UNTUK membuku sawah pasang-surut di Kalimantan dan Sumatera guna
menampung para transmigran dari Jawa dan Bali, Repelita III
menetapkan ancang-ancang -- 400 ribu Ha -- yang jauh lebih baik
hati. Dalam Repelita II dipasangnya target 1 juta Ha tapi hanya
tercapai kurang dari 25%. Namun dapatkah sasaran Repelita III
itu tercapai? Apa permasalahannya, terutama dari sudut ekologis,
maupun sosial? Suatu simposium nasional membahasnya pekan ini di
Palembang Sebelumnya, wartawan TEMPO G.Y. Adicondro meninjau
daerah persawahan pasang-surut di Kalimantan Selatan dan Tengah,
khususnya proyek Barambai di tepi sungai Barito, 45 km sebelah
utara Banjarmasin. Laporannya:
BILA terbang dari Banjarmasin ke Palangkaraya, anda akan
melihat daerah persawahan pasang surut itu indah dan rapi. Di
kiri kanan Anjir Basarang yang menghubungkan Kuala Kapuas dan
sungai Kahayan, banyak kapling hijau-basah berbaris sejajar satu
dengan yang lain. Namun tim peneliti dari Fakultas Teknik
Universitas Stuttgart di Jerman Barat pernah 3 tahun lalu
melihat dengan heran bahwa masih banyak 'kotak hijau' yang belum
terisi. Atau, sudah ditinggalkan oleh transmigran yang dulu
menghuni dan menggarap kapling @ 2 Ha itu.
Sebabnya, seperti diungkapkan seorang drop-out Basarang, lebih
menyangkut tata-letaknya. Rumah, pekarangan dan sawah --
semuanya terletak dalam satu bidang tanah. Maka tanaman keras
seperti kelapa dan nangka pun ditanam secara tumpangsari dengan
padinya. Akibatnya, tutur Sumanto, petani eks-Basarang yang kini
pindah ke Barambai: "Tanaman keras memang berhasil baik, tapi
padi gagal berbuah karena terlalu rimbun." Kerugian lainnya:
Banyak anjing, kucing, ayam dan kambing mati atau sakit-sakitan
kena racun hama yang disemprotkan ke tanaman padi. Bahkan air
sumurnya pun 'ketularan' endrin yang hariyut terbawa air sawah,
atau merembes ke dalam tanah.
"Garpu" Air
Di samping itu, saluran-saluran yang kurang dalam serta tanah
gambut yang rada tebal menyebabkan kawasan pasang-surut Basarang
meleset. Direncanakan supaya menjadi lumbung beras, nyatanya ia
lebih menonjol sebagai gudang kelapa. Tapi hasil tanaman keras
pun di situ tak dapat dipetik tiap tahun. Sementara panen padi
hasilnya terlalu sedikit. Sehingga, seperti dituturkan oleh
seorang bekas Tenaga Kerja Sukarela (TKS) BUTSI: "Setiap habis
panen, para transmigran selalu pergi merantau cari kerjaan. Yang
perempuan jadi babu, sedang yang pria jadi kuli di kota. Bahkan
ada yang mencari nafkah sebagai buruh tambang batu Tangkiling di
luar kota Palangkaraya."
Berbagai kesalahan perencanaan itu telah dicoba memperbaikinya
di Barambai. Di sana kampung dan sawah dibikin terpisah jauh,
walaupun sama-sama diairi oleh air S. Barito lewat sistim
irigasi garpu rancangan Gajah Mada. Dikeruklah sebuah saluran
primer sepanjang 3-4 Km. Kanal ini kemudian bercabang dua,
menjadi saluran sekunder yang pada gilirannya mengaliri sawah
dan kebun para transmigran melalui handil (saluran tertier) yang
digali oleh para transmigran sendiri.
Dari tangkai sampai ke ujung "garpu air" itu panjangnya ada 20
km. Daerah seluas itu terbagi menjadi tiga kampung transmigran.
Tanah di ketiga sub-lokasi itu berbeda sifatnya. Di Muara,
umpamanya banyak tanah liatnya. Dua tahun pertama agak sukar
dikerjakan, karena airnya masam. Tapi setelah tercuci oleh
pasang-surut sungai Barito, tanah itu seniakin subur. Baik padi
maupun kelapa hijau royo-royo di sana.
Di dua kampung lainnya -- Kolam Kiri dan Kolam Kanan, tanah
gambutnya tebal. Pada waktu proyek Barambai baru dibuka,
keduanya justru lebih subur daripada di Muara. Akibatnya, kedua
kampung yang letaknya lebih ke dalam itu lebih banyak menarik
transmigran. Kolam Kiri, misalnya, kini tercatat dihuni sekitar
400 keluarga. Di Kolam Kanan ada 300, sementara di Muara hanya
118 keluarga.
Tapi ketika produksi padi dan kelapa di Muara semakin tinggi, di
Kolam Kiri setelah 4-5 tahun justru anjlog. Tanah gambut di situ
memadat dan mengering berbutir-butir seperti pasir. Sehingga
hanya palawija yang masih dapat bertahan di sana. Apa sebabnya?
"Pengerukan kanal Kolam Kiri dulu kurang dalam. Malah jauh lebih
dangkal daripada kanal Kolam Kanan," ulas Sumanto.
Pasang-surutnya Barito semakin cepat mendangkalkan kanal itu.
Begitu kanal mulai dangkal, pencucian tanah gambut oleh air
sungai berjalan kurang sempurna. Inilah yang menyebabkan tanah
gambut tadi memadat, dan mengering seperti pasir.
Sistim irigasi pasang-surut itu terbukti meminta biaya investasi
yang cukup besar, sedang perawatannya pun mahal. Kanal-kanal
yang mendangkal harus dikeruk. Kecepatan pendangkalannya
tergantung pada kecepatan perusakan lingkungan di hulu Barito.
Bila hutan makin gundul, makin banyak lumpur akan hanyut karena
erosi. Belum lagi dahan, ranting dan ilung (eceng gondok yang
Ikut hanyut dan mempercepat pengendapan lumpur di kanal-kanal.
Dengan kata lain, nasib para petani padi di daerah persawahan
pasang-surut, tergantung pada kemurahan hati para penebang
hutang di hulu dan P.U. yang berfungsi sebagai induk semang
proyek irigasi tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini