MUSIM pancaroba ternyata bisa membuat orang bingung. Siang hari terasa panas kerontang, tapi malam hari tiba-tiba diguyur hujan lebat. "Permainan cuaca" semacam itu setidaknya berlaku di Jakarta, dan terkadang mengganggu irama hidup warga kota yang sibuk tak putus-putus, dari pagi sampai malam hari. Mereka yang tinggal di kawasan padat dan belum mampu memasang alat pengatur hawa (air conditioner) di rumahnya, tak dapat tidak, kepanasan. Akibatnya, warga penghuni rumah susun dan rumah sangat sederhana, pada malam hari, lebih suka bergerombol cari angin di luar. Bila udara panas semakin terasa kering, orang-orang pun menggerundel di sela-sela kelakar dan celoteh mereka. Itu saja. Tapi LSM Skephi bereaksi lebih keras. Pekan lalu Skephi mengirimkan selebaran ke media massa dan sejumlah instansi pemerintah, yang intinya menyesali kondisi suhu Jakarta. Menurut Skephi, kenaikan suhu Jakarta akhir-akhir ini diakibatkan oleh ketidakberesan perencanaan kota, seperti: makin banyaknya permukiman mewah, pusat pertokoan atau perkantoran, dan lapangan golf. Skephi juga menyebutkan, suhu Jakarta selama tiga tahun terakhir rata-rata meningkat 0,4 derajat Celsius -- per April 1994. Ditekankan oleh LSM yang tergolong vokal ini, bahwa udara di Jakarta semakin kering karena terjadi penurunan kelembapan 5,6 persen setiap tahun. Sedangkan curah hujan menurun 36 persen setiap tahun. Pendek kata, Jakarta makin panas. Data-data Skephi itu dibantah oleh Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG). Menurut catatan BMG, peningkatan suhu Jakarta selama 10 tahun terakhir tak sampai 0,1 derajat Celsius. "Jadi, yang dimaksud Skephi itu Jakarta sebelah mana?" tanya Paulus Agus Winarso, Kepala Sub-Bagian Ramalan dan Jasa Meteorologi BMG. Ahli cuaca ini malah berpendapat, adalah wajar bila suhu Jakarta terasa panas, sebab sekarang musim transisi -- dikenal juga sebagai musim pancaroba. Pada masa pergantian dari musim hujan ke musim kemarau ini, pola angin berubah. Kecepatan angin yang rendah menyebabkan tingkat kelembapan juga rendah. "Akibatnya, pada saat udara panas, rasanya gerah sekali," Paulus menjelaskan. Namun, Doktor Paulus membenarkan, kesalahan dalam perencanaan kota bisa mengakibatkan buruknya kualitas lingkungan hidup, termasuk suhu lokal. Suhu di Glodok, yang padat dan penuh dengan emisi gas CO dari kendaraan bermotor, tentu lebih panas daripada suhu kawasan Halim yang tak terlalu padat kendaraan. Menurut data BMG, pusat-pusat panas yang ada di Jakarta adalah sekitar Jakarta Kota, Tanjungpriok, Kemayoran, dan kantor Pusat BMG di daerah Kwitang. Suhunya rata-rata 27,5 derajat Celsius. Secara umum, Paulus juga membenarkan bahwa suhu di Jakarta semakin panas. Data di BMG menunjukkan bahwa dari grafik variasi suhu minimum selama 30 tahun di empat kota (Medan, Jakarta, Pasuruan, Biak) terlihat peningkatan 1,2 hingga 3,5 derajat Celsius. Hanya saja, selama 10 tahun terakhir, kenaikannya tidak sampai 0,1 derajat Celsius seperti yang dipaparkan oleh Skephi. Jakarta, diakui Paulus, memang paling tinggi kenaikan suhunya, yang terutama disebabkan oleh pesatnya pembangunan fisik. Di mana-mana terlihat gedung jangkung yang baru, jalan- jalan baru, motor dan mobil yang berjejal hampir di setiap penjuru. Di lain pihak, Indro Tjahjono, koordinator Skephi, mengkritik penggunaan kaca penyilau pada gedung bertingkat dan superblok. Katanya, pemantulan berantai dari gedung ke gedung telah menciptakan defraksi (penumpukan) cahaya, sehingga suhu udara meningkat di sentra-sentra tertentu. Indro juga menuding Pemerintah yang terlalu mengkomersialkan lahan kota dan mengorbankan daerah hijau yang mendatangkan keteduhan dan kenyamanan. Kekhawatiran Indro, menurut Paulus, bukan tak berdasar. Namun, bila hal tersebut dikaitkan dengan cuaca dan iklim perkotaan, maka dibutuhkan variabel pengukuran yang lebih beragam dan lebih akurat. "Suhu sifatnya fluktuatif, bisa berubah-ubah dalam jangka pendek. Untuk mengukur perubahan iklim, perlu data perubahan suhu selama 100 tahun," ujar Paulus lagi. Singkat kata, perubahan suhu Jakarta belum sampai ke tingkat yang mengkhawatirkan. Ini tentu sejauh polusi udara bisa dikurangi atau dikendalikan. Padahal, menurut majalah Newsweek edisi pekan lalu, Jakarta adalah satu dari tujuh kota di dunia dengan tingkat polusi udara tertinggi. Selain kaca penyilau, luasnya lahan yang tertutup aspal atau beton juga memperlambat pendinginan kota. Akibatnya, pada malam hari suhu Jakarta relatif lebih hangat dibandingkan suhu pedesaan, karena panas yang tersimpan oleh bangunan dan jalan akan dilepaskan pada malam hari. "Dilihat dari neraca energi, pengaruh yang ditimbulkan oleh kaca penyilau dan lahan aspal atau beton sama besarnya," kata seorang pengamat lingkungan. Bagaimana dengan isu pemanasan global? Menurut Paulus, masih terlalu dini untuk mencari kaitan antara naiknya suhu Kota Jakarta dengan efek rumah kaca yang berpengaruh pada perubahan iklim. Meski begitu, ia mengingatkan bahwa kini sudah saatnya mengikutsertakan ahli iklim perkotaan dalam perencanaan kota. Gagasan ini agaknya perlu diwujudkan kendati ahli meteorologi di Indonesia, seperti diakui Paulus, masih langka.Nunik Iswardhani
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini