Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Cak nur dan gus dur

Pemikiran Gus Dur (Abdurrahman Wahid) dan Cak Nur (Nurcholish Madjid)memiliki akses ke khazanah keislaman klasik sampai kontemporer. di sisi lain, pemikiran keduanya menimbulkan kesalahpahaman bagi umat islam yang tak punya idiom pengetahuan sosial.

21 Mei 1994 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI samping keduanya lahir di kota yang sama, Jombang, Jawa Timur, beberapa pemikiran Cak Nur (Nurcholish Madjid) dan Gus Dur (Abdurrahman Wahid) memiliki kesamaan serta pengaruh yang besar bagi perkembangan politik Islam di Indonesia. Secara intelektual, kedua orang ini memiliki akses ke khazanah keislaman klasik sampai yang kontemporer. Salah satu kelebihan mereka dibandingkan dengan ulama Islam pada umumnya ialah kemampuan dalam mengekspresikan pesan Islam dengan meminjam idiom dan aksioma ilmu pengetahuan sosial yang dipelajarinya dari literatur Barat. Cara ini, di satu sisi, menjadikan pemikiran mereka terasa aktual dan relevan dengan persoalan modernitas. Tapi, di sisi lain, mudah menimbulkan kesalahpahaman bagi umat Islam yang kurang akrab dengan idiom- idiom ilmu pengetahuan sosial. Pendekatan empiris-induktif, yang sering digunakan baik oleh Cak Nur maupun oleh Gus Dur, dan juga pendekatan hermeneutik dalam memahami doktrin Islam, tentu saja bisa dinilai menggoyang pemahaman yang telah mapan sebagai produk penalaran deduktif-normatif. Ciri utama dari pendekatan hermeneutik ialah penekanannya pada sikap kritis yang cenderung menggugat makna lahiriah dari sebuah teks keagamaan. Bagi hermeneut, teks hanya bisa ditangkap maknanya secara proporsional jika teks itu dikembalikan ke situasi historis yang melatarbelakangi kemunculannya, baru kemudian direkonstruksikan dan direfleksikan ke konteks sosio-historis yang bersifat kekinian. Dengan pendekatan ini, semua doktrin Islam yang merupakan produk historis lalu didekonstruksi dan direlativisasi, sehingga tak ada pemahaman yang serbafinal dan absolut. Pendekatan Cak Nur dan Gus Dur yang liberal ini tentu saja mudah menimbulkan kontroversi di kalangan umatnya. Filsafat hermeneutika memiliki aksioma bahwa semua ucapan dan tindakan manusia selalu bersifat purposive dan teleological. Maksudnya, di balik ucapan dan tindakan yang bersifat lahiriah dan temporer, senantiasa terdapat semangat dan arah yang hendak dituju, yang melewati performance yang dibatasi oleh ruang dan waktu. Karakter ini begitu kuat terdapat dalam semua bahasa kitab suci sehingga kitab suci mana pun selalu menuntut penafsiran ulang secara terus-menerus, dari generasi ke generasi. Di antara lontaran pemikiran dari Cak Nur dan Gus Dur yang barangkali membawa dampak besar bagi kehidupan keagamaan di Indonesia ialah gagasan mereka tentang depolitisasi ormas Islam. Sekularisasi yang ditawarkan Cak Nur pada tahun 1970-an dengan slogan "Islam Yes, Partai Islam No" secara politis- sosiologis substansinya tak jauh berbeda dengan gagasan Gus Dur agar NU kembali ke khitah 1926. Secara substansial, gagasan itu memiliki dua pesan yang menonjol, yaitu secara teologis hendak memelihara keluhuran ajaran Islam jangan sampai tereduksi, bahkan terselubungi, oleh jubah ideologi yang penuh muatan kepentingan kelompok. Kedua, sebagai konsekuensi logisnya, konsep umat (Islam) menjadi cair, tidak lagi dipersempit dengan bingkai afiliasi dan loyalitas terhadap partai politik (Islam). Bila disimak secara saksama, komitmen Cak Nur dan Gus Dur adalah pada nilai-nilai keislaman yang berorientasi kemanusiaan dan keindonesiaan. Kemenangan Islam bukannya diukur dengan kemenangan kelompok partai ataupun ormas Islam dalam menguasai jabatan birokrasi negara, melainkan pada kemenangan nilai dan moral Islam yang sesungguhnya juga apa yang diperjuangkan oleh pejuang kemanusiaan dari kelompok agama mana pun datangnya. Itulah sebabnya kedua cendekiawan ini selalu menekankan sikap inklusivisme keberagamaan. Hanya saja, karena Cak Nur dan Gus Dur mempunyai jemaah yang berbeda, implikasi dari depolitisasi mereka membawa dampak yang berbeda pula bagi para jemaahnya. Paradigma Cak Nur membuka peluang lebar bagi jajaran Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) untuk mengembangkan karier politik dan bisnis tanpa beban politik dan mitos mendirikan negara Islam. Kini forum bagi kiprah KAHMI lebih luas lagi dengan lahirnya ICMI. Sementara itu, dampak dari paradigma Gus Dur bagi jemaahnya ialah NU semakin terjauhkan dari panggung politik praktis dan bisnis. Pertanyaan yang muncul antara lain: mampukah jajaran KAHMI dan ICMI mempertahankan integritasnya sehingga tak terkooptasi dan terjerat kolusi, tapi konsisten dengan misinya sebagai pejuang moral untuk membangun republik ini? Pertanyaan serupa kepada NU: bisakah NU konsisten untuk menjadi ormas Islam yang benar-benar mandiri sehingga ia bisa memerankan kekuatan oposisi, sehingga demokrasi dan keadilan bisa tegak di negara ini? Bukankah agama merupakan kekuatan kritik yang ampuh? Tapi tidakkah agama juga cukup efektif dan memikat ketika dijadikan ornamen untuk kepentingan politik? *)Staf pengajar pascasarjana IAIN Jakarta

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus