Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Jalan Pulang yang Panjang

Pemerintah menargetkan pelepasliaran orang utan selesai pada 2015. Pusat rehabilitasi kesulitan mendapatkan hutan untuk pelepasliaran.

18 Mei 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PADA Kamis pagi yang gerimis di pengujung bulan lalu, beberapa perempuan berusia baya menjalani rutinitas mereka. Berjas hujan dan bersepatu bot tinggi, para perempuan itu bergegas mendatangi sekolah tempat mereka mengajar.

"Ooiii.... Ayo bangun, ayo berangkat sekolah. Cepat, jangan nakal. Ayo, mau ke mana itu, jangan masuk kandang lagi. Ini bukan waktunya tidur kembali!" Teriakan-teriakan khas para pengasuh dari Borneo Orangutan Survival (BOS) Foundation Nyaru Menteng itu terdengar nyaring.

Sekolah hutan akan dimulai. Namun orang utan berusia 4-6 tahun itu bertingkah macam-macam. Ada yang langsung menuju hutan di belakang kompleks Nyaru Menteng, yang berjarak sekitar 100 meter. Ada juga yang berusaha bolos, menghindar dari pandangan pengasuh, kemudian lari kembali ke kandang atau naik ke kandang orang utan dewasa.

Di sekolah hutan itu, para pengasuh mengajari orang utan membuat sarang, makan sejumlah tumbuhan dan buah hutan, serta mengantisipasi predator. Sekolah ini diperlukan untuk kembali "meliarkan" orang utan itu sebelum nanti benar-benar dilepaskan di hutan belantara di Taman Nasional Bukit Batikap, Kabupaten Murung Raya, Kalimantan Tengah.

Di lahan seluas 62,5 hektare yang sebagian besar masih berupa hutan itu, terdapat 491 orang utan. Dari jumlah itu, orang utan yang sudah dilepasliarkan di Hutan Lindung Bukit Batikap, Kecamatan Seribu Riam, Kabupaten Murung Raya, baru 136 ekor. Jamartin Sihite, CEO Yayasan BOS, mengatakan yayasannya khusus melakukan konservasi orang utan. Yayasan BOS memiliki program reintroduksi orang utan di dua pusat rehabilitasi, yaitu di Samboja Lestari, Kalimantan Timur, dan di Nyaru Menteng, Kalimantan Tengah.

Saat ini di pusat rehabilitasi BOS terdapat 703 orang utan, yang terdiri atas 491 ekor di Nyaru Menteng dan 212 ekor di Samboja Lestari. Kebanyakan orang utan itu terpaksa tinggal di pusat rehabilitasi karena habitat mereka telah berubah menjadi lahan pertanian, juga karena dititipkan pemiliknya. "Sebagai pusat rehabilitasi, kami mendapat kewajiban merehabilitasi orang utan dan mengembalikan ke rumahnya," ujar Jamartin.

Yayasan BOS juga memiliki program konservasi hutan untuk orang utan di Mawas, Kalimantan Tengah. Kawasan Mawas merupakan sisa lahan gambut sejuta hektare. Dari lahan gambut seluas itu, ada 300 ribu hektare yang tidak dibuka. Di situlah sekitar 3.000 orang utan tinggal. "Kami menjaga agar kawasan Mawas tidak diganggu, agar orang utan tidak keluar dari kawasan itu," katanya.

Menurut Jamartin, sesuai dengan kesepakatan dalam pertemuan perubahan iklim di Bali pada 2007, pemerintah Indonesia pada 2015 sepakat mengembalikan semua orang utan yang direhabilitasi ke hutan. Sedangkan Yayasan BOS baru dapat melepasliarkan orang utan pada 2012 sejak dicanangkan pada 2007. "Cari hutan untuk pelepasliaran sangat susah," ujarnya.

Padahal, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya, orang utan dan hutan adalah milik negara. "Sehingga pelepasliaran orang utan merupakan tanggung jawab negara," ucap Jamartin. Dalam prakteknya, pengelola pusat rehabilitasi harus mencari hutan sendiri untuk pelepasliaran.

Menurut standar internasional dari International Union or Conservation of Nature, pelepasan kembali orang utan harus dilakukan di hutan dengan syarat tersedia cukup makanan dan tidak memiliki populasi orang utan cukup tinggi—lebih dari 0,2 individu per kilometer persegi.

Karena kesulitan melepaskan orang utan di Kalimantan Timur, Yayasan BOS membeli hak pengusahaan hutan (HPH). "Kami membeli konsesi hutan yang namanya hutan restorasi, bekas hutan HPH yang sudah ditinggal pemiliknya di Muara Wahau," ujar Jamartin. "Seandainya negara mendedikasikan kawasan hutan seluas 86 ribu hektare itu untuk pelepasliaran orang utan, tidak perlu kami beli lisensinya, kami akan senang sekali." Padahal, menurut dia, negara bisa menentukan HPH yang tidak dimanfaatkan lagi dan dialokasikan untuk orang utan. Kesulitan mendapatkan hutan yang memadai itulah yang membuat proses pelepasliaran orang utan menjadi panjang dan lama.

Di Kalimantan Tengah, Yayasan BOS mendapatkan area di Hutan Lindung Batikap untuk pelepasliaran, yang digunakan sejak 2012 sampai sekarang. Dari 136 ribu hektare lahan tersebut, Yayasan menggunakan 35 ribu hektare. Saat ini Yayasan BOS sudah melepaskan 136 orang utan. "Kami harus cari lahan lagi karena ada 491 orang utan yang siap dilepaskan di Kalimantan Tengah," kata Jamartin.

Bambang Dahono Adji, Direktur Konservasi Keanekaragaman Hayati Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, mengakui ada sedikit masalah di Kalimantan Timur. "Yayasan BOS berharap hutan produksi berubah status jadi kawasan konservasi. Hal ini karena di sana ada budaya orang utan sebagai buruan," ujarnya.

Bambang berjanji keinginan Yayasan BOS agar status kawasan hutan produksi dijadikan area pemanfaatan konservasi akan difasilitasi. "Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menyebutkan kewenangan pemberian HPH ada pada pemerintah daerah dan terkait dengan banyak institusi. Ini yang akan kami fasilitasi nantinya," ucapnya.

Kepala Badan Konservasi Sumber Daya Alam Kalimantan Tengah Nandang Prihadi mengatakan pelepasliaran orang utan di Kalimantan Tengah dilakukan di hutan lindung, taman nasional, atau suaka margasatwa. Sebagai alternatif, ada yang dilakukan melalui hak penguasaan hutan restorasi ekosistem (HPH-RE).

Proses perizinan HPH-RE sama dengan HPH konvensional. Cuma, sementara pada HPH izin dipakai untuk menebang kayu, pada HPH-RE izin justru buat merawat area hutan eks milik HPH konvensional. Dan, dalam HPH-RE, izin yang digunakan adalah izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu.

Di Kalimantan Tengah sendiri saat ini ada sejumlah tempat yang dijadikan lokasi pelepasliaran orang utan, seperti Taman Nasional Tanjung Puting di Kabupaten Kotawaringin Barat. Dari total luas 4215.040 hektare, area yang bisa digunakan untuk pelepasliaran orang utan sekitar 73 ribu hektare.

Ada juga di Hutan Lindung Bukit Batikap, Kabupaten Murung Raya. Dari luas area 406.839 hektare, area yang bisa untuk pelepasliaran orang utan sekitar 32 ribu hektare. Selain itu, di Suaka Margasatwa Sungai Lamandau di Kabupaten Lamandau. Dari luas area 56.584 hektare, area yang bisa digunakan untuk pelepasliaran orang utan mencapai 35 ribu hektare.

* * * *

Selain syarat kecukupan makanan dan kepadatan populasi, standar internasional mengatur agar pelepasliaran dilakukan di lokasi orang utan yang memiliki kesamaan genetik. Kerja sama Yayasan BOS dan Lembaga Eijkman menemukan variasi morfologi dan genetik pada populasi orang utan Borneo. Wuryantari Setiadi, peneliti DNA orang utan dari Eijkman, mengatakan, secara morfologi, orang utan kalimantan memiliki tiga subspesies, yaitu Pongo pygmaeus pygmaeus di barat laut Kalimantan (Taman Nasional Betung Karihun, Danau Sentarum, dan sekitarnya) serta utara Sungai Kapuas sampai timur Sarawak, Malaysia.

Kemudian Pongo pygmaeus wurmbii berada di barat daya Kalimantan, bagian selatan Sungai Kapuas, dan bagian barat Sungai Barito. Terakhir, Pongo pygmaeus morio berada di Sabah, Malaysia, dan bagian timur Kalimantan sampai jauh ke Sungai Mahakam.

Secara genetis, berdasarkan sekuens mitokondria, ada empat grup orang utan di Kalimantan, yaitu di Kalimantan Tengah, Kalimantan Tengah dan Barat Daya, Kalimantan Timur, serta Kalimantan Barat Laut, Sabah, dan Sarawak. "Sehingga ada tujuh subpopulasi orang utan Kalimantan. Dalam program konservasi harus memperhatikan geografi serta keanekaragaman genetik dan kelangsungan hidup orang utan tersebut," ujarnya.

Jamartin Sihite menambahkan, orang utan memiliki peran signifikan dalam perubahan iklim, khususnya dalam menyebarkan benih di hutan. "Orang utan menjelajah 100 hektare setiap hari dan menyebarkan biji," katanya.

Erwin Zachri, Karana Wijaya (Palangkaraya)


Sekolah Bayi hingga Mahasiswa

Sejak diserahkan ke pusat rehabilitasi, seekor orang utan harus menjalani sejumlah tahapan. Menurut Monterado Fridman, Koordinator Divisi Komunikasi dan Edukasi Yayasan BOS Nyaru Menteng, orang utan pendatang baru harus menjalani prosedur rutin karantina serta pemeriksaan kesehatan fisik dan psikologis. Termasuk pengecekan darah, untuk memastikan apakah ia mengidap penyakit.

"Pengecekan ini penting karena banyak orang utan yang diselamatkan telah terjangkit penyakit manusia yang biasanya tidak ditemukan di alam liar," ujar Monterado. Berangkat dari situlah proses rehabilitasi kemudian dimulai. Pada tahapan ini, orang utan diajari membuat sarang, memilih pakan alami, dan menghindar dari pemangsa alami agar nanti bisa bertahan hidup saat dilepasliarkan. Proses ini disebut baby school.

Kemudian tibalah saatnya untuk ikut "sekolah hutan", yang berlangsung setiap hari bersama pengasuh orang utan. Mereka menghabiskan waktu di hutan untuk belajar mulai pukul 07.00 hingga 16.00. "Proses ini berlangsung lima-tujuh tahun, bahkan ada yang sampai sepuluh tahun, tergantung tingkat kemajuan dan kepandaian orang utan," kata Monterado.

Setiap pagi, para pengasuh orang utan lebih dulu membawa rombongan orang utan berusia 4-6 tahun untuk masuk ke sekolah hutan. Setelah 15 menit, berikutnya giliran orang utan berusia 1-3 tahun. "Mereka tidak bisa digiring bersamaan ke dalam hutan karena nanti yang kecil akan terpengaruh tingkah laku orang utan yang lebih dewasa," ujar Monterado.

Bila orang utan yang masuk ke Nyaru Menteng masih sehat dan berperilaku liar, ia akan dipindahkan ke area yang aman dan terproteksi. "Namun yang sulit itu apabila yang tadinya pernah dipelihara manusia dan diserahkan sukarela atau disita BKSDA (Balai Konservasi Sumber Daya Alam). Itu yang rehabilitasi waktunya bisa 7-10 tahun tergantung lamanya ia dipelihara manusia," ucapnya. "Semakin lama dipelihara manusia, akan semakin lama dilakukan rehabilitasi."

Pendidikan yang cukup melelahkan berakhir apabila orang utan dianggap telah semi-liar. Mereka akan ditaruh di pulau pra-pelepasliaran, yaitu Pulau Kaja, Pulai Bangamat, Pulau Palas, dan Pulai Hampapak. "Di sini istilahnya kalau sekolah itu sudah mahasiswa dan tinggal menunggu lulus saja. Dan nanti, bila perkembangannya semakin maju, mereka kami lepasliarkan di Hutan Lindung Bukit Batikap di Kabupaten Murung Raya, Kalimantan Tengah," ucap Monterado.

Orang utan yang akan dilepasliarkan harus memenuhi beberapa persyaratan: sehat dari segala jenis penyakit menular, sudah mempunyai kemampuan untuk bertahan hidup liar, serta mampu mencari makan, membuat sarang sendiri, dan bertahan hidup dari gangguan predator. "Orang utan yang cacat anggota tubuhnya, buta, dan menderita cacat bawaan atau cacat permanen akibat ditangkap, tidak bisa dilepasliarkan," katanya.

Karana Wijaya (Palangkaraya)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus