Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Antara Puisi dan Darah

Sutradara Korea Selatan membuat film Hollywood pertamanya dengan puitis. Cara lain untuk membuat film thriller.

14 April 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

STOKER
Sutradara:Park Chan-wook
Produser:Ridley Scott, Tony Scott, Michael Costigan
Skenario:Wentworth Miller
Pemeran:Mia Wasikowska, Matthew Goode, Nicole Kidman

Sadisme bagaimanapun adalah visual yang mengerikan. Tapi ada beberapa sutradara yang berhasil menahan penonton di kursi bioskop hingga akhir film untuk menyaksikan muncratan darah. Kita mengenal Quentin Tarantino yang berhasil membuat cerita diselingi adegan banjir darah yang brutal melalui Pulp Fiction, Kill Bill Vol. I dan II, Inglorious Basterds, atau Django Unchained. Dia bisa menggeser lebih jauh batas brutalitas dan storytelling yang asyik.

Park Chan-wook punya cara lain dalam menghadirkan film yang penuh warna merah seperti Stoker. Ia memilih puisi.

Sutradara Korea yang baru berkarier di Hollywood ini membuka filmnya dengan cara yang puitis. Gadis cantik berambut pirang menyeberang jalan. Bajunya berkibar oleh angin musim panas dan dia berbicara tentang arti menjadi dewasa. "Seperti bunga yang tak memilih warna, kita tak dimintai pertanggungjawaban akan nasib. Sekali kau menyadari ini, kau akan terbebas. Inti menjadi dewasa adalah menjadi merdeka."

Gadis itu, India Stoker (Mia Wasikowska), baru berusia 18 tahun dan dikejutkan oleh banyak hal: ayah yang mati di hari ulang tahun, ibu (Nicole Kidman) yang gampang mabuk dan sulit berkabung, serta Paman Charlie (Matthew Goode) yang tiba-tiba muncul dari pengembaraan. Paman muda yang keren itulah yang kemudian membangkitkan hal-hal terlarang dalam diri India. Hal-hal yang menjadikan Stoker sebagai film psychological thriller.

Park memang mahir membuat film seperti ini: thriller yang tetap menekankan psikologi para karakter. Maklum, film yang mampu mengubahnya dari kritikus film menjadi sutradara adalah Vertigo—psychological thriller dari Alfred Hitchcock. Untuk urusan ini, Tarantino memberi pujian. Menurut Tarantino, film thriller garapan Park, Joint Security Area (2000), adalah satu dari 20 film terbaik yang pernah dibuat dalam 20 tahun: 1992-2012.

Sebagai juri Festival Film Cannes 2004, Quentin Tarantino berkeras agar film Oldboy (mystery thriller) menjadi pemenang Palm d'Or—penghargaan tertinggi yang tahun itu akhirnya jatuh ke Fahrenheit 9/11 dari Michael Moore. Film Park menempati posisi kedua dengan mendapatkan Grand Prix.

Kejagoan Park itu juga kita lihat dalam Stoker. Dia mampu membuat film berlumur darah ini menjadi puitis. Modalnya memang ada. Skenario yang ditulis oleh Wentworth Miller—sebelumnya dikenal karena memerankan Michael Scofield dalam serial Prison Break—memang sudah indah. Ia menjadikan India sebagai remaja yang memiliki gejolak jiwa mirip penyair Sylvia Plath.

Park memolesnya dengan pengadeganan dan sinematografi yang berbeda dari kebanyakan sutradara Hollywood. Terutama soal sudut kamera. Di ruang sempit, kadang kamera diletakkan di atas atau di bawah kepala pemain. Sudut pengambilan yang tidak biasa ini kerap menimbulkan bentuk tubuh yang sedikit tidak proporsional.

Park juga terkadang meminta agar kamera berada di belakang kepala hingga foreground utamanya adalah tengkuk aktor. Yang sering ia lakukan adalah meng-close-up satu obyek begitu dekat hingga membuang bagian terpenting benda itu—seperti kepala pada tubuh—keluar dari frame. Mirip pendekatan dalam fotografi modern. Untuk urusan sinematografi yang tak lazim di Hollywood ini, mau tak mau dia membawa rekannya dari Korea: Chung Chung-hoon.

Seperti layaknya puisi, Park kerap bermain simbol. Misalnya ia memakai laba-laba sebagai hasrat seksual yang pelan-pelan menelusup ke dalam rok India. Untuk menggambarkan pertambahan usia, ia memakai sepatu. Park sempat pula tak menyorot aktor yang sedang berbicara, tapi mengalihkan kamera ke arah bayangan kepala yang jatuh di dinding.

Gabungan itu semua membuat film ini tidak hanya bercerita, tapi juga membuka diri kita untuk merasakan banyak interpretasi. Seperti perkataan India tentang indra penglihatan dan pendengarannya yang begitu tajam. "These senses are the fruits of a lifetime of longing, longing to be rescued, to be completed. Just as the skirt needs the wind to billow."

Qaris Tajudin

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus