Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Saudagar-saudagar Kelas Dunia

Sekolah bisnis berbahasa Inggris telah bermunculan. Usaha dan harapan untuk melahirkan para pebisnis lokal yang piawai di pentas global.

10 September 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

IA seorang mahasiswi ITB. Neysa Ratmila masuk School of Business and Management, Institut Teknologi Bandung, pada 2005. Hitam-manis, berbaju cokelat, dan bercelana hitam rapi: sportif, tapi juga seperti eksekutif muda.

School of Business dan Management ITB (SBM-ITB) itu terletak di bangunan tua berlantai tiga, dengan lantai mozaik keramik yang elegan. Tapi mungkin pemandangan yang paling mencolok di situ adalah para mahasiswanya. Berbeda dengan suasana lingkungan di sekitarnya, mereka tampak trendi dan wangi. Baik laki-laki maupun perempuan, semua dengan kemeja, rok dan celana yang disetrika licin. Dalam suasana itulah, lima hari dalam seminggu, dari pukul 07.00 sampai 17.00, Neysa menjalani kuliahnya yang singkat tapi padat.

SBM-ITB sekolah yang sibuk dan di tahun ajaran baru seperti September ini cukup ramai diserbu peminat. Hal yang sama juga terjadi pada sekolah-sekolah bisnis lain di Jakarta: Sampoerna School of Business and Management, Institut Teknologi Bandung (Sampoerna SBM-ITB), Bakrie School of Management, atau nama lama seperti Institut Pendidikan dan Pembinaan Manajemen dan Institut Bisnis dan Informatika Indonesia (IBII). Diharapkan, mereka berhasil mencetak para pengusaha tangguh di pasar domestik maupun global, dan pintar berbahasa Inggris.

”Di tingkat regional dan global, orang-orang kita kurang mencuat antara lain karena ketidakmampuan berbahasa Inggris,” ujar Sudhamek, bos Garuda Food.

Ada seleksi yang ketat untuk masuk SBM-ITB. ”Tak beda dengan permainan uji nyali,” kata Neysa. Dari uang kuliah yang harus dibayarkan sekaligus alias sampai tamat S-1 dan besarnya mencapai Rp 150 juta, hingga tingginya kemampuan berbahasa Inggris, baik kecakapan berbicara maupun menulis.

SBM-ITB menuntut siswa dengan nilai TOEFL minimal 550. Sedangkan Bakrie School of Management menetapkan standar TOEFL 530. Di IBII, calon mahasiswa program magister bisa saja TOEFL-nya di bawah 500, tapi saat lulus harus mencapai angka minimal itu. Dari suasana belajar seperti itulah, misalnya, SBA-ITB kemudian meraih juara III kompetisi e-Strat L’Oreal Business Challenge. April lalu, tim Rajawali ITB menjadi satu-satunya wakil Asia yang menjadi juara di kompetisi simulasi bisnis yang diselenggarakan perusahaan kosmetik Prancis itu. Dalam kompetisi ini, peserta harus mampu membuat keputusan-keputusan bisnis untuk mendongkrak harga saham.

Ide pendirian sekolah bisnis dengan orientasi ini sebenarnya sudah lama. Mulanya, pada 1980-an, Prof. Dr. Ma thias Araf melontarkan gagasan membuat sebuah fakultas baru, yakni Fakultas Manajemen. Lama tak mendapat sambutan, ide itu bersemi kembali ketika Kusmayanto Kadiman—kini Menteri Riset dan Teknologi—jadi Rektor ITB. Kusmayanto melihat perlunya wadah untuk mengembangkan dan memberi nilai tambah pada temuan engineering di ITB. Lalu berdirilah SBM-ITB.

Sekolah bisnis yang, di mata Prof. Dr. Jann Hidajat Tjakraatmadja, Wakil Dekan Bidang Akademik, didirikan buat menampung ide-ide di Jurusan Teknik Industri. ”Temuan ITB tidak diaplikasikan dalam bisnis karena ketidakmampuan para insinyur dalam hal manajemen, sehingga banyak temuan yang hanya masuk laci,” katanya. Kurikulumnya dipadatkan menjadi tiga tahun, dengan fokus pengembangan kurikulum kewirausahaan, kepemimpinan, serta akrab dengan teknologi yang dikembangkan di ITB. ”Ini yang membedakan dengan fakultas ekonomi-manajemen di universitas lain,” ujar Jann.

Di Jakarta, kampus ini menggandeng Yayasan Sampoerna, mendirikan sekolah bisnis khusus untuk karyawan, dan kuliahnya pun digelar pada akhir pekan, malam hari. Sebelumnya, yayasan itu aktif mengirimkan mahasiswa melalui program beasiswa ke luar negeri. ”Tapi manfaatnya kan perorang an,” kata Citra Indah Lestari, Media Relations Sampoerna SBM-ITB.

Putra Sampoerna, pendiri Yayasan Sampoerna, berkeyakinan pendidikan manajemen seperti ini mutlak diperlukan untuk melahirkan pemimpin bisnis berwawasan internasional. Sebagai peng usaha, ia sendiri merasakan sulitnya mencari manajer andal. ”Kita kekurangan tenaga manajer le vel menengah dan atas,” ujarnya. Ia punya cita-cita tinggi. Ia ingin Sampoerna SBM-ITB menjadi sekolah bisnis internasional yang banyak mengupas kasus-kasus bisnis lokal. Untuk mendukung program sekolah ini, Yayasan Sampoerna juga mendirikan Indonesia Business Case Center. Unit ini bertugas menulis dan meriset kasus-kasus perusahaan di Indonesia. Data di pusat kasus bisnis kelak juga bisa diakses sekolah bisnis yang lain.

Apa sih isi kurikulum yang telah dipadatkan itu? Yang jelas, selama tiga tahun kuliah di Bandung, para mahasiswa SBM-ITB harus melahap 144 SKS. Pada tahun pertama, para mahasiswa dikenalkan pada soft skill: kemampuan emosio nal, intelijensia, etika, komunikasi, dan kerja tim. Belum ada praktek langsung. Pada tahun kedua, giliran mata-mata ku liah basic management yang lebih ditekankan pada kegiatan praktikum. Mahasiswa dibagi dalam empat kelompok bisnis dan masing-masing diwajibkan membuat business plan. ”Keberhasilan bisnis mereka jadi syarat kelulusan,” kata Dr. Utomo Sarjono Putro, Direktur Program SBM-ITB.

Rencana bisnis itu bukan hanya di atas kertas. Pihak kampus mengundang bank untuk menyimak presentasi proposal yang telah dibuat para mahasiswa. Kalau setuju, pihak bank menggelontorkan pinjaman. Kelompok Neysa, misalnya, berhasil mempresentasikan proposal bisnis jins sehingga mendapat pinjaman dari Bank Niaga sebesar Rp 10 juta. ”Agun annya tabungan kami sekelompok, 28 orang,” katanya.

Usaha yang hanya dijalan kan selama tiga bulan itu berhasil. Selain mampu mengembalikan pinjaman, mereka juga meraup untung Rp 28 juta. Namun, duit itu tak lantas masuk kantong sendiri, melainkan dipakai untuk pelayanan masyarakat, yakni membuat saluran irigasi sepanjang 5 kilometer di sebuah desa di Ciwidei, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. ”Selain mampu berbisnis, mereka juga dirangsang kepekaan sosialnya,” ujar Jann.

Sekolah Bisnis Bakrie menerapkan pendidikan praktek para mahasiswa langsung ke kelompok usaha kecil dan menengah yang tergabung dalam Kelompok Usaha Bakrie. Di sana mereka melakukan sesi kuliah khusus: kunjung an ke lokasi usaha, pendampingan, dan magang.

Ya, pelajaran di kampus baru langkah awal. Pertarungan berbisnis yang sebenarnya hanya beberapa langkah dari pintu kampus.

Irfan Budiman, Sapto Pradityo, Rinny Srihartini (Bandung)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus