Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hari baru terang tanah. Tajuk hutan masih berwarna abu-abu seperti sebuah film monokromatik. Dengan enggan, Sarjuni, peneliti orang utan World Wildlife Fund, dan dua relawan dari Universitas Mulawarman, Atut dan Hendri, meninggalkan flying camp. Tiga hari mereka berkemah di sana, tak ada laporan yang bisa dibawa pulang. Ini misi yang gagal.
Mereka datang untuk mengamati orang utan. Namun, hingga misi berakhir, tak ada satu pun hewan itu yang terlihat. Padahal mereka sudah menemukan bekas sarangnya. Di hutan itu pun sedang musim buah—satu-satunya hari baik yang dikenal orangutan.
Pukul 07.00 waktu setempat, mereka akhirnya tiba di tepi Sungai Pari. Kamp utama sekitar 200 meter lagi. Tiba-tiba mereka berhenti. Jalur pulang terpotong jejak kaki misterius: bertapak besar, berkuku tiga dengan ujung meruncing.
Mereka tak tahu itu jejak hewan apa. Menurut prosedur, mereka mengukur dan mendokumentasikan jejak tersebut untuk dianalisis di kantor. Saat itu, mereka masih merasa gagal.
Beberapa hari kemudian, kantor WWF Indonesia Program Kutai Barat hingga markas besarnya heboh. Ahli badak WWF Indonesia, Ridwan Setiawan, mengenali jejak tersebut sebagai tapak kaki badak.
Inilah bukti teranyar bahwa hewan bercula ini belum punah dari Kalimantan. Tentu saja ini menjadi harapan baru bagi konservasi hewan berkulit tebal tapi pemalu itu. Soalnya, saat ini hanya tersisa sekitar 200 ekor badak Sumatera dan 51 ekor badak Jawa di seluruh dunia.
Toh, itu bukan kabar pertama tentang badak di Kalimantan. Tom Harrison, naturalis Inggris, pernah melaporkan keberadaan hewan yang pelit hamil ini di wilayah pegunungan Kalimantan, termasuk di hulu Sungai Bahau di Kalimantan Timur, pada 1946.
Peneliti Belanda, J. Witkamp, juga melaporkan ihwal hewan tersebut dalam artikel berjudul "Wildreservaten in Koetai" yang diterbitkan di jurnal Verslag van de Nederlandsch Indische Vereeniging tot Natuurbescherming pada 1932. Ia menyebutkan badak dijumpai di lereng pegunungan di sepanjang perbatasan Tidoengsche Landen, Boelongan, Apo-Kajan, Beraoe, West Koetia, Pasir, Tandjong, dan Kota Waringin.
Populasinya, tulis Witkamp, sangat rendah akibat perburuan. "Mereka telah menghilang dari Martapoera," katanya.
Menurut Erly Sukrismanto, Kepala UPTD Balai Taman Nasional Kutai, dokumen Witkamp merupakan salah satu rujukan saat pemerintah menetapkan kawasan hutan konservasi Taman Nasional Kutai. Di sana memang masih dilaporkan ada jejak badak hingga awal 1980-an. Namun, sejak 1983, badak di Taman Nasional Kutai itu dinyatakan sudah punah. "Akibat kebakaran hutan besar-besaran di dalam kawasan," ujarnya.
Cerita tentang badak di tanah Dayak muncul lagi pada 2002. Kisahnya diendus Chandra Dewana Boer, peneliti satwa liar dari Universitas Mulawarman. Ia bahkan berhasil menemukan satu gigi rahang bawah kiri badak yang dikoleksi seorang warga. "Mereka bercerita bahwa mereka pernah membunuh badak betina karena disangka babi dan memakan dagingnya beÂramai-ramai," katanya.
Thus, WWF harus mencari badak tersebut, atau temuan itu kembali sekadar menjadi cerita. Dua puluh hari kemudian, pada 7 Februari, lembaga berlogo panda itu mengirim tim yang lebih lengkap ke hutan. Terdiri atas 16 orang, selain peneliti WWF, tim menyertakan petugas dari Dinas Kehutanan Kutai Barat, peneliti dari Universitas Mulawarman, dan penduduk lokal. Selama sepuluh hari mereka mengubek-ubek hutan tersebut.
Sayangnya, hasilnya nihil. Namun bukan berarti ekspedisi itu sia-sia. Tim menemukan kubangan yang diduga kuat merupakan tempat badak biasa mandi lumpur, sekitar dua kilometer dari jejak pertama. Semuanya ada lima kubangan, yang terbesar berdiameter lima meter. "Badak harus berkubang untuk menjaga suhu tubuhnya tetap dingin dan menangkal serbuan serangga serta parasit," ujar Chandra.
Jejak badak terserak di kubangan terbesar. Pada beberapa bagian dinding kolam, misalnya, ada banyak goresan. Menurut Chandra, goresan ini dibuat badak ketika ia "mengasah" cula sembari berkubang.
Goresan cula juga terlihat di pohon-pohon di sekitar kolam. Pohon tersebut juga kotor oleh lumpur, hingga ketinggian sekitar satu meter. "Badak setelah berkubang biasa menggesekkan badannya ke pohon," kata Chandra.
Agaknya, kubangan itu menjadi kolam favorit. Soalnya, di sekitarnya makanan cukup melimpah. Dari inventarisasi, ada 30 jenis tumbuhan yang bisa dimakan badak di sana.
Ada lebih banyak tapak kaki badak ditemukan di sekitar kolam. Semuanya ada tiga ukuran: 17, 20, dan 22 sentimeter. Menurut Ridwan, tapak sepanjang 22 sentimeter diperkirakan berasal dari badak bertinggi 110-130 sentimeter. "Bobotnya diperkirakan 500-550 kilogram," ujarnya. Tapi spesies badak yang mana?
Di Indonesia ada dua spesies badak: badak Sumatera (Dicerorhinus sumatrensis) dan badak Jawa (Rhinoceros sondaicus). Kedua badak mungkin saja pernah hidup di Kalimantan. Nun 250 ribu tahun lalu, kala era Pleistosen, Semenanjung Malaysia dan Sumatera, tempat asal Badak Sumatera, dan Jawa, tempat hidup badak Jawa, menyatu dengan Kalimantan. Anda mengenalnya di buku geografi kelas VI sebagai Paparan Sunda. Berakhirnya era glasial sekitar 10-17 ribu tahun lalu mengakibatkan keempat daratan itu terpisah lautan.
Tapi, menurut Yuyun Kurniawan, aktivis WWF Indonesia Program Kutai Barat, jejak badak itu kemungkinan besar adalah spesies badak Sumatera. Ia punya bukti. Pada dinding kolam tidak hanya terdapat goresan bekas cula, tapi juga jejak rambut. "Seperti dinding yang dikuas," kata Yuyun. Ini sangat khas badak Sumatera, karena empat jenis badak lain, termasuk badak Jawa, tidak berambut.
Ridwan menunjukkan indikasi lain. Ujung kuku pada jejak kaki itu meruncing. Ini pun khas badak Sumatera. Bukti lainnya adalah adanya bekas pelintiran pada tumbuhan yang menjadi pakan badak itu. "Pelintiran adalah salah satu perilaku yang khas pada badak Sumatera," ujar Ridwan.
Bibir atas badak Sumatera dan badak Jawa menyerupai belalai gajah berukuran mini. Bibir atas badak Sumatera lebih pendek ketimbang badak Jawa, tapi keduanya sama-sama prehensil alias bisa menggenggam—berfungsi seperti jari pada primata. Bibir atas itu digunakan untuk memegang dan menarik dedaunan yang akan dimakan.
Nah, ada perbedaan perilaku saat makan di antara kedua sepupu itu. Badak Sumatera selalu memelintir atau memutar lebih dulu dahan, ranting, atau daun yang akan dimakannya. Badak Jawa lebih "sopan". "Badak Jawa hanya memegang, menarik, dan memangkas pakan," kata Ridwan.
Keberadaan badak Sumatera di Kalimantan sebelumnya juga sudah dipastikan WWF Malaysia pada 2007 di Sabah. Identifikasi dipastikan karena badak itu terpotret kamera. Badak tersebut dari spesies Dicerorhinus sumatrensis harrissoni, satu dari tiga subspesies badak Sumatera.
Toh, bisa jadi badak Kalimantan akan memiliki nama sendiri. Ridwan mencontohkan orang utan Kalimantan dan Sumatera dulunya diidentifikasi sebagai spesies yang sama (Pongo pygmaeus). Kemajuan teknologi genetika, morfologi, dan budaya menjadikan kedua orang utan sebagai spesies yang berbeda. "Ini bisa saja terjadi pada badak Kalimantan," ujarnya.
Mahardika Satria Hadi, Firman Hidayat (Samarinda)
Badak Sumatera
(Dicerorhinus sumatrensis)
Lokasi Persebaran Badak
- Taman Nasional Leuser
- Taman Nasional Bukit Barisan Selatan
- Taman Nasional Way Kambas
- Sabah, Malaysia
- Kabupaten Kutai Barat (lokasi baru)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo