Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Blur: BAGAIMANA MENGETAHUI KEBENARAN DI ERA BANJIR INFORMASI
Pengarang: Bill Kovach dan Tom Rosenstiel
Penerbit: Dewan Pers, Jakarta, cetakan pertama November 2012
Tebal: xi + 225 halaman
SEPEKAN setelah penjara Cebongan, Sleman, Yogyakarta, diserbu dan empat tahanannya ditembak mati pada akhir Maret lalu, publik bagai tenggelam dalam lautan kasak-kusuk. Kabar gelap berseliweran di Facebook dan Twitter. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, polisi, dan tentara berbantahan di media umum. Semua orang punya teori dan versi masing-masing. Pendeknya, banjir informasi menyerbu khalayak dari banyak penjuru.
Luapan informasi di era digital ini memang tak mungkin dibendung. Gejala semacam ini sudah ditengarai bakal terjadi oleh dua jurnalis Amerika Serikat, Bill Kovach dan Tom Rosenstiel. Pangkalnya adalah pesatnya perkembangan jaringan maya (Internet), telepon pintar, televisi, dan media online, yang semuanya menawarkan informasi. Masalahnya, tak semua menyediakan kebenaran. Inilah motivasi utama mereka dalam menulis buku ini.
Lewat buku yang pertama kali diterbitkan Bloomsbury pada 2010 ini, Kovach—mantan kepala biro New York Times di Washington—dan Rosenstiel, jurnalis kawakan yang pernah bekerja untuk majalah Newsweek, telaten membimbing kita menemukan kepercayaan diri di tengah banjir warta. Mereka menekankan pentingnya publik bersikap skeptis dalam menyerap informasi.
Dengan lugas, kedua penulis yang sebelumnya sudah dikenal dengan buku klasik Sembilan Elemen Jurnalisme ini menjelaskan bahwa pembaca di era digital harus menjadi editor untuk dirinya sendiri. Beragamnya pilihan informasi yang tersedia di Internet, misalnya, menuntut publik untuk cerdas menemukan fakta di tengah tumpukan informasi yang sejatinya hanya lautan sampah.
Duo ini meminta khalayak menanyakan enam hal pada diri sendiri ketika mengkonsumsi informasi. Mari kita catat, antara lain apakah informasi itu lengkap, siapa sumbernya, mengapa kita harus percaya pada sumber itu, dan adakah bukti yang disertakan. Melakukan verifikasi semacam ini akan membuat Anda skeptis saat menghadapi berita.
Buku ini juga menyimpulkan ada beberapa jenis jurnalisme yang berkembang di era digital. Tak semua ideal. Ada jurnalisme verifikasi, jurnalisme pernyataan, jurnalisme pengukuhan/afirmasi, dan jurnalisme partisan atau kepentingan. Yang paling kredibel tentulah jurnalisme verifikasi. Berita yang dihasilkan dari proses ini paling mendekati kebenaran. Sedangkan ketiga jenis jurnalisme yang lain cenderung membuat publik kehilangan kesempatan memahami makna peristiwa atau topik yang diberitakan.
Ketika berita hanya merupakan kumpulan pendapat, khalayak batal mendapatkan informasi substansial. Apalagi jika narasumber yang dipilih hanya untuk meneguhkan persepsi tertentu. Meski saling sahut, saling maki, dan saling cerca antarsumber kadang menarik diikuti, pada dasarnya tidak ada fakta atau kebenaran yang terverifikasi.
Buku ini menjadi kian menarik tak hanya karena topiknya, tapi juga cara penuturannya yang mengalir. Versi terjemahan bahasa Indonesianya amat terasa berusaha menjaga otentisitas gaya penulisan Kovach dan Rosenstiel. Dua wartawan Indonesia, Imam Shofwan dan Arif Gunawan, menghabiskan waktu hampir dua tahun untuk menyelesaikan penerjemahan buku ini.
Beberapa kisah pengalaman jurnalis yang disisipkan pada awal setiap bab juga menjadi nilai lebih. Ada kisah wartawan Chicago Tribune, John Crewdson, yang melacak mengapa maskapai penerbangan Amerika tidak menyediakan alat pacu jantung di atas pesawat. Padahal sekitar 360 penumpang meninggal di atas pesawat karena serangan jantung setiap tahun.
Ada kisah Seymour Hersh, wartawan investigatif legendaris yang memutuskan tidak mempublikasikan temuannya mengenai penyiksaan tahanan kasus terorisme oleh agen CIA. Sebab, hanya ada satu sumber tangan pertama yang bersedia diwawancarai. Hersh tidak menyesal meski belakangan hasil reportasenya terbukti. Cerita-cerita dari para jurnalis ini seperti menjadi patokan standar jurnalisme verifikasi yang idealnya dilakukan semua media.
Pada bab terakhir buku ini, Kovach dan Rosenstiel menawarkan konsep jurnalisme baru untuk media dan wartawan di era digital. Ketimbang berfokus pada fungsi pelaporan berita semata, media bisa menjadi lebih relevan di abad informasi ketika menjadi pusat pengetahuan yang terus tumbuh bersama khalayaknya.
Gagasan ini pernah dicoba Google bekerja sama dengan New York Times dan Washington Post pada 2009. Mereka menggabungkan kemudahan navigasi mesin pencari di Internet dan keberagaman konten media. Tujuannya memudahkan audiens mencari informasi terpenting tentang suatu topik. Bisa jadi itulah format media masa depan ketika publik kian cerdas memilah informasi.
Wahyu Dhyatmika
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo