Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Buruh dan swastanisasi

Menurut jp pronk, swastanisasi di indonesia perlu dibatasi agar buruh tidak celaka. sedangkan menurut anwar nasution buruh indonesia tidak terampil.

25 Mei 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menurut J.P. Pronk, swastanisasi arus dibatasi agar buruh tak celaka. Anwar Nasution melihat masalah, tidak terampilnya buruh Indonesia. TAMPIL dalam konperensi pers, dan tampil juga di layar TV, belumlah membuat J.P. Pronk lelah. Ketua IGGI ini selain harus melayani berbagai pertanyaan pers, juga menyediakan waktu untuk diskusi dengan pakar ekonomi, Ahad malam berselang. Diskusi yang ditayangkan oleh TVRI itu melibatkan Pronk, Anwar Nasution, dan Marie Pangestu, dengan Toeti Adhitama sebagai pemandu. Salah satu keterangan Pronk yang bayak dikutip adalah mengenai sikap dan tindak swasta yang katanya perlu dibatasi. "Swastanisasi jangan diartikan jalan bebas (freeway) bagi perusahaan swasta. Sebab, perburuhan bisa dicelakakan," kata Menteri Kerja Sama Pembangunan Belanda itu. Menurut Pronk, swastanisasi di Indonesia telah memperkuat konglomerasi. Konglomerat internasional juga masuk ke sini dan menyebabkan penumpukan modal. Peran mereka begitu kuat, sehingga upah buruh ditekan sangat rendah. "Karena itu, dibutuhkan organisasi buruh bebas yang tidak dikontrol," kata Pronk. Pronk tampaknya banyak mendengarkan suara Serikat Buruh Merdeka (SBM) Setiakawan, yang dipimpin H.J.C. Princen. "Industrialisasi di Indonesia memang telah meningkatkan kesempatan kerja, tapi tidak berarti buruh ikut kecipratan hasil-hasil pembangunan," kata Princen. Menurut Princen, upah buruh di Indonesia terlalu rendah. "Gaji minimum Rp 1.500 sehari, padahal kebutuhan keluarga minimal Rp 300.000 ...." Sebaliknya, Anwar Nasution dan Marie Pangestu tak sependapat dengan Pronk. "Apa yang Anda maksudkan dengan swastanisasi perlu dibatasi?" tanya Marie. "Tingkah laku mereka," sahut Pronk. Yang dikemukakan Pronk bukanlah masalah baru. Seperti diketahui, pertumbuhan sektor swasta belakangan ini begitu menonjol, sementara BUMN serta koperasi tampak sangat ketinggalan. Namun, menurut Anwar Nasution, "Di Indonesia buruh tak begitu terampil. Jika mereka bertingkah lewat organisasi buruh, mereka terancam pemutusan hubungan kerja," tambahnya. Pakar ini lalu mengkritik UU perburuhan yang berlaku di Barat. Demokratisasi buruh di Barat belum tentu menawarkan kondisi lebih baik, dibandingkan kondisi buruh di Jepang yang hidup di bawah kondisi otoriter. Mengapa Anwar bicara begitu? "Saya melihat Pronk bertindak melampaui wewenangnya sebagai Ketua IGGI," tukas Anwar blak-blakan. Lalu, apa alternatif pemecahan masalah buruh? Anwar setuju, organisasi buruh perlu diberi kebebasan. Hanya perlu diatur, supaya jangan timbul distorsi-distorsi lagi. "Tapi masalah paling struktural dalam perburuhan adalah bahwa kita kelebihan buruh yang kurang berpendidikan." Sampai saat ini, masih banyak perusahaan yang menekan upah buruh karena harus mengeluarkan anggaran besar untuk meningkatkan keterampilan karyawannya. Langkah mereka didukung pemerintah, dengan membebaskan anggaran pendidikan perusahaan itu dari pajak. Namun, menurut Anwar, kebijaksanaan ini perlu diperluas lagi. "Mbok, orang kaya yang selama ini banyak menyumbang untuk pembangunan masjid dan gereja, juga membantu pendidikan," kata pakar itu. Maksudnya tentu bukan untuk mendirikan kursus-kursus keterampilan komersial. Max Wangkar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus