Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TUJUH tahun tinggal di pe-rumahan Putri Hijau Daun, Kecamatan Sagulung, Kota Batam, baru kali ini Sahnan Sitompul sekeluarga menderita penyakit yang sama: gatal di sekujur tubuh. Paha, betis, leher, dan punggung tak henti-henti minta digaruk. Akibatnya, kulit mengelupas. Bisul pun tumbuh. Bila benjolan itu pecah, bekasnya menjadi koreng yang gatalnya membuat bulu tubuh merinding.
Bila malam tiba, Sahnan dan istrinya memiliki ritual baru, menggaruk tubuh kedua anaknya yang masih di bawah lima tahun sebagai pengantar tidur. Bila garukan berhenti, kedua anak itu pun terbangun. Begitu terus sampai pagi. Sambil menggaruk anak mereka, suami-istri itu saling menggaruki bagian tubuh yang tak terjangkau tangan sendiri. ”Benar-benar bikin repot,” kata Sahnan, Rabu pekan lalu.
Di perumahan itu, bukan hanya Sahnan dan keluarganya yang menderita gatal-gatal. Di Poliklinik Kulit Rumah Sakit Daerah Batam, ada 40-an tetangganya yang antre mencari obat pereda gatal. ”Sudah banyak warga menderita gara-gara limbah itu,” kata Wali Kota Batam Ahmad Dahlan.
Sahnan menduga derita yang dialaminya itu bersumber dari tumpukan tahi tembaga (copper slag) yang diimpor PT Jace Octavia Mandiri. Menggunung di belakang Kantor Kecamatan Sagulung, 3.800 ton sampah impor itu—setara dengan 380 dump truck kapasitas 10 ton—cuma seratusan meter dari rumahnya. Timbunan limbah impor ini termasuk yang terbesar di Batam sepanjang pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla. Jumlahnya bahkan jauh lebih banyak dibanding impor limbah yang dilakukan PT Apel pada 2004. Ketika itu, Apel mengimpor 1.140 ton limbah yang disebut sebagai bahan organik untuk pupuk tanaman. Limbah dari Singapura itu akhirnya direekspor, tapi kasus hukumnya terhenti.
Copper slag itu diangkut kapal MT Xing Guang 7 berbendera Korea Selatan dan mendarat di Batam pada 3 Februari 2009. Dalam dokumen impor, bahan itu disebut sebagai pasir besi (ferro sand). Impor pasir besi memang tak dilarang masuk Batam. Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (Bapedal) Kota Batam Dendi Purnomo bahkan pernah memberikan rekomendasi kepada Kementerian Lingkungan Hidup untuk mengizinkan PT Jace mengimpor pasir itu sebanyak 30 ribu ton per bulan dari Korea Selatan. Rekomendasi tersebut dikeluarkan pada 25 September tahun lalu. ”Tapi itu untuk pasir besi,” katanya.
Setelah tim Bapedal memeriksanya, ketahuan material itu ternyata bukan pasir besi, melainkan tahi tembaga. Tahi tembaga adalah bahan pengganti pasir besi untuk membersihkan kapal. Harganya jauh lebih murah daripada pasir besi. Bahan ini juga bisa untuk batako atau campuran beton. ”Tapi copper slag merupakan limbah yang terkategori berbahaya dan beracun,” ujar Dendi.
Sayangnya, kedatangan bahan berbahaya dan beracun (B3) itu baru diketahui Bapedal tiga hari setelah dibongkar dari kapal MT Xing Guang 7. Bapedal tak kuasa menahan muatan itu agar tetap di dalam kapal. Sejak itulah Sahnan pun mulai gatal-gatal.
Dendi Purnomo menguatkan dugaan Sahnan. Ia menyatakan gatal-gatal itu diakibatkan oleh tahi tembaga yang diimpor PT Jace. Ia bahkan menduga limbah sudah mencemari sumur penduduk. ”Air sumur tak layak lagi dikonsumsi,” kata Dendi. Indikasi adanya pencemaran sumur diperkuat hasil penelitian Balai Teknis Kesehatan Lingkungan dan Pemberantasan Penyakit Menular Kelas I Batam. Menurut lembaga ini, tingkat keasaman (pH) air sumur di sana hanya 5,2 alias di bawah ambang aman. Padahal air yang layak dikonsumsi harus memiliki pH 7.
Ditemukan pula keanehan lain. Sebelum impor dilakukan, PT Jace mengajak Muhammad Raden, pegawai verifikasi limbah B3 di kantor Pemerintah Kota Batam, meninjau sampah itu di negara asalnya. Keberangkatannya terkesan diam-diam. ”Ia berangkat memanfaatkan masa cuti. Padahal, aturannya, setiap pegawai negeri sipil yang bepergian ke luar negeri harus mendapat izin atasannya. Jadi pasti ada apa-apanya,” kata Dendi.
Atas dasar dugaan itulah Wali Kota Ahmad Dahlan menonaktifkan Raden. Wali Kota bahkan mengancam akan memecat Raden jika nanti ia terbukti bersalah. Hanya, pejabat Kepala Bapedal Kota Batam saat kasus impor PT Apel terjadi ini mengatakan tak gampang menemukan penyebab wabah gatal itu. ”Harus ada cek DNA,” ujarnya.
Tak pelak, kasus limbah yang memicu wabah dan pencemaran lingkungan ini membuat ratusan warga Batam yang masih sehat berulang kali menuntut Ahmad Dahlan segera bertindak tegas. April lalu, misalnya, warga Sagulung mendatangi kantor Wali Kota. Mereka—didampingi mahasiswa serta sejumlah aktivis lembaga swadaya masyarakat, antara lain Centrum of Independent Human Right and Analysis—menuntut tahi tembaga itu direekspor ke negara asal, Korea Selatan. Masyarakat juga meminta Wali Kota mencopot Mawardi Badar, yang dituding lamban bertindak. Mawardi adalah Kepala Dinas Kesehatan Kota Batam.
Kementerian Negara Lingkungan Hidup ikut bereaksi. Mereka turun tangan meneliti material impor itu di laboratorium. Hasilnya idem dengan yang dikeluarkan Bapedal Kota Batam. Kementerian lalu mendesak PT Jace mengembalikan limbah B3 itu. ”Sudah kami kirim surat kepada importir agar segera mereekspor limbah B3 itu,” kata Ilyas Asaad, Deputi Menteri Negara Lingkungan Hidup Bidang Penegakan dan Penataan Hukum Lingkungan.
Kementerian Lingkungan Hidup juga memeriksa kemungkinan keterlibatan oknum Badan Pengelolaan Lingkungan Batam ataupun pejabat di instansi lain, baik di bea-cukai maupun di dinas perindustrian dan perdagangan setempat. ”Sudah 15 orang yang dimintai keterangan,” ujar Ilyas Asaad.
Berdasarkan pemeriksaan, penyelidik Kementerian Lingkungan Hidup lalu menetapkan lima orang sebagai tersangka. Tiga di antaranya warga negara Indonesia dan dua lainnya Korea Selatan. Berkas kasus ini sudah dilimpahkan ke kejaksaan.
Menteri Lingkungan Hidup Rachmat Witoelar juga mengirim surat tertanggal 14 Maret 2009 kepada PT Jace. Isinya: perusahaan itu harus mereekspor tahi tembaganya. Padahal tenggat pengiriman kembali limbah, menurut Undang-Undang tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, adalah 90 hari sejak kedatangannya. Itu berarti 3 Mei lalu limbah harus sudah dikembalikan. ”Bila limbah tak segera dikembalikan, sanksi hukum semakin berat,” kata Ilyas.
Nyatanya, hingga akhir pekan lalu, tahi itu masih di tempatnya. Manajer Teknis PT Jace, Gunawan, menyatakan bahan itu tak termasuk limbah beracun dan berbahaya. Ia pun mengutip hasil penelitian beberapa lembaga yang diminta memeriksa material tersebut. ”Karena itu, kami tidak akan mengembalikan barang tersebut,” ujarnya. Ini berarti Sahnan pun bakal terus menggaruk badannya entah sampai kapan.
Adek Media, Rumbadi Dalle (Batam)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo