Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BISNIS tinju profesional Indonesia tak lagi memukau. Kualitas petinju yang buruk dan lemahnya proteksi terhadap investor menjadi penyebab orang menjauh dari bisnis adu jotos ini. Hanya orang gila tinju yang masih berani menaruh uangnya untuk menggelar pertarungan. Itu dengan risiko duit tak kembali.
Ketika tinju profesional Indonesia masih layak tonton pada 1990-an dan awal 2000-an, stasiun televisi berlomba menyiarkan pertarungan. Indosiar, RCTI, dan TVRI setiap minggu rajin menayangkan perebutan gelar juara nasional dan perbaikan peringkat. Rating siaran cukup bagus, tak kalah dari sinetron. Sponsor pun berdatangan.
Kini kondisinya tak sama. Orang tak lagi menonton tinju, baik melalui televisi maupun datang langsung ke arena, meski semua itu gratis. Sponsor menarik diri. Stasiun televisi mengambil langkah mundur dan menghentikan tayangan tinju profesional, kecuali TVRI. Seluruh dana kegiatan TVRI, sebagai televisi pelat merah, berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara—termasuk pergelaran tinju profesional.
Menurut Edi Rukbi, Manajer Siaran Olahraga TVRI, setiap pekan TVRI mengeluarkan Rp 60 juta untuk menayangkan Gelar Tinju Profesional, termasuk buat membayar petinju dan promotor. Juara nasional dibayar Rp 4 juta, sementara penantangnya Rp 3 juta. Untuk partai tambahan, bayarannya rata-rata Rp 2 juta. Ditilik dari sisi bisnis, Edi mengakui hingga sekarang belum ada sponsor yang beriklan di acara itu.
Ketua Asosiasi Tinju Indonesia Manahan Situmorang melihat bisnis tinju sangat dipengaruhi kualitas petinju yang tersedia. Kalau kualitas petinju bagus, pertandingan akan bermutu dan enak ditonton. Sponsor dengan sendirinya akan masuk dan peredaran uang tinggi.
"Tapi, kalau kualitas petinju yang ada masih buruk seperti sekarang, jangan berharap ada sponsor masuk dan bisnis tinju semarak lagi," ucap Manahan. "Ini seperti hukum ekonomi, ada penawaran ada permintaan. Kalau yang ditawarkan bagus, yang minta pasti banyak."
Rendahnya kualitas stok petinju profesional saat ini, menurut Manahan, dipengaruhi buruknya prestasi tinju amatir Indonesia. Sebab, tinju profesional berada dalam satu mata rantai dengan tinju amatir. "Kita dulu punya dua juara dunia IBF (International Boxing Federation), Ellyas Pical dan Nico Thomas. Mereka adalah juara nasional di ring tinju amatir," katanya.
Sedangkan Ketua Umum Komisi Tinju Indonesia Anthon Sihombing menilai ada salah kaprah dalam pengaturan tinju profesional Indonesia. "Coba perhatikan, saat ini ada empat badan tinju di Indonesia, sedangkan petinju yang layak dipertandingkan tak seberapa. Akibatnya, petinju yang naik yang itu-itu saja dan ini membuat penonton bosan," ujarnya.
Tokoh tinju profesional Indonesia yang juga Bendahara World Boxing Council (WBC) sekaligus Perwakilan WBC di Indonesia, Chandru D. Lalwani, menyatakan, kalau dikelola dengan baik, semestinya bisnis tinju bisa menguntungkan. Menurut dia, petinju Indonesia sudah terbukti mampu menjadi juara dunia dan ini modal yang sangat bagus.
"Ellyas Pical, Nico Thomas, Muhamad Rahman, dan yang terakhir Chris John adalah bukti nyata. Mereka juara dunia. Ini fakta yang tidak dapat dibantah. Kita punya penduduk 240 juta dan ini merupakan sumber daya yang luar biasa. Kalau di Amerika bisnis tinju dapat menghasilkan puluhan juta dolar, kenapa di Indonesia tidak?" kata Chandru bersemangat.
Untuk menciptakan bisnis tinju yang baik, diperlukan komitmen tinggi, disiplin, aturan yang jelas dan tegas, serta proteksi bagi semua orang yang berinvestasi, seperti di Amerika. Chandru memberi contoh, di WBC, aturannya sangat mendetail dan jelas: soal kontrak pertarungan, perwasitan, keselamatan petinju, dan semua hal yang terkait dengan bisnis tinju pro di bawah naungan WBC.
Selain itu, komisi olahraga negara-negara bagian di Amerika memiliki aturan yang sama ketat dan tegas. Pejabat yang duduk di komisi olahraga memiliki sikap yang tegas dan disiplin tinggi dalam mengawasi pelaksanaan olahraga profesional setempat.
"Perlu Anda tahu, semua pengurus di WBC, dari presiden sampai yang terbawah, tidak digaji. Semua bekerja dengan dedikasi sangat tinggi. Fee yang dipungut dari promotor pertandingan dikembalikan dalam bentuk pelayanan," ujar Chandru.
Di Indonesia, sejauh ini, belum ada aturan yang rinci dan jelas untuk semua aspek tinju profesional. Hal itulah yang kerap membuka peluang terjadinya perselisihan dalam bisnis tinju profesional di Indonesia. "Maka muncul kesan tidak ada penegakan aturan dan proteksi dalam bisnis tinju profesional di Indonesia," kata Chandru.
Agus Baharudin
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo