PADANG pasir bukan hanya terhampar di Jazirah Arab atau Afrika. Dalam ukuran sedikit lebih kecil, ada Gurun Pasir Nevada di Amerika Serikat dan Gurun Takla Makan di daerah otonom Uygur, Xinjiang, Republik Rakyat Cina (RRC). Gurun yang disebut terakhir ini tercipta sedikit demi sedikit selama 1.000 tahun. Jauh sebelum itu, di kawasan ini berdiri Kota Loulan. Sejarah kemudian bersaksi bahwa alam yang perkasa telah "menerkam" Loulan tanpa ampun. Hal yang sama hampir menimpa Yulin, sebuah kota di Provinsi Shaanxi. Pada tahun 1949, kota ini hampir terkubur dihantam bukit-bukit pasir yang berguguran. Yang malang ternyata Kota Tongwan. Lima abad yang lalu, kota ini merupakan Ibu Kota Kerajaan Xia Yang Agung. Kini tinggal lautan pasir. Bagi pemerintah Cina, Tongwan melambangkan ketakberdayaan manusia menghadapi ekspansi gurun. Setidaknya, itulah yang dipaparkan dalam majalah Beijing Review, Januari 1992. Menyadari hal itu, Beijing bertekad melawan gurun. Di negeri ini terdapat 1,5 juta ha hanhai (laut kering) atau shamo (gurun pasir), yang meliputi hampir 16% dari total wilayah negara itu. Letaknya di Cina belahan utara, timur laut, dan barat laut. Rangkaian gurun tersebut dinamai Gurun Gobi. Tiga kawasan utara yang berpasir itu dikenal dengan sebutan "Tiga Utara". Dalam satu proses panjang, gurun itu beringsut maju seluas 2.100 km2 per tahun. Angin kencang dan badai pasir, yang menyerbu selama 30-70 hari tiap tahun, mengancam 13 juta ha lahan pertanian. Sementara, 100 juta ha padang rumput diintai longsoran bukit pasir. Pada tahun 1949 saja, pasir menelan 400 desa dan 130 ribu ha lahan pertanian di kawasan Tiga Utara. Pemerintah Cina lalu mempersiapkan langkah-langkah pencegahan. Lebih dari 1.000 ilmuwan dari 7 institut dan 10 perguruan tinggi dikerahkan untuk mengadakan penelitian dan percobaan. Mereka disebar dari Sungai Xiliao di timur hingga Gurun Takla Makan di barat. Hasil percobaan itu ternyata memuaskan. Pada tahun 1978, pemerintah Cina menggelar proyek ekologi terbesar di dunia yang disebut "Tembok Besar" -- meminjam nama dinding kuno yang dibangun kaisar-kaisar Cina. Tembok Besar yang asli lebih merupakan benteng menangkal serbuan tentara Tartar (Mongol), "Tembok Besar" yang baru berfungsi menangkis butir-butir pasir. Kendati tembok, ia terbuat dari jajaran pohon yang rapat ditanam sepanjang tepi gurun. Daun, ranting, dan cabang pohon yang hijau dan bertautan cukup ampuh berfungsi bagaikan sabuk pelindung yang menghambat angin kering dan badai pasir. Proyek "Tembok Besar" itu meliputi wilayah 4 juta km2, meliputi 551 kabupaten di kawasan Tiga Utara. Milyaran yuan dikucurkan untuk itu. Selain menghambat laju perluasan gurun, proyek ini sekaligus merupakan sumber penghasilan. Di Yulin, misalnya, penduduk menanam gandum atau padi, yang ternyata mampu menahan banjir pasir. Semak belukar dan beberapa jenis pohon dapat mencegah longsor di lerenglereng bukit pasir. Suplai air ke kawasan gurun itu dapat diatasi dengan membuat saluran irigasi langsung dari sungai atau disedot dari dalam bumi. Ribuan pompa mesin disediakan. Untuk Yulin, air disalurkan dari Sungai Kuning dan Sungai Wuding langsung ke jantung gurun. Kini Yulin mampu menciptakan 30.000 ha lahan pertanian baru, yang menghasilkan 4,5 ton gandum dan 7,5 ton gabah per ha. Sekitar 720.000 ha pepohonan sudah ditanam membentuk sabuk pelindung sepanjang 1.500 km. Setidaknya, 200.000 ha lahan pertanian kini aman. Sukses serupa juga terlihat di Provinsi Gansu, yang memiliki gurun seluas tiga juta ha. Di kawasan itu, kini membentang sabuk hijau sepanjang 1.200 km di atas tanah 114.000 ha. Kira-kira 1.400 kampung, yang dulunya dihantui badai pasir, sekarang dapat tidur tenang. Sementara itu, 28.000 ha padang pasir berubah menjadi lahan produktif yang tiap tahun menghasilkan 400 juta kilogram sayur dan 42 juta kilogram buah-buahan. Melihat keberhasilan itu, pemerintah Cina kian bersemangat. "Sampai tahun 2000 nanti, pemerintah Cina ingin menghijaukan 22 juta ha gurun," ujar Zhang Wenming, Direktur Biro Pembangunan Sabuk Hijau Tiga Utara. Yang sudah hijau 10 juta ha. Adapun 1,3 juta ha disulap menjadi ladang gandum. Penghijauan ini juga membawa dampak yang baik terhadap iklim. Data meteorologi menunjukkan bahwa kecepatan angin gurun diperlemah hingga 33 persen. Frekuensi badai pun dapat dikurangi dari 70 hari menjadi 30 hari per tahun. Lain di Cina, lain pula di Afrika. Gurun Sahara di belahan utara Afrika merayap sejauh 7 kilometer per tahun. Tanjung Verde, Gambia, Senegal, Mali, Mauritania, Volta Hulu, Nigeria, dan Chad adalah negara-negara yang menderita karena keganasan Sahara. Bencana kekeringan yang ditimbulkannya menewaskan sekitar 150.000 manusia dan jutaan ternak di delapan negara yang disebut kelompok "Sahel" itu. Berbagai usaha penanggulangan ditempuh. Pernah dibentuk sebuah komisi antardelapan negara itu untuk mengontrol kekeringan. Dana bantuan tak putus mengalir dari negara-negara maju. Namun, seperti yang sering terjadi, hanya sebagian kecil bantuan itu yang benar-benar dimanfaatkan untuk proyek penghijauan. Menurut catatan tahun 1984, tiap penduduk memperoleh bantuan US$ 40 per tahun untuk menciptakan swasembada pangan. Tapi, produksi pangan justru merosot hingga 15%. Sahara tetap mengancam, merayap, dan menakutkan. Priyono B. Sumbogo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini