Puluhan penduduk meninggal misterius di Desa Tempilang, Bangka. Korban perang santet? NOPETA, 16 tahun, tiba-tiba menari dan melantunkan tembang Sunda. Padahal, ia tidak bisa menari dan berbahasa Sunda. Beberapa menit kemudian siswi SMP Negeri kelas III ini ambruk. Ia mengigau, kejang-kejang, dan dari anusnya keluar darah. Ayah korban, Gustam, 43 tahun, mencoba melarikan gadis itu ke rumah sakit. Percuma. Nyawa remaja itu tak tertolong. Almarhumah hanya salah seorang dari 30 penduduk yang tercatat meninggal akibat penyakit aneh yang menyerang Desa Tempilang, Kabupaten Pangkalpinang, Bangka, sejak Maret. Korban kebanyakan gadis belia atau ibu muda. Entah siapa yang mengembuskan, isu merebak sampai ke pelosok desa. Menurut si empunya cerita, wabah aneh itu akibat perang santet antara para dukun. Penduduk pun resah. Suasana mirip perang. Penduduk siaga. Walaupun tidak ada larangan keluar rumah, setiap malam desa itu sepi. "Kami tak berani keluar rumah malam hari karena santet biasanya beraksi di malam buta," ujar seorang penduduk. Desa Tempilang, yang dihuni sekitar 10 ribu jiwa itu, memang dikenal banyak dukun. Tidak aneh kepercayaan pada hal-hal yang berbau mistik di kalangan penduduk masih tebal. Ketika korban berjatuhan, misalnya, mereka yakin, perang santet antara dukun-dukun yang bersaing tengah berlangsung sengit. Namun, tak seorang pun mampu membuktikan. "Namanya juga perang magis, tentu tidak bisa dilihat mata," ujar seorang penduduk Tempilang, Nurdin. "Tapi, itu dia, yang jadi korban penduduk tak berdosa," tambahnya. Tak jelas mengapa santet itu bisa menyasar kepada "penduduk sipil". Polisi pun sulit mengusutnya. Terbentur pada pembuktian. Yang dilakukan petugas hanya waspada agar penduduk tidak main hakim sendiri, misalnya mengeroyok dukun yang dicurigai sebagai dukun santet. Sadar urusan gaib harus dilawan dengan gaib, kepala desa pun turun tangan mengerahkan dukun-dukun. "Kekuatan magis hanya bisa dilawan dengan kekuatan magis," ujar Kepala Desa Tempilang A. Rahim Surei kepada Taufik T. Alwi dari TEMPO. Tidak itu saja. Para ulama pun direkrut untuk melakukan upacara ratib samman, yakni berkeliling desa pada malam hari sambil bertasbih memohon perlindungan Allah dari segala malapetaka. Toh, penduduk tetap gelisah dan curiga. Salah seorang dukun di desa itu, Nyi Darsinah, 50 tahun, nyaris jadi korban. Pasalnya, dukun berasal dari Banten, Jawa Barat, itu bisa berbahasa Sunda. Penduduk menduga bahwa para korban yang menjelang kematian bisa tembang Sunda itu karena ulah Ny. Darsinah. Tambahan lagi, Darsinah sering meninggalkan rumah tengah malam membawa obor sambil diputar-putar. Perbuatan dukun itu dicurigai penduduk sebagai menebarkan santet. Gara-gara kecurigaan itu Darsinah nyaris dikeroyok penduduk. Untung, polisi turun tangan. Di hadapan polisi, ibu delapan anak ini membantah menyebar santet. "Saya memang biasa keluar rumah malam hari tapi hanya untuk memungut buah durian yang jatuh dari pohonnya," katanya. Tentang obor yang diputar-putar? "Kalau didiamkan, obor akan mati karena terbuat dari ikatan lidi, bukan obor minyak," katanya. Darsinah pun dibebaskan. Benarkah korban mati karena perang santet? Pihak puskesmas tidak yakin. "Ah, itu hanya wabah malaria, bukan korban perang santet," ujar Kepala Puskesmas Tempilang, Dokter R.M. Yusuf. Ia mengakui pemeriksaan secara laboratorium belum pernah dilakukan terhadap para pasien yang dicurigai mengidap malaria tersebut. Tapi, secara klinis saja mudah diketahui. "Penderita demam malaria biasa ngoceh," katanya. Hasan Syukur (Palembang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini