Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Peneliti Ahli Utama Klimatologi dan Perubahan Iklim di Pusat Riset Iklim dan Atmosfer Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Erma Yulihastin, mengutip kajian perubahan iklim Indonesia 2021-2050 oleh BRIN, mengatakan hujan dan kekeringan ekstrem mengalami peningkatan signifikan yang berdampak pada wilayah Sumatra bagian tengah dan selatan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Kekeringan ekstrem di masa mendatang juga berdampak pada wilayah Kalimantan bagian tengah, timur dan selatan, termasuk IKN,” katanya, lewat keterangan tertulis, Kamis 1 Februari 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sedangkan Kalimantan bagian barat diproyeksikan mengalami hari-hari yang lebih basah. Adapun di Pulau Jawa kondisinya sebagian besar wilayah terancam mengalami suhu maksimum yang lebih tinggi. “Suhu minimum yang lebih rendah khususnya untuk pantura Jawa Timur," ujar Erma.
Menurutnya, kajian mengenai indikasi perubahan hujan diurnal menjadi kunci penting untuk memahami pola cuaca ekstrem yang terjadi selama dekade terkini sebagai dampak dari pemanasan global.
Pada dasarnya pola hujan diurnal di Indonesia mengikuti pola umum hujan di darat yang dipengaruhi oleh angin darat-laut dan gelombang gravitasi sehingga fase kejadian hujan adalah sore hari di atas darat dan pagi hari di atas laut.
Namun demikian, kata Erma, terdapat variasi fase hujan diurnal sehingga hujan maksimum di darat terjadi pada dini hari dengan frekuensi yang signifikan untuk wilayah di utara Jawa bagian barat termasuk DKI Jakarta. “Hujan dini hari yang turun dengan intensitas tinggi atau ekstrem telah dibuktikan merupakan penyebab banjir besar di Jakarta pada 2007, 2013, 2014, 2020,” ujarnya.
Dari hasil kajian, karakteristik utama hujan dini hari yang terjadi di utara Jawa bagian barat, yaitu hujan mengalami propagasi yang kuat dari laut menuju darat maupun sebaliknya. Kemudian keacakan dalam hal fase terjadinya hujan pada rentang waktu dinihari antara pukul 01.00–04.00.
Erma mengusulkan agar Indonesia membentuk Komite Cuaca Ekstrem dan kolaborasi yang erat antara BRIN, BMKG, BNPB, BPBD, pemerintah daerah, relawan, dan media dalam sebuah forum bersama atau komite.
Pembentukan itu sebagai bagian dari langkah strategi nasional melakukan mitigasi dan antisipasi dampak cuaca ekstrem yang semakin meluas akibat perubahan iklim. Dia mencontohkan negara-negara federal di Amerika Serikat yang memiliki Komite Khusus Cuaca Esktrem yang beranggotakan ilmuwan, prakirawan, politisi yang merupakan wakil pemerintah pusat dan pemerintah daerah setempat, serta menggandeng media, LSM dan relawan. Komite seperti itu bisa dibuat dalam sebuah program strategis nasional.
Badan cuaca dunia atau World Meteorological Organization (WMO), menurutnya, telah menginisasi Weather-Ready Nation atau Bangsa Siaga Cuaca yang bertujuan memperkuat hilirisasi informasi peringatan dini cuaca ekstrem serta melakukan edukasi secara intensif dan meluas kepada publik. Informasi prediksi cuaca ekstrem harus terus-menerus diperbarui idealnya dua kali dalam sehari seiring dinamika cuaca yang berubah-ubah setiap waktu.
Menurutnya, tantangan terbesar keilmuan meteorologi dan klimatologi adalah menghasilkan model prediksi hujan yang akurat untuk wilayah Indonesia. Terkait Indonesia Emas 2045 dan target menjaga suhu bumi tidak melampaui 1,5 derajat Celcius pada 2050, Indonesia, kata Erma, harus segera menguasai teknologi prediksi cuaca dan iklim untuk memperkuat sistem peringatan dini bencana terkait cuaca ekstrem di Indonesia.
Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.