Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Hutan suram di seram

Menristek bj habibie geram melihat hutan gundul di kawasan hutan pulau seram. penyemaian bibit baru di djajanti group, pabrik penghasil kayu lapis, baru sembilan bulan silam.

25 Mei 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Penyemaian bibit baru di Djajanti Group baru sembilan bulan lalu. Menteri B.J. Habibie geram. MENTERI Riset dan Teknologi B.J. Habibie berkali-kali membidikkan kameranya di kawasan hutan Pulau Seram. Ketika berkunjung ke pabrik Djajanti Group, akhir April lalu, itu ia bukan sekadar menyalurkan hobi memotret, tetapi lebih pada rasa geramnya. Di atas helikopter yang terbang 20 menit dari Ambon, ia melihat hanya hamparan hutan gundul. Bahkan, keadaan suram itu belum ada ditandai penghutanan kembali. Seusai meninjau pabrik penghasil kayu lapis nomor tiga di Asia Tenggara itu, Habibie melihat pusat persemaiannya -- meski ini di luar acaranya. Dugaannya ada ketidakberesan muncul. Menurut petugas penyemaian, sekitar 500.000 pohon yang disemai sebagian besar balsa, baru ecalyptus, meranti, dan sengon. Padahal, yang ditebang jenis meranti -- bahan baku terbaik kayu lapis. Yang membuat Habibie makin geregetan, persemaian itu dimulai baru sembilan bulan silam. Padahal perusahaan itu beroperasi sejak 10 tahun lalu, yang memproduksi lebih dari 900.000 m3 setahun, dengan nilai ekspor 180 juta dolar AS. Temuan Habibi belum habis di sini. Ketika berdialog dengan penghuni permukiman, ia mendapat keterangan bahwa upah menyemai per pohon hanya Rp 1. "Ini kebangeten," katanya. Dipahami bila akhirnya ia menumpahkan reaksi keras. Setelah menyinggung masalah hutan yang dikelola Djajanti, dalam ceramahnya di depan pejabat pemda Maluku, ia mengatakan akan menunjukkan foto dan temuannya tadi kepada Presiden. Pihak Djajanti tak membantah atas persemaian sembilan bulan lalu itu. "Tapi bukan Djajanti saja, ada perusahaan-perusahaan lain juga baru melaksanakannya sekitar dua tahun terakhir," kata Sudradjat Dp. Alasan Wakil Direktur Djajanti Group itu, selain sulit mengadakan bibit, ia menganggap hutan masih cukup rapat sehingga tidak perlu buru-buru membuat persemaian. Karena yang dilakukan sistem tebang pilih, tak semuanya pohon dibabat habis seperti di Filipina dan Sabah di Malaysia. Kemudian ia menyodorkan angka. Dari tujuh perusahaannya di Maluku, izin penebangan untuk tahun 1990/1991 luasnya 5.000 ha (menghasilkan 146.900 m3 kayu), di Sulawesi 1.200 ha (33.900 m3), di Irian (dari 3 perusahaan) 5.500 ha (225.900 m3), dan di Kalimantan 20.200 ha (591.900 m3). Jadi, total penebangan 31.900 ha (990.600 m3). Sudradjat berkata, "Kalau mau menggunakan hak, setidaknya kami menebang satu persen dari total HPH. Tapi ini tidak kami lakukan." Pernyataan ini terasa aneh karena HPH (hak pengusahaan hutan) yang dimiliki totalnya 2,5 juta ha. Mengenai upah persemaian, katanya, jangan dilihat Rp 1-nya, tetapi berapa pohon yang dikerjakan sehari. "Pekerjaan itu mirip pelinting rokok: Kalau rajin, ia bisa mengerjakan 3.000 pohon untuk menghasilkan Rp 3.000 sehari. Sebagai pekerjaan sambilan, itu upah yang cukup," tambah Sudradjat. Menurut dia, kerja antara jam 09.00 dan 15.00 ini biasanya dilakukan oleh istri karyawan. Toh Habibie melihat cara tersebut malah tak masuk akal. Sebab, bila buruh mengerjakan 1 menit satu pohon, dan mampu bekerja 10 jam sehari, ia hanya mengumpulkan Rp 600 sehari. "Sistem mana yang membenarkan upah model begini?" ujarnya pada TEMPO. Terhadap kewajiban Djajanti melakukan enrichment planting (penanaman sulaman) bisa dirujuk data Departemen Kehutanan. Di Maluku, misalnya, luas areal yang mesti ditanami kembali itu 30.060 ha. Jadi, sampai akhir tahun ini mesti disediakan lebih dari 700.000 pohon persemaian, yang terdiri dari kenari, meranti, sengon dan agatis. "Jika ini tak dipenuhi, izin tebang tahun depan dikurangi," ujar Abdul Bari TS, Kepala Biro Humas Departemen Kehutanan. Meski mencemaskan, hutan gundul yang disaksikan Habibie itu diragukan kebenarannya. Sebab, banyak bagian Seram gundul bukan ulah penebangan, melainkan karena ada ladang berpindah. "Dan di Seram kami tidak punya HPH. Kami ini perusahaan besar, buat apa membuat pelanggaran kecil," ujar Sudradjat. Namun, menurut catatan di Kanwil Departemen Kehutanan Ambon, Seram termasuk wilayah HPH Djajanti di Maluku, yang luasnya kalau ditotal dengan HPH di Pulau Buru, Tailaho, Halmahera, menjadi 435.000 ha. Departemen Kehutanan dalam lima tahun terakhir ini makin tegas menjalankan peraturannya terhadap pemegang HPH. Administrasi keuangan perusahaan, misalnya,tiap tahun diperiksa akuntan publik. Jika di situ tak ditemukan anggaran penanaman kembali, terpaksa dikenakan sanksi. Tahun lalu, sekitar 39 yang dicabut HPH-nya. "Karena ada ketentuan law enforcement itu, mungkin Djajanti buru-buru membuat persemaian," kata Abdul Bari. Lemahnya pengawasan aparat kehutanan dan "ada main" dengan pihak perusahaan diakuinya itu memang sulit dikontrol. "Namanya saja hutan. Hutan itu kan ruwet," seloroh Abdul Bari. Karena ruwet, masih banyak kekurangannya. Inilah yang dilihat Bob Hasan, Ketua Masyarakat Perkayuan Indonesia (MPI) yang merangkap Ketua Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI), pada Djajanti. Sebagai pengusaha industri, yang penting didahulukan sudut ekonomi, agar eksis dan bisa membayar 10.000 karyawannya. Pandangan ini berbeda dengan Habibie, yang melihat pengelolaan hutan dari kepentingan nasional. Dan terhadap Djajanti yang diramaikan Habibie itu, Bob Hasan belum menerima laporannya. "Maka, saya belum bisa melakukan tindakan apa-apa," katanya. Sri PudyastutiR.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus