Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Kalau Rusak Di Hulu Barito

Persawahan pasang surut di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah, khususnya proyek barambai di tepi sungai Barito. Kesalahan perencanaan telah dicoba diperbaiki. (ling)

10 Februari 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

UNTUK membuku sawah pasang-surut di Kalimantan dan Sumatera guna menampung para transmigran dari Jawa dan Bali, Repelita III menetapkan ancang-ancang -- 400 ribu Ha -- yang jauh lebih baik hati. Dalam Repelita II dipasangnya target 1 juta Ha tapi hanya tercapai kurang dari 25%. Namun dapatkah sasaran Repelita III itu tercapai? Apa permasalahannya, terutama dari sudut ekologis, maupun sosial? Suatu simposium nasional membahasnya pekan ini di Palembang Sebelumnya, wartawan TEMPO G.Y. Adicondro meninjau daerah persawahan pasang-surut di Kalimantan Selatan dan Tengah, khususnya proyek Barambai di tepi sungai Barito, 45 km sebelah utara Banjarmasin. Laporannya: BILA terbang dari Banjarmasin ke Palangkaraya, anda akan melihat daerah persawahan pasang surut itu indah dan rapi. Di kiri kanan Anjir Basarang yang menghubungkan Kuala Kapuas dan sungai Kahayan, banyak kapling hijau-basah berbaris sejajar satu dengan yang lain. Namun tim peneliti dari Fakultas Teknik Universitas Stuttgart di Jerman Barat pernah 3 tahun lalu melihat dengan heran bahwa masih banyak 'kotak hijau' yang belum terisi. Atau, sudah ditinggalkan oleh transmigran yang dulu menghuni dan menggarap kapling @ 2 Ha itu. Sebabnya, seperti diungkapkan seorang drop-out Basarang, lebih menyangkut tata-letaknya. Rumah, pekarangan dan sawah -- semuanya terletak dalam satu bidang tanah. Maka tanaman keras seperti kelapa dan nangka pun ditanam secara tumpangsari dengan padinya. Akibatnya, tutur Sumanto, petani eks-Basarang yang kini pindah ke Barambai: "Tanaman keras memang berhasil baik, tapi padi gagal berbuah karena terlalu rimbun." Kerugian lainnya: Banyak anjing, kucing, ayam dan kambing mati atau sakit-sakitan kena racun hama yang disemprotkan ke tanaman padi. Bahkan air sumurnya pun 'ketularan' endrin yang hariyut terbawa air sawah, atau merembes ke dalam tanah. "Garpu" Air Di samping itu, saluran-saluran yang kurang dalam serta tanah gambut yang rada tebal menyebabkan kawasan pasang-surut Basarang meleset. Direncanakan supaya menjadi lumbung beras, nyatanya ia lebih menonjol sebagai gudang kelapa. Tapi hasil tanaman keras pun di situ tak dapat dipetik tiap tahun. Sementara panen padi hasilnya terlalu sedikit. Sehingga, seperti dituturkan oleh seorang bekas Tenaga Kerja Sukarela (TKS) BUTSI: "Setiap habis panen, para transmigran selalu pergi merantau cari kerjaan. Yang perempuan jadi babu, sedang yang pria jadi kuli di kota. Bahkan ada yang mencari nafkah sebagai buruh tambang batu Tangkiling di luar kota Palangkaraya." Berbagai kesalahan perencanaan itu telah dicoba memperbaikinya di Barambai. Di sana kampung dan sawah dibikin terpisah jauh, walaupun sama-sama diairi oleh air S. Barito lewat sistim irigasi garpu rancangan Gajah Mada. Dikeruklah sebuah saluran primer sepanjang 3-4 Km. Kanal ini kemudian bercabang dua, menjadi saluran sekunder yang pada gilirannya mengaliri sawah dan kebun para transmigran melalui handil (saluran tertier) yang digali oleh para transmigran sendiri. Dari tangkai sampai ke ujung "garpu air" itu panjangnya ada 20 km. Daerah seluas itu terbagi menjadi tiga kampung transmigran. Tanah di ketiga sub-lokasi itu berbeda sifatnya. Di Muara, umpamanya banyak tanah liatnya. Dua tahun pertama agak sukar dikerjakan, karena airnya masam. Tapi setelah tercuci oleh pasang-surut sungai Barito, tanah itu seniakin subur. Baik padi maupun kelapa hijau royo-royo di sana. Di dua kampung lainnya -- Kolam Kiri dan Kolam Kanan, tanah gambutnya tebal. Pada waktu proyek Barambai baru dibuka, keduanya justru lebih subur daripada di Muara. Akibatnya, kedua kampung yang letaknya lebih ke dalam itu lebih banyak menarik transmigran. Kolam Kiri, misalnya, kini tercatat dihuni sekitar 400 keluarga. Di Kolam Kanan ada 300, sementara di Muara hanya 118 keluarga. Tapi ketika produksi padi dan kelapa di Muara semakin tinggi, di Kolam Kiri setelah 4-5 tahun justru anjlog. Tanah gambut di situ memadat dan mengering berbutir-butir seperti pasir. Sehingga hanya palawija yang masih dapat bertahan di sana. Apa sebabnya? "Pengerukan kanal Kolam Kiri dulu kurang dalam. Malah jauh lebih dangkal daripada kanal Kolam Kanan," ulas Sumanto. Pasang-surutnya Barito semakin cepat mendangkalkan kanal itu. Begitu kanal mulai dangkal, pencucian tanah gambut oleh air sungai berjalan kurang sempurna. Inilah yang menyebabkan tanah gambut tadi memadat, dan mengering seperti pasir. Sistim irigasi pasang-surut itu terbukti meminta biaya investasi yang cukup besar, sedang perawatannya pun mahal. Kanal-kanal yang mendangkal harus dikeruk. Kecepatan pendangkalannya tergantung pada kecepatan perusakan lingkungan di hulu Barito. Bila hutan makin gundul, makin banyak lumpur akan hanyut karena erosi. Belum lagi dahan, ranting dan ilung (eceng gondok yang Ikut hanyut dan mempercepat pengendapan lumpur di kanal-kanal. Dengan kata lain, nasib para petani padi di daerah persawahan pasang-surut, tergantung pada kemurahan hati para penebang hutang di hulu dan P.U. yang berfungsi sebagai induk semang proyek irigasi tersebut.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus