun tertutup air.
Meski terletak pada ketinggian 791 meter di atas permukaan laut, Kota Bandung tak lepas dari ancaman banjir. Posisi kota itu sebenarnya berada di dasar Cekungan Bandung, yang menjadi kawasan daerah aliran sungai Citarum Hulu. Ada delapan subdaerah aliran sungai dari kawasan pegunungan yang mengelilingi Cekungan Bandung bertemu di Citarum.
Bentuk DAS Citarum Hulu yang seperti baskom itu membuat aliran air terkonsentrasi ke Kota Bandung. Citarum, yang membelah kota itu, berada di kawasan terendah Cekungan Bandung. Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menunjukkan kapasitas pengaliran Sungai Citarum hanya 1.647 meter kubik per detik. Adapun total debit air dari delapan sungai yang bermuara di Citarum bisa mencapai 1.728 meter kubik per detik saat hujan deras.
Hilman Nugroho, Direktur Jenderal Pengendalian Daerah Aliran Sungai dan Hutan Lindung Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, mengatakan risiko banjir meningkat saat curah hujan tinggi, banyak sedimentasi, dan hunian padat menghambat laju air di daerah aliran sungai. Berada di dasar DAS Citarum Hulu, Bandung sulit lolos dari banjir. "Pasti kebanjiran karena di situ rumahnya air," kata Hilman, Kamis pekan lalu.
Menurut Denny Zulkaidi, ahli perencanaan kota dari Institut Teknologi Bandung, kota itu tidak disiapkan dengan terencana untuk menghadapi banjir. Pada masa pendudukan Belanda, Kota Bandung pernah memiliki banyak ruang terbuka yang menjadi resapan air. Kini air yang masuk, terutama dari kawasan utara, justru tidak tertampung dengan baik.
Kawasan Bandung Utara menjadi perhatian khusus dalam penanganan banjir karena menyumbang hingga 60 persen air tanah yang mengalir ke Kota Kembang. Empat dekade lalu, limpasan air hanya sekitar 25 persen karena tertahan di kawasan yang masih hijau. Ironisnya, kawasan itu kini dipadati hunian dan bangunan tinggi besar yang melahap lahan resapan air.
Undang-undang penataan ruang sebenarnya mewajibkan kota memiliki setidaknya 30 persen dari luas wilayahnya sebagai ruang terbuka hijau dan resapan air. Tapi Taufan Suranto, Kepala Divisi Informasi dan Komunikasi Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda, menyebutkan ruang terbuka hijau Kota Bandung hanya 13 persen.
Masalah makin pelik akibat banyak lahan terbuka yang kini berubah fungsi. Lahan terbuka di Kawasan Bandung Timur, misalnya, terus menyusut karena tertutup bangunan seiring dengan pengembangan kota ke wilayah itu. "Sisa lahan terbuka ada di Gedebage, kini akan dibangun juga oleh investor," ujar Taufan.
Banjir besar yang melanda kawasan Pasteur, kata dia, sebenarnya bukan dipicu oleh hujan deras di Lembang, yang berada di dataran lebih tinggi. Air hujan di Lembang akan mengalir ke arah barat menuju Sungai Cibeureum, masuk ke Sungai Citepus, dan bergabung dengan aliran Citarum. Aliran air hujan di kawasan Pasteur justru masuk ke Sungai Cianting dan Cipedes. Masalahnya, banyak perubahan lahan terjadi di sekitar dua sungai itu. Kawasan Setrasari di sebelah utara Pasteur, misalnya, kini dipadati perumahan elite. Padahal pada 1989, menurut citra satelit, Setrasari masih tergolong daerah terbuka hijau.
Sistem drainase Kota Bandung menjadi sorotan ketika banjir melanda. Saluran air yang ada dinilai tak memadai untuk membuang air dalam jumlah besar secara cepat. Irwan Tenibemas, warga Pagarsih, menilai posisi gorong-gorong di tikungan sungai yang berada di belakang permukiman warga adalah keliru. Padahal gorong-gorong itu berfungsi membagi beban air ke drainase di seberang Jalan Pagarsih yang bermuara di Sungai Ciroyom.
Menurut Irwan, seharusnya saluran itu dibuat di ujung aliran sebelum tikungan Sungai Pagarsih. Letak saluran juga dinilai terlalu tinggi, sehingga muka air harus meningkat dulu sebelum mengalir ke drainase. "Tujuannya kan supaya tak meluap, masak harus menunggu air tinggi dulu?" kata Irwan.
Pada 1980-an, Bandung punya Urban Development Project untuk pembangunan drainase, jaringan jalan, dan pembuangan air kotor yang terintegrasi. Seiring dengan waktu berjalan dan kawasan bangunan bertambah, program itu tak diperbarui. Padahal jumlah air limpasan semakin tinggi. Aliran air kerap tak masuk ke sistem drainase yang tersumbat tumpukan sampah.
"Perlu dibuat master plan baru, di mana daerah resapan, retensi, bagaimana menampung air, dan berapa yang masuk ke drainase," ujar Denny Zulkaidi. "Kalau itu terukur, akan tahu bakal banjir atau tidak."
Kepala Dinas Bina Marga dan Pengairan Kota Bandung Iskandar Zulkarnaen menyanggah anggapan bahwa drainase kurang maksimal menyalurkan air hujan. Banjir di sejumlah lokasi di Kota Bandung disebabkan oleh curah hujan yang tinggi. Akibatnya, debit air melonjak dan tidak tertampung sistem drainase. "Drainase jalan sudah cukup. Banjir itu karena air sungai meluap, bukan drainasenya kurang," tuturnya.
Jika drainase bermasalah, menurut Iskandar, hujan dengan intensitas normal saja sudah bisa menyebabkan banjir yang bertahan lama. Namun sejauh ini tak ada genangan di jalan-jalan kota ketika terjadi hujan normal. Drainase yang bermasalah selama ini karena tertutup sampah atau sedimentasi tanah.
Wali Kota Bandung Ridwan Kamil mengakui ada masalah dalam menangani banjir. Namun, menurut dia, terlalu berlebihan jika ada yang menilai drainase kota itu buruk dan pemerintahnya tidak bekerja menangani banjir. "Saya menjabat 2013, program penanganan banjir itu baru berjalan dua tahun," kata Ridwan. "Dicicil karena uangnya terbatas."
Pemerintah kota, menurut Ridwan, sudah memiliki program untuk menangani banjir setiap tahun. Dalam tiga tahun terakhir, izin pembangunan di Kawasan Bandung Utara diperketat. "Selama saya menjabat, tidak ada izin pembangunan apartemen dan hotel yang dirilis," ujarnya.
Pembangunan daerah resapan air, pelebaran gorong-gorong, hingga pembuatan kolam penampungan juga dikebut. Tahun depan, Pemerintah Kota Bandung akan membangun lima kolam penampungan. Adapun proyek drainase 2 x 2 meter dikerjakan bersamaan dengan trotoar. "Sudah di 30 ruas jalan dalam dua tahun ini," katanya.
Ridwan menyatakan ada anggaran sekitar Rp 300 miliar per tahun untuk menangani masalah banjir di Kota Bandung. Namun masalah aliran air dan banjir yang melanda Bandung seharusnya diselesaikan bersama pemerintah daerah di sekitar Kota Bandung dan Provinsi Jawa Barat.
Wakil Gubernur Jawa Barat Deddy Mizwar mengatakan masalah banjir Bandung adalah isu lintas wilayah. Lima kabupaten dan kota bekerja dengan memegang satu dokumen yang dibuat Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat pada 2014 tentang mengatasi banjir di Bandung Raya. Meski rencana induk sudah dibuat dua tahun lalu, program itu tak berjalan lancar karena pemerintah kabupaten dan kota memilih menangani banjir dengan cara masing-masing. Deddy mengatakan pemerintah kabupaten dan kota seperti memakai imajinasi sendiri dalam menanggulangi banjir.
"Sudah kami awasi semua, tapi mereka kerja sendiri-sendiri meski sudah dikasih tahu," ujar Deddy. "Pas datang itu air, baru pada kelimpungan."
Gabriel Wahyu Titiyoga, Tri Artining Putri, Amri Mahbub, Anwar Siswadi, Ahmad Fikri, Aminuddin (Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo