Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Perceraian artis yang baru menikah dua atau tiga tahun sudah menjadi pengetahuan umum. Apalagi dengan maraknya acara infotainment di berbagai saluran televisi, aib keluarga itu terpampang nyata. Penyanyi dangdut Dewi Persik, 24 tahun, misalnya, dua kali pernikahannya kandas dengan cepat, semuanya di bawah lima tahun. Bahkan artis Cici Paramida, 37 tahun, hanya menjalani pernikahan selama satu setengah bulan.
Perceraian dini—usia pernikahan di bawah lima tahun—ternyata bukan monopoli selebritas. Hal ini merupakan fenomena umum. Menurut data Yayasan Kita dan Buah Hati, lembaga konsultan perkawinan dan hak asuh anak, tingkat perceraian di Indonesia adalah yang tertinggi di negara-negara Asia Pasifik, sekaligus yang tertinggi di antara negara Islam.
Yang menarik, dari data perceraian, tingkat perceraian dinilah yang meningkat. Menurut data Yayasan, yang bercerai umumnya pasangan dengan satu anak, atau ketika si istri sedang hamil pertama. Sekitar 65 persen gugatan cerai diajukan pihak perempuan. Salah satu contohnya Amalia, 25 tahun, seorang pegawai di sebuah departemen, yang bercerai setelah tepat dua tahun berumah tangga.
Melihat ”prestasi” itu, Yayasan Kita yang sering didatangi pasangan yang akan bercerai ingin mencari jawaban tentang perceraian dini tersebut. Yayasan dua kali menggelar seminar khusus membahas perceraian dini, di Bogor, Sabtu dua pekan lalu, dan di Bekasi dua bulan lalu. Senin pekan lalu, Yayasan juga melakukan diskusi terfokus dengan Departemen Agama, para kepala Kantor Urusan Agama DKI Jakarta, dan konsultan pernikahan.
Apa yang menyebabkan seseorang mudah memulai pernikahan tapi cepat mengakhirinya? Yayasan Kita, yang sudah mewawancarai mendalam pelaku perceraian dini, menyebut penyebab formal perceraian itu sangat umum, yaitu perselingkuhan, ketidakharmonisan rumah tangga, dan tekanan ekonomi.
Yang menarik adalah penyebab perilaku: mengapa pasangan yang baru menikah memutuskan cepat bercerai. Menurut Ketua Pelaksana Yayasan Kita dan Buah Hati Elly Risman, penyebabnya adalah perilaku sindrom Peter Pan dan Cinderella Complex.
Sindrom Peter Pan dijumpai pada pria yang tidak matang secara psikologis, sosial, dan seksual. Nama sindrom ini dicukil dari novel J.M. Barrie, Skotlandia, yang mengisahkan tokoh Peter Pan, seorang bocah lelaki nakal yang menolak kehilangan masa kanak-kanak dan emoh dewasa.
Pria Peter Pan tidak suka bekerja keras, terbiasa hidup nyaman tanpa beban, banyak bermain, menolak tanggung jawab dan komitmen. Mereka juga takut mengambil keputusan dan risiko, kurang percaya diri, bergantung pada orang lain. Adapun Cinderella Complex adalah sindrom berupa ketakutan tersembunyi untuk mandiri. Seperti tokoh Cinderella yang dibenci ibu dan dua saudara tirinya, wanita pengidap sindrom ini merindukan sosok lelaki yang melindungi dan menyayangi.
Jika Peter Pan menikahi Cinderella, bisa runyam. Si pria menginginkan istrinya seperti sosok ibu yang memanjakannya, sedangkan istri tidak menemukan pelindung. ”Inilah pemicu utama perceraian dini. Namun, jika hanya salah satu yang punya sindrom, perceraian dini tak terjadi,” Elly menjelaskan.
Amalia, misalnya, memimpikan membangun istana kecil bersama pasangannya. Tapi Amalia terkejut ketika pada usia setengah tahun perkawinan, dia menjumpai perilaku suaminya masih kekanak-kanakan. Si suami malas bekerja, tidak bertanggung jawab, menuruti kesenangan sendiri. Amalia adalah anak tunggal yang terbiasa mendapat perhatian melimpah. Dia mengaku tak sanggup merawat suaminya. Gugatan cerai diajukan Amalia. Istana mungil pun tak terbangun.
Nah, mengapa ada banyak pasangan Peter Pan dan Cinderella? Perilaku seperti itu tentu tak muncul dalam semalam. Sengaja atau tidak, para orang tualah yang membentuk mereka menjadi Peter Pan dan Cinderella. Menurut Elly, orang tua yang terlalu memanjakan anak, membela setiap ada kesalahan, melindungi berlebihan, dan menuruti permintaan mengakibatkan daya juang anak melemah. ”Pola asuh memang tak bisa disepelekan karena dampaknya panjang,” Elly menandaskan.
Harun Mahbub
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo