Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Beberapa kritik dari bank dunia

Bank dunia menilai ekonomi indonesia terancam jika ekspor nonmigas gagal. kebijaksanaan uang ketat bisa membendung investasi swasta mengimpor barang modal. pinjaman us$ 4,6 milyar dari iggi.

25 Mei 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bank Dunia merekomendasikan bantuan US$ 4,6 milyar untuk Indonesia. Pinjaman yang cepat dicairkan akan menggantikan pinjaman khusus? Dan jumlahnya sekitar US$ 1,2 milyar? MASALAH neraca pembayaran atau BOP (balance of payment) dewasa ini seakan menghantui perekonomian Indonesia. Dalam laporan tahunan Bank Dunia tentang Indonesia, 1991, masalah ini juga akan diangkat dalam sidang IGGI di Belanda, Juni depan. Memang laporan yang dirahasiakan itu telah bocor pada kantor berita Reuters dan sudah pula dikutip oleh beberapa surat kabar Ibu Kota pekan silam. Secara garis besar, isinya sarat dengan saran, bahkan di sana-sini terselip pujian atas penanganan manajemen ekonomi makro Indonesia. Tapi yang lebih penting adalah penilaian Bank Dunia yang menekankan bahwa ekonomi Indonesia terancam bahaya, jika ekspor nonmigas gagal. Gejalanya terlihat pada perkembangan neraca perdagangan dan transaksi berjalan. Pada tahun anggaran 1990-1991, pertumbuhan ekspor nonmigas dikalahkan oleh pertumbuhan impor. Ekspor naik 6,7%, impor meningkat hampir 26%. Untuk mengatasi ketimpangan ini, Bank Dunia mendukung kebijaksanaan uang ketat, yang sampai sekarang masih dipertahankan. Dengan demikian, investasi swasta yang diperkirakan akan mengimpor banyak barang modal bisa dibendung. Pilihan ini agaknya dinilai lebih baik, ketimbang devaluasi atau bea masuk yang tinggi. Bank Dunia ikut mengecam sistem tata niaga yang melarang ekspor kayu gergajian dan rotan setengah jadi. Juga dikritik pemberian konsesi pengolahan hutan (HPH) yang tidak menanam hutan kembali. "Hutan bisa terkuras, jika terlalu dieksploatir oleh pengusaha yang hanya mengejar keuntungan jangka pendek," kata Bank Dunia. Ketua IGGI, J.P. Pronk, pekan lalu secara eksplisit mempertanyakan masalah kebebasan yang diberikan kepada pengusaha swasta. Menurut Pronk, sudah banyak bukti kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh ketidakacuhan pihak swasta yang hanya mengejar keuntungan. "Beban itu nanti akan dipikul generasi mendatang ...," Pronk memperingatkan. Dalam penelitian Bank Dunia, pajak terhadap pengusaha hutan yang kini cuma sekitar 30% dianggap terlalu kecil. Malaysia, misalnya, memungut iuran sekitar 90% dari seluruh hasil hutan. "Tingginya pendapatan dari usaha kayu gelondongan ini menyebabkan pengusaha swasta untung, sehingga tidak begitu tertarik untuk mengembangkan industri perkayuan dengan nilai tambah tinggi," Bank Dunia menyimpulkan. Tapi lembaga yang bergengsi ini tak luput mengkritik pinjaman luar negeri swasta tahun 1990-91 yang melonjak sampai US$ 6 milyar. Menurut Bank Dunia, pinjaman swasta ini berbahaya, karena jatuh temponya relatif pendek (1-3 tahun). Jika kelak jatuh tempo, diperkirakan tak bisa ditutup oleh Bank Indonesia. Tapi ada yang berpendapat, kekhawatiran itu terlalu berlebihan. "Kalau kita kelola dengan baik, bisa kita perpanjang," kata bankir dari sebuah bank devisa di Jakarta. Bagaimanapun juga, sikap hati-hati Bank Dunia perlu diperhatikan. Jika melihat transaksi berjalan (neraca perdagangan ditambah neraca jasa), pinjaman swasta ini sungguh membahayakan. Apalagi transaksi berjalan masih mengalami defisit US$ 4,3 milyar, melonjak dua kali lipat dibandingkan tahun sebelumnya. Ini antara lain disebabkan oleh beban cicilan utang yang meningkat. "Itu sebabnya, IGGI masih diperlukan," kata Pronk dalam dialog dengan pakar ekonomi Anwar Nasution dan Marie Pangestu di TVRI. Bank Dunia ternyata masih merekomendasikan pada IGGI agar memberikan pinjaman US$ 4,6 milyar kepada Indonesia. Bagaimana soal pinjaman khusus atau special assistance loan? Yang menjadi masalah adalah BOP. Jika harga minyak tahun ini jatuh di bawah perkiraan harga APBN (US$ 19 per barel) dan ekspor nonmigas tidak berkembang, BOP bisa menggelembung lebih besar lagi. Jika neraca modal ini tidak bisa dikompensasikan dengan aliran investasi asing serta pinjaman luar negeri (pemerintah dan swasta), maka kekurangannya harus ditutup dari cadangan devisa BI. Untuk itu, teknokrat dari Bappenas, Prof. Widjojo Nitisastro, kabarnya awal bulan ini telah melobi Jepang, donor terbesar di IGGI. Widjojo mengharap agar Bank Dunia kembali mengucurkan pinjaman khusus. "Masalah ini sebenarnya sensitif," kata kepala perwakilan OECF di Jakarta, Kazuto Tsuji, kepada Sandra Hamid dari TEMPO. "Indonesia memang membutuhkan pinjaman cukup besar yang bisa segera dicairkan untuk menunjang BOP. Situasi ekonomi yang membaik setelah Perang Teluk telah mendorong peningkatan impor besar-besaran," kata Tsuji-san, serius. Bantuan yang diminta dari OECF, kata Tsuji, sama seperti tahun lalu, yakni sekitar US$ 1,2 milyar. "Jumlah itu tidak masalah, tapi apakah bentuknya masih sama seperti tahun lalu, saya belum tahu," katanya. Tahun lalu, bantuan OECF terdiri dari US$ 700 juta dalam bentuk bantuan proyek dan US$ 500 juta sebagai pinjaman khusus. Menurut Tsuji, jika Bank Dunia masih memberikan rekomendasi, mungkin permintaan Indonesia dipenuhi. Malangnya, laporan Bank Dunia tidak lagi menganjurkan special assistance loan. "Tapi ada rekomendasi Bank Dunia agar IGGI memberikan fast disbursing sectoral loan," kata Elisabeth Pisani dari Reuters Jakarta. Berapa besarnya, belum diungkapkan. Dana ini, konon, tidak boleh disalurkan ke sektor pertambangan ataupun energi (Pertamina dan PLN). Max Wangkar, Bambang Aji

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus