Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

<font color=#FF9900>Seuntai Permata</font> di Selat Madura

Dibangun dengan dana Rp 4,5 triliun, Jembatan Suramadu, yang menghubungkan Pulau Jawa dan Madura, adalah sebuah megaproyek yang dirancang mampu bertahan seratus tahun. Dalam sejarah transportasi Indonesia, jembatan ini dianggap sebagai tonggak, sejajar dengan proyek satelit Palapa pada masa pemerintahan Soeharto. Akankah kehadirannya menamatkan jasa feri penyeberangan?

22 Juni 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

AJUN Inspektur Polisi Dua Sunyoto terus-menerus menggerutu sepanjang Minggu siang pekan lalu. Petugas di Bagian Bina Mitra Kepolisian Resor Bangkalan, Madura, itu semula berharap bisa sampai di kantornya lebih cepat bila melalui jalan tol Suramadu, jembatan yang menghubungkan Surabaya dan Madura. Tapi ternyata lelaki berusia 35 tahun itu malah terjebak macet dan terkatung-katung selama tiga jam di atas jembatan yang baru saja diresmikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 10 Juni lalu itu.

Setelah diuji coba secara gratis pada Sabtu pekan lalu, ribuan orang memang berbondong-bondong ke jembatan Suramadu. Kebanyakan dari mereka datang dari Surabaya dan Madura, sekadar melancong dan berfoto-foto dengan latar belakang jembatan yang mengingatkan orang pada Golden Gate Bridge di San Francisco, Amerika Serikat. PT Jasa Marga Cabang Surabaya mencatat, pada hari itu ada 15.000 sepeda motor dan 4.200 mobil yang melintasi jembatan sepanjang 5,4 kilometer. Akibatnya, jembatan selebar 2 x 15 meter itu pun penuh sesak kendaraan. Saking padatnya, puluhan pengendara sepeda motor nekat pindah ke jalur khusus mobil, menerobos pagar pembatas setinggi sekitar satu meter di antara kedua lajur itu.

Suramadu bagaikan sebuah impian yang menjadi kenyataan bagi masyarakat di Madura dan Surabaya. ”Jembatan ini menjadi tonggak sejarah pembangunan prasarana perhubungan di Indonesia,” kata Presiden. Suramadu bisa disejajarkan dengan proyek sistem satelit domestik Palapa pada 1976, yang mengubah wajah telekomunikasi Indonesia.

Histeria masyarakat atas Suramadu surut ketika pada Rabu pekan lalu Jasa Marga mulai menerapkan tarif tol. Arus kendaraan sangat lancar. ”Minggu lalu saya telat tiga jam, tapi sekarang saya bisa hemat waktu dua jam dibanding naik feri,” kata Sunyoto, yang ditemui ketika tengah beristirahat di pintu keluar gerbang jembatan sisi Madura.

Bagi Sunyoto, kehadiran Suramadu sangatlah bermanfaat. Jembatan ini bisa mempersingkat jarak dan waktu tempuh ke tujuan. Rumahnya di kawasan Kenjeran, Surabaya, lebih dekat ke Suramadu daripada ke dermaga Ujung di Pelabuhan Tanjung Perak, tempat yang biasa ditujunya untuk menyeberang dengan feri ke Madura. Bila memakai feri, dia menghabiskan waktu sekitar dua jam, dari naik feri hingga menjejakkan kaki di seberang.

Ketika Tempo mencoba melewati jembatan baru itu dengan sepeda motor berkecepatan 25-40 kilometer per jam, hanya butuh 15 menit untuk menyeberangi Selat Madura itu. Sepeda motor tak bisa dipacu kencang melebihi 40 kilometer per jam karena angin laut keras menerpa di atas jembatan. Bila nekat menginjak gas lebih dalam, kendaraan akan oleng atau tak stabil.

Jembatan Suramadu diperkirakan akan dilintasi 8.000-9.000 sepeda motor dan 4.000 kendaraan roda empat per hari. Untuk menjaga agar alur penyeberangan tertib, Jasa Marga berinisiatif menambah jumlah penjaga loket dan menempatkan petugas di tengah antrean kendaraan. Dengan sistem ”jemput bola” seperti ini, pengemudi tak perlu antre membayar karcis tol di loket. ”Kami akan menempatkan 4 sampai 6 petugas jemput bola, sehingga antrean tiket segera bisa diselesaikan,” kata Direktur Utama PT Jasa Marga Frans S. Sunito.

Sejak Suramadu dioperasikan, Jasa Marga memang dipercaya mengantongi surat perintah mulai kerja dari Badan Pengatur Jalan Tol untuk mengelola Suramadu selama 18 bulan. Selanjutnya, pemerintah akan menyerahkan pengelolaannya secara permanen kepada sebuah badan dalam waktu 35 tahun. ”Jasa Marga hanya mengelola sementara, sambil menunggu dokumen manual pemeliharaan jembatan yang nanti akan diserahkan kepada operator permanen,” kata Kepala Badan Pengatur Jalan Tol Nurdin Manurung.

Sebagai pengelola, Jasa Marga akan mendapat imbalan dari pemerintah. ”Sesuai dengan proposal yang dibuat (oleh Jasa Marga), imbalan yang diminta untuk mengelola Suramadu selama 18 bulan Rp 10,8 miliar. Berarti tiap harinya Jasa Marga mendapat sekitar Rp 20 juta,” kata Nurdin.

Frans menilai imbalan sebesar itu sebenarnya sangatlah kecil. ”Apalagi angka ini sudah termasuk biaya operasional kami selama mengelola Suramadu,” katanya.

Karena telah mendapatkan imbalan, seluruh pendapatan dari tiket Suramadu nantinya akan disetorkan secara penuh ke kas negara. Untuk pemeliharaan jembatan, umpamanya, Jasa Marga hanya dibebani kewajiban melakukan perbaikan ringan, sedangkan perbaikan besar masih ditanggung pemerintah pusat melalui Balai Besar Jalan Nasional.

l l l

Jejak sejarah pembangunan Suramadu terhitung panjang. Rancangan awal dibikin Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) pada 1992. Rancangan ini memakai tipe konstruksi gelagar prategang dengan bentang masing-masing 150 meter.

Ahmad Ghofar Ismail, Kepala Balai Besar Jalan Nasional di Surabaya yang memimpin proyek ini, menjelaskan konsep Suramadu oleh BPPT telah dimatangkan sejak 1992. Hanya, karena krisis moneter, pengerjaan jembatan ini dihentikan pada 1997. Pembangunan baru dilanjutkan setelah kondisi ekonomi Indonesia membaik pada 2002, melalui Keputusan Presiden Nomor 15 Tahun 2002.

Menurut Ismail, pada masa itu muncul pertimbangan tentang jalur pelayaran niaga yang akan melintas di bawah jembatan. Kapal-kapal ini membutuhkan ruang yang leluasa, tidak cukup hanya selebar 150 meter, jarak antartiang gelagar seperti yang dirancang BPPT.

Ada pula pertimbangan soal teknologi jembatan modern dan keindahan bentuk, sehingga diputuskan untuk menggantinya dengan model kabel penahan khusus pada bentang tengah jembatan. Dengan model ini, dilihat dari bawah jembatan, garis-garis vertikal akan tampak indah berjajar dengan satu sumbu titik yang rapi menjulang ke atas dengan lengkungan-lengkungan teratur. ”Ruang bebas horizontal jembatan ditingkatkan, dari semula hanya 150 meter menjadi 400 meter, dan ruang bebas vertikal 35 meter,” kata Ismail.

Dengan ruang seleluasa itu, semua kapal niaga dan kapal perang yang biasanya melintas di sekitar Tanjung Perak bisa melalui bawah jembatan Suramadu. Menurut Ismail, ketinggian rata-rata kapal 27 meter, sehingga hampir semua kapal bisa melalui kolong jembatan ini.

Perubahan itu hanya berlaku untuk bentang tengah. Sedangkan rencana panjang jembatan yang mencapai 5,4 kilometer dan lebar 30 meter tetap diper-tahankan sesuai dengan kajian BPPT. Untuk memberikan kenyamanan bagi pengendara, jembatan didesain memiliki kelandaian maksimum empat persen.

Suramadu memiliki dua causeway (jembatan penghubung), sisi Surabaya sepanjang 1.458 meter dan sisi Madura 1.818 meter, serta bagian bentang tengah mencapai 2.162 meter. Bentang tengah ini terbagi menjadi dua approach bridge (jembatan pendekat antara causeway dan bentang tengah) masing-masing 672 meter dan jembatan utama sepanjang 818 meter.

Untuk memperkuat bentang tengah, dipilihlah konstruksi pylon dengan ketinggian 146 meter dan beton berdiameter 2,4 meter. Di atas menara ini dipasang pengaman dan lampu untuk memberikan batasan dan tanda bahaya bagi penerbangan pesawat di sekitar jembatan. Selain itu, bentang tengah dilengkapi lampu navigasi laut berupa lampu merah dan hijau untuk memberi tahu kapal laut yang akan menyeberang mengenai ketinggian air laut. Bila malam tiba, deretan cahaya lampu itu membuat Suramadu seperti seuntai kalung permata yang melayang di atas Selat Madura.

Suramadu tak hanya berfungsi sebagai sarana transportasi. Jembatan itu juga didesain bisa mengalirkan air minum dan kabel, mulai dari kabel telekomunikasi hingga kabel listrik. Semua kabel dan saluran itu tersembunyi dalam pipa-pipa di bawah jalur sepeda motor. Karena peran Suramadu yang multifungsi, Presiden Yudhoyono berharap jembatan itu akan mengubah wajah Madura. ”Madura akan tambah maju dengan catatan jangan sampai mengganggu karakter masyarakat Madura yang religius dan beradat-istiadat tinggi,” katanya.

Tentu saja asal jangan sampai membuat orang seperti Sunyoto malah jadi sering menggerutu akibat terjebak macet di tengah jembatan.

Kurniawan, Rohman Taufiq (Surabaya)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus