Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Resep Tua Mengatasi Perlambatan Ekonomi

18 Mei 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Muhammad Chatib Basri*

"Yang paling sulit bukanlah melahirkan ide baru, melainkan bagaimana meninggalkan ide lama, yang telah menguasai setiap sudut benak kita".

Kalimat tua itu ditulis John Maynard Keynes, 13 Desember 1935, di Cambridge yang basah dan dingin. Walau hampir 80 tahun lalu, gaungnya masih terasa sampai kini. Terutama ketika Indonesia mulai cemas terhadap perlambatan pertumbuhan ekonomi.

Minggu lalu, Badan Pusat Statistik melaporkan: ekonomi Indonesia hanya tumbuh 4,7 persen dalam triwulan I 2015. Sebenarnya pertumbuhan sekitar 5 persen, dalam situasi dunia seperti ini, tidaklah terlalu buruk. Kita mencatat bahwa negara-negara penghasil komoditas dan barang tambang mengalami perlambatan ekonomi yang amat tajam. Pada triwulan IV 2014, misalnya, Afrika Selatan hanya tumbuh 1,3 persen, Brasil tumbuh -0,25 persen, dan Rusia tumbuh 0,4 persen. Namun saya kira kita juga harus jujur: pertumbuhan ekonomi 4,7 persen terlalu rendah. Angka ini hanya sedikit lebih tinggi dari angka pada 2009 (4,6 persen), ketika krisis keuangan global terjadi dan pertumbuhan ekonomi dunia negatif. Saat ini situasi dunia tak seburuk 2008-2009. Karena itu, pertumbuhan ekonomi 4,7 persen ini perlu diantisipasi dengan cermat. Bagaimana kita menjelaskan ini? Apa yang harus dilakukan?

Kita harus menempatkan Indonesia dalam konteks global. Pemulihan ekonomi dunia memang terjadi, tapi tak merata. Di Asia, Cina mengalami perlambatan yang signifikan. Cina diperkirakan masuk era normal baru dengan pertumbuhan ekonomi 6-7 persen. Cina adalah mitra dagang penting kita, akibatnya ekspor Indonesia anjlok. Bukan hanya itu, Cina adalah salah satu konsumen terbesar untuk barang tambang dan komoditas. Perlambatan Cina mengakibatkan harga komoditas turun.

Situasi ini diperburuk oleh turunnya harga minyak. Padahal kita tahu, selama 10 tahun terakhir, ada korelasi positif antara harga minyak dan komoditas. Jika harga minyak turun, permintaan terhadap komoditas dan tambang sebagai energi alternatif juga turun. Akibatnya, harga komoditas dan tambang akan turun. Bisa dibayangkan akibatnya bagi Indonesia: sekitar 60 persen dari ekspor Indonesia adalah barang-barang yang erat kaitannya dengan komoditas dan tambang. Ekspor kita akan terpukul!

Pertanyaan berikutnya: siapa produsen barang tambang dan komoditas di Indonesia? Luar Jawa. Dalam sepuluh tahun terakhir, kita menyaksikan bom komoditas telah mendorong peningkatan konsumsi di luar Jawa. Kita melihat fenomena "kelompok kaya baru" akibat dampak positif dari meningkatnya pendapatan (positive wealth effect). Permintaan mobil, sepeda motor, semen, dan barang retail meningkat dalam periode itu. Kini yang terjadi adalah sebaliknya (negative wealth effect). Itu sebabnya, konsumsi mulai menurun. Kita melihat, misalnya, angka penjualan semen di luar Jawa turun signifikan, begitu juga mobil, sepeda motor, dan yang lain. Negative wealth effect menurunkan daya beli.

Pada saat yang sama, Jawa belum bisa sepenuhnya melakukan transformasi untuk menumbuhkan kembali industri manufaktur. Akibatnya, secara keseluruhan (agregat) permintaan melambat. Hal ini tecermin dari melambatnya konsumsi pada triwulan I 2015. Kita juga tahu perlambatan ekonomi global, khususnya Cina, menghantam ekspor kita. Selain itu, situasi defisit dalam transaksi berjalan dan fluktuasi rupiah tak memberi ruang terlalu banyak untuk penurunan bunga. Situasi makin ruwet karena Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan 2015 baru disetujui awal tahun, yang tentunya membuat belanja belum sepenuhnya bisa berjalan. Itu sebabnya ekonomi kita hanya tumbuh 4,7 persen.

Lalu apa yang harus dilakukan? Kita mendengar desakan agar suku bunga diturunkan. Tujuannya baik: agar ekonomi kembali bergerak. Apakah ini resep utamanya? Di sini saya ingin mengingatkan apa yang ditulis Keynes hampir 80 tahun lalu itu. Dalam situasi permintaan melemah, yang perlu dikhawatirkan adalah kepercayaan dan ekspektasi dunia usaha. Keynes secara khusus menulis: keputusan investasi akan sangat ditentukan oleh ekspektasi keuntungan. Jika permintaan melemah, dunia usaha tak punya insentif untuk meningkatkan produksinya. Ini terlihat dari anjloknya impor—yang sebagian besar terdiri atas impor barang modal dan bahan baku.

Konsisten dengan itu, kita juga melihat purchasing manager index (PMI) di Indonesia turun. Jika perusahaan menurunkan permintaan bahan baku dan barang modal, itu artinya perusahaan punya ekspektasi bahwa dalam beberapa bulan ke depan ia tak perlu menambah produksi. Alasannya: inventori atau stoknya masih banyak—karena tak laku. Makin lama dunia usaha menahan ekspansinya, makin lemah permintaan. Kian lemah permintaan, dunia usaha akan semakin menunda investasinya. Gerakan spiral ke bawah ini bisa terus berlanjut. Lingkaran setan ini harus dihentikan, mumpung situasi masih bisa dikendalikan. Penting dicatat, dalam situasi seperti ini, walau bunga diturunkan atau kredit ditambah, dunia usaha tak serta-merta akan menambah produksi.

Benarkah begitu? Tengok saja data Bank Indonesia tentang perilaku kredit. Pada triwulan I 2015, data Bank Indonesia menunjukkan bahwa permintaan pinjaman baru turun cukup tajam. Selain itu, kontraksi dalam kredit konsumsi dan modal kerja telah mengakibatkan menurunnya permintaan kredit baru. Tentu terlalu pagi untuk menyimpulkan. Bisa saja hal ini terjadi karena faktor siklus atau dunia usaha belum memulai aktivitas secara penuh. Namun, gejala penurunan PMI, impor barang modal dan bahan baku bisa jadi sinyal awal bahwa permintaan kredit akan melemah. Di sini kita tahu: penurunan bunga hanya efektif jika memang ada permintaan. Itu sebabnya peran belanja pemerintah menjadi penting. Itulah esensi resep Keynes.

Saat ini kita telah mendengar rencana pemerintah menggenjot belanja pemerintah agar ekonomi bergerak. Ini langkah yang tepat. Namun kita perlu memahami secara rinci jenis belanja apa yang dibutuhkan. Dalam situasi seperti ini, alokasi harus difokuskan pada belanja pemerintah yang dapat meningkatkan daya beli. Bagaimana dengan infrastruktur? Jelas kita sangat membutuhkan infrastruktur. Persoalannya: dalam enam bulan sampai satu tahun pertama, pembangunan infrastruktur mungkin akan berfokus pada pengurusan izin, pembebasan lahan, atau persiapan proyek, belum menciptakan daya beli dan lapangan kerja. Padahal kita ingin agar permintaan segera naik.

Karena itu, pemerintah harus memberikan stimulus fiskal kepada masyarakat yang memiliki kecenderungan mengkonsumsi (marginal propensity to consume) yang tinggi. Itu artinya peningkatan pendapatan kelompok menengah-bawah. Jika mereka memperoleh penghasilan, konsumsi dalam negeri dapat didorong. Caranya? Perpanjang dan perluas program seperti cash transfer atau cash for work dengan proyek padat karya. Misalnya pembangunan jalan desa, pembersihan kali, atau yang lain. Nilainya tak terlalu besar, tak akan mengganggu defisit transaksi berjalan, dan tak akan mengganggu defisit anggaran. Namun multiplier-nya besar. Baru setelah persiapan proyek infrastruktur dan pembebasan lahan rampung, penciptaan lapangan kerja dapat didorong melalui pembangunan infrastruktur.

Apa lagi? Pada 2013, pemerintah membuat kebijakan: perusahaan yang tak melakukan pemutusan hubungan kerja akan mendapatkan insentif pajak. Dengan kebijakan ini, orang tetap bekerja dan daya beli terjaga. Kebijakan ini dulu disebut sebagai keep buying strategy. Tak ada yang baru, ini hanyalah implementasi dari resep Keynes yang ditulis 80 tahun lalu. Dan, tentu, yang tak kalah pentingnya adalah menjaga inflasi.

Perlukah stimulus untuk industri? Bisa saja, tapi mungkin bukan langkah pertama. Mengapa? Bila stimulus utama diberikan kepada industri (sisi supply), produksi akan meningkat. Tapi apa gunanya ekspansi jika tak ada pembeli? Perusahaan akhirnya akan merugi, PHK terjadi. Bila ekspektasi keuntungan menurun, investasi tak akan dilakukan. Itulah kritik Keynes yang paling tajam terhadap hukum Say, yang percaya bahwa supply akan menciptakan permintaan. Stimulus industri adalah stimulus pada produksi atau supply.

Keynes menunjukkan, pada masa resesi—dalam jangka pendek—hukum Say tak berjalan. Yang pertama kali diperlukan adalah mendorong permintaan. Setelah itu, produksi akan merespons dan kredit akan mendorong ekonomi. Dan, ingat, bukan tidak mungkin penerimaan pemerintah menurun karena perlambatan ekonomi dan penurunan harga komoditas, sehingga defisit membesar. Di sini pemilihan prioritas stimulus dan pembiayaan jadi penting. Inilah yang akan membuat stimulus menjadi efektif, seperti yang ditulis Keynes 80 tahun lalu di Cambridge yang dingin dan basah. l

Mantan Menteri Keuangan, Pendiri CReco Research

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus