Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
CATATAN pada kertas lusuh itu tersimpan dalam laci warung milik Hasan Roy. Isinya, daftar utang para pelanggan. Para pengutang itu adalah warga desa Bojakan, Siberut Utara, Sumatera Barat. Mereka, kata Hasan pekan lalu, ”Jatuh miskin setelah bertahun-tahun hidup enak sebagai tuan tanah.”
Selama enam tahun ini warga desa menjadi tuan tanah lantaran lahan mere ka disewa sebuah perusahaan yang mengantongi hak pengusahaan hutan di Siberut, salah satu pulau di Kabupaten Mentawai. Namun, setelah pohon-pohon di desa habis dieksploitasi, dan perusahaan itu berpindah ke tempat lain, penduduk pun kembali jatuh miskin dan berutang ke sana-sini.
Kehidupan warga yang limbung ini tak hanya terjadi di Bojakan, tapi juga di beberapa desa lain di Siberut Utara. Inilah panorama yang menimpa Pulau Siberut ketika hutan-hutan mereka mulai geripis kini. Lima hektare lahan milik Gustaf Saerejen, warga Desa Sotboyak yang menjadi kepala suku, misalnya, sekarang kering-kerontang. ”Saya kembali berladang,” ujarnya.
Kelestarian alam di pulau ini tengah terancam. Pada musim kemarau, hanya sedikit air yang mengaliri anak sungai. Namun, tiga bulan lalu, saat hujan le bat turun, Sungai Muara Sigep di Siberut Utara meluap dan membanjiri Desa Politcoman.
Menurut Tarianus, warga Politcoman, biasanya banjir hanya sesekali mampir di halaman rumahnya. ”Kini kasur harus saya angkat ke loteng agar tak basah,” ucapnya. Tanah longsor pun terjadi di sejumlah tempat.
Sejak 15 tahun lalu, beberapa perusahaan swasta memang sudah merambah hutan di Siberut. Pada 2001, Bupati Mentawai mengeluarkan tujuh izin pemanfaatan kayu kepada koperasi dan perusahaan. Namun, empat tahun kemudian, izin itu dicabut lantaran keluar Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 2005 tentang pemberantasan penebangan kayu secara ilegal di kawasan hutan.
Nah, Tarianus, Gustaf Saerejen, dan warga lainnya tampaknya bakal menghadapi problem baru. Ini karena Menteri Kehutanan mengeluarkan izin baru hak pengelolaan hutan seluas 49.440 hektare kepada PT Salaki Summa Sejahtera pada Mei lalu. Izin tersebut berlaku selama 45 tahun. Pemerintah juga berencana mengeluarkan izin hutan tanaman industri bagi sebuah perusahaan kertas asal Korea Selatan.
Juni lalu, Gubernur Sumatera Barat Gamawan Fauzi terbang ke Negeri Ginseng, menemui pimpinan perusahaan tersebut. Pertemuan itu merupakan tindak lanjut dari nota kesepahaman Menteri M.S. Kaban dengan Suh Seung Jin, Chief of Korea Forestry Service. Nantinya, perusahaan itu akan menanam pohon jenis akasia mangium pada lahan seluas 70 ribu hektare di Siberut. Pohon itu merupakan bahan baku industri kertas di Korea Selatan.
Menurut Gamawan, investasi yang akan masuk senilai US$ 105 juta (sekitar Rp 1 triliun). Ini belum termasuk industri pulp yang akan dibangun bila sudah berproduksi. ”Tanaman industri ini harus didukung semua pihak karena mensejahterakan masyarakat,” ucap Gubernur. Apalagi, kata Gamawan, industri ini membutuhkan 3.000 tenaga kerja lapangan dan 200 profesio nal. Gamawan menja min hutan tanaman industri tak akan mengganggu Taman Nasional Siberut dan cagar biosfer.
Janji dan klaim Gamawan dibantah aktivis lingkungan hidup di Sumatera Barat. Darmanto dari Perkumpulan Siberut Hijau menuduh perusahaan swasta telah menghancurkan keanekaragaman hayati hutan Siberut. ”Siberut saat ini ibarat buku yang robek sebelum sempat kita baca,” ujarnya.
Darmanto menunjuk pada berkurangnya populasi primata endemik dan tumbuh-tumbuhan di pulau ini. Padahal, sejak 1981, UNESCO telah menetapkan Kepulauan Siberut sebagai salah satu daerah biosfer yang dilindungi. Kepulauan ini dinilai memiliki hutan yang kaya, margasatwa yang unik, dan tradisi masyarakat adat yang masih dipertahankan.
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia mencatat, Siberut menyimpan lebih dari 846 spesies, 390 genus, dan 131 famili pohon, semak, herba, liana, dan epifit. Pulau ini juga memiliki empat spesies primata endemik yang hanya dimiliki oleh Mentawai, yaitu bilou atau siamang kerdil (Hylobates klosii), simakobu atau monyet ekor babi (Simias concolor), bokkoi atau beruk Mentawai (Macaca pagencis), joja atau lutung Mentawai (Presbytis potenziani).
Darmanto mengkritik kesepakatan PT Salaki dengan Institut Pertanian Bogor untuk mengelola lahan 4.000 hektare sebagai lokasi penelitian primata endemik melalui Siberut Conservation Programme. Dalam proyek ini, IPB bekerja sama dengan Deutches Primatenzentrum, lembaga penelitian di Universitas Gottingen, Jerman.
”Kami ajak IPB karena masalah Siberut amat sensitif baik dari segi ekologi maupun masyarakatnya,” kata Iwan Sumarta, Direktur Utama PT Salaki, yang berjanji memperhatikan masalah konservasi hutan Siberut. Rabu tiga pekan lalu, Iwan menemui Gubernur Gamawan, membicarakan rencana Salaki dalam 10 tahun ke depan dan bagaimana mensosialisasi program ke masyarakat, termasuk membicarakan kompensasi untuk warga Siberut.
Menurut Darmanto, lahan untuk melindungi primata itu bakal terisolasi. ”Karena tak ada koridor antara taman nasional dan areal penelitian, sehingga habitatnya akan terpecah-pecah,” ujarnya. Akibatnya, jumlah primata bakal menurun.
Tak hanya itu, lahan yang harusnya dikelola masyarakat juga semakin berkurang. Maklumlah, lahan Pulau Siberut yang luasnya 403.300 hektare sudah dibagi habis. Untuk taman nasional seluas 190.500 hektare, Koperasi Andalas Madani menguasai 49.650 hektare dan PT Salaki Summa Sejahtera 49.440 hektare. Jika perusahaan kertas Korea Selatan diberi izin mengolah 70 ribu hektare, maka luas lahan yang diguna kan oleh perusahaan dan taman nasio nal menjadi 359.590 hektare. Berarti are al yang tersisa dan bisa dimanfaatkan masyarakat cuma 43.710 hektare.
Urlik Tatubeket, Ketua Aliansi Masyarakat Adat Peduli Mentawai, menilai lahan yang tersisa tak memadai. Dengan jumlah penduduk Siberut yang saat ini mencapai 29.737 jiwa, maka setiap individu hanya bisa menggarap 1,46 hektare.
Penyediaan lahan 70 ribu hektare juga membingungkan warga. Menurut Urlik, lahan seluas itu tak bakal ditemukan lagi di Siberut, kecuali yang dikelola warga sebagai ladang dan kebun. ”Jika digunakan juga, kami tak punya tempat tinggal dan ladang,” ucapnya.
Bagi warga Mentawai, tanah memiliki nilai ekonomis dan kultural. Mereka biasa menanam sagu, keladi, buah-buahan, dan memelihara babi. ”Dalam adat perkawinan, menantu akan memperoleh sebidang lahan untuk menanam sagu dan keladi,” kata Urlik.
Selama ini, warga Siberut memiliki adat pumonen, yaitu membuka lahan untuk ladang dengan cara tebang pilih. Pohon yang bermanfaat tetap dijaga dan beberapa pohon cuma dikuliti. Alhasil, proses pengikisan humus tak berlangsung cepat dan kelestarian hutan terjaga.
Masuknya perusahaan perambah hutan membuat adat tersebut mulai terkikis. ”Pandangan masyarakat tentang ladang berubah,” kata Aman Letang Saguruwjuw, seorang tokoh adat di Siberut. Lahannya disewakan dan mereka menjadi buruh kasar di perusahaan kayu. Sistem kekerabatan pun retak. Antarkerabat berebut lahan untuk mendapat keuntungan dari perusahaan.
Awal Agustus lalu, Urlik sudah mengirim surat ke Menteri Kehutanan untuk membatalkan rencana pembukaan lahan hutan tanaman industri. Sikapnya didukung Ketua DPRD Kepulauan Mentawai, Kortanius Sabeleakek. Menurut Kortanius, gubernur harus mengajak bicara pemerintah kabupaten. ”Jangan kami hanya dijadikan robot,” kata Kortanius.
Gamawan Fauzi mengaku tak memaksakan kehendak. Menurut dia, rencana proyek tersebut masih digodok di Departemen Kehutanan. ”Kepastiannya menunggu kajian tim dari pusat yang akan datang ke Siberut bulan depan,” ujarnya.
Kepala Pusat Informasi Kehutanan Achmad Fauzi Mas’ud menjelaskan, izin pengelolaan hutan itu keluar setelah melalui proses panjang dan dengan sejumlah persyaratan yang ketat. ”Kami tak tahu mengapa pemerintah daerah memilih Pulau Siberut,” katanya.
Untung Widyanto, Febrianti (Mentawai)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo