Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Obituari

Perginya Sang Raja tanpa Mahkota

Anak Agung Made Djelantik wafat pada usia 88 tahun. Pangeran egaliter yang tak terlupakan.

10 September 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KETIKA 14 bayangan menyeruak berebut untuk menduduki kursi Gubernur Bali, Rabu dini hari pekan lalu, di Wings Internasio nal RSUP Sanglah, Denpasar, selembar daun lepas dari tangkainya. Pada usia ke-88, dokter Anak Agung Made Dje lantik pergi untuk kedua kalinya. Sekali ini sudah dipastikan: ia takkan kembali.

Djelantik pernah mengalami koma, pada 1999. Tapi, ajaib, ia siuman kembali. Ia kemudian menceritakan perjalanannya yang dibatalkan itu dengan lukisan-lukisan cat air yang membuat kita ingat, hidup memang hanya sementara.

Dokter Djelantik, putra A.A. Anglu rah Ketut, raja terakhir Karangasem, membuat revolusi budaya dalam kehidup an feodalisme Bali. Itu bukan hanya karena ia menikah dengan Astri Hen riette Zwart (wafat 1997) yang kulit putih. Djelantik menyikapi kebangsawanannya bukan sebagai status, melainkan tantangan untuk berbuat banyak kepada rakyat.

Tanpa mahkota, ia tetap raja berkat segala perbuatannya yang diabdikan kepada pembinaan kesehatan masyarakat. Ia pakar dalam usaha menghabisi penyakit malaria, sehingga UNESCO memberi dia tempat dan penghormatan yang sangat layak. Bukan hanya dokter, Djelantik juga budayawan.

Pemikirannya tentang ”kebalian” sa ngat mendalam, berbeda dengan orang lain. Ketika menyaksikan pertunjukan hasil workshop seorang sarjana dan penari terkenal di Denpasar, Bali, yang berbau idiom-idiom Barat, wajahnya tampak muram. ”Mengapa yang diajarkan hanya bentuk, bukannya jiwa yang ditumbuhkan kepada anak-anak muda kita?” katanya.

Djelantik mewariskan buku The Birthmark: Memoirs of a Balinese Prin ce. Tapi, lebih dari itu, ia meninggalkan seancang langkah, bagaimana menjadi manusia (baca: bangsawan) Bali yang Indonesia, atau manusia Indonesia yang Bali. Tentu raja Bali lain tak semua bisa menyetujuinya. Tapi men diang adalah salah satu petunjuk pen ting tentang transformasi budaya macam apa yang sudah berlangsung di dalam ”Puri” Bali.

Bali bukan hanya tontonan dan arak-arakan ritual. Bali juga pertemuan wirasa Barat dan wirasa Timur. Dalam pertemuan itu tidak hanya ada transak si, erosi, dan abrasi, tapi juga pertum buhan pemikiran. Berbagai kebijakan lokal Bali, dengan tafsir yang tepat, dapat menjadi sangat modern dan cocok sebagai kiat manusia masa kini. Itulah yang jarang dicatat, meskipun telah dibuktikan oleh kehadiran orang Bali seperti Djelantik.

Bali telah ditinggal pergi oleh seorang inspirator yang menegakkan citra manusia Bali dan Bali modern. Ia salah seorang putra daerah terbaik yang setia membela cita-citanya membangun citra damai dalam keberagaman, yang benar-benar kita perlukan sekarang. ”Dalam keluarga kami bersatu berbagai ras, warna, dan agama,” kata Bulan Trisna Djelantik, putri sulungnya. ”Kami pu nya adik angkat dari kalangan kasta rendah, namanya Merti Djelantik, hal yang tidak mungkin dilakukan oleh seorang Anak Agung yang lain.”

Djelantik juga dikenal berpenampilan sederhana. ”Ia hanya pakai cincin kawin, tak mau beli baju sebelum robek,” kata Bulan. ”Beliau banyak humor dan suka membuat kami tertawa. Tak pernah menyuruh, tak pernah marah. Apa adanya, tak diet, tak meditasi. Ia menginginkan esensinya upacara. Waktu Ibu meninggal, upacaranya sangat sederhana.”

Bulan juga yang menganjurkan ayah nya melukis dalam rangka penyembuh an sesudah koma. ”Sejak itu, dia melukis flashback kehidupan yang menjadi proses kembalinya memori.” Walau sejak itu pendengarannya menurun, ia tetap mengikuti gerak kehidupan dengan membaca. ”Ia selalu meminta buku kepada siapa saja, dan membaca semua,” kata Bulan.

Banyak nian jejak langkahnya bagi Bali. Ia membenahi aset puri sebagai milik yayasan keluarga (druwe tengah) sehingga terkelola dengan baik, seperti Taman Air Tirta Gangga, Istana Air Sukasada, dan Puri Agung Masterdam, hingga tidak menjadi milik perorangan, swasta, atau elite, tapi dinikmati oleh masyarakat. Bali tak akan mungkin lupa kepada pangeran egaliter ini.

Putu Wijaya

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus