Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Kisah Orang-orang Malang

Penipuan terhadap calon tenaga kerja yang melamar pada PT. Multi Jasa Nusantara untuk dikirim ke Timur Tengah oleh seorang calo yang bernama Yohn GWP. (krim)

10 Februari 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MASIH ada saja cerita tentang pencari kerja yang tertipu mentah-mentah oleh yang namanya calo. Kepolisian Malang, Jawa Timur telah menahan seorang bernama Yohn GWP, setelah disergap oleh para korbannya sendiri. Ceritanya seperti dituturkan salah seorang korban bernama Suharto, begini. Dari kabar 'angin' didengar ada perusahaan yang membutuhkan tenaga kerja secara massal. Suharto membawa 17 orang teman sedesa Kepanjen, Malang, menuju Jakarta. Di sini alamatnya jelas dan sudah dikenal kalangan pencari kerja: PT Multi Jasa Nusantara, Jalan Bulutangkis 299, Senayan yang giat mencari tenaga kerja untuk dikirim ke Timur Tengah. Dengan mengepit map, berisi segala macam surat yang biasa disyaratkan bagi pencari kerja, Suharto dkk ikut antri untuk memperoleh sekedar formulir pendaftaran saja. "Ketika saya datang antriannya sudah panjang sekali," tutur Harto. Pada saat itulah muncul Yohn GWP. Lagaknya seperti 'orang dalam' yang menentukan nasib para pelamar. Sertamerta sebagian orang meninggalkan antriannya dan mengerubuti Yohn. Di situ juga Yohn, 36 tahun, dengan leluasa membagikan formulir sambil mengutip 'uang administrasi' Rp 2500 per lembar. Daripada capai-capai antri -- belum tentu juga kebagian -- pencari kerja yang datang dari luar kota lebih senang berhubungan dengan Yohn, dengan membayar uang admlnistrasi untuk formulir gratis itu. Begitu pula anak-anak muda dari Malang. Apalagi kemudian Yohn meniupkan angin surga: "Teman-teman dari Malang ke sini. Akan saya prioritaskan." Dia memang mengaku orang Malang juga. Tawaran menarik ini membuat Harto dan ke 17 kawannya menarik diri dari antrian. Tidak usah bayar penuh: dari uang yang dikumpulkan, Rp 30 ribu, Harto cs mendapat masing-masing selembar formulir. Kecap Ditambah lagi janji manis mereka pasti dikirim ke Timur Tengah. Sebab katanya, Yohn sendiri yang bertugas menginterpiu para pelamar. Tes yang lain juga dapat diatur. Gaji di sana berapa? Bukan main sejam lebih dari Rp 3.500 -- belum termasuk uang lembur satu setengah kali gaji biasa! Untuk lebih meyakinkan posisinya kepada para pelamar, Yohn menunjuk sebuah mobil mercy hitam, yang diparkir di halaman kantor. "Itu mobil saya," katanya kepada para pelamar. "Tapi saya berikan teman karena .... rumah saya di gang -- tak dapat masuk mobil." Yakin akan kecap yang dibawakan Yohn, tanpa ragu-ragu lagi, minggu berikutnya Harto menggiring 40 orang Desa Kepanjen ke Jakarta. Tapi Yohn jual mahal "Formulir habis!" katanya. Tapi, begitu dia berjanji, minggu depan pasti sudah dapat diambil lagi. Seminggu kemudian, 17 Desember, Harto jauh-jauh dari Malang ke Senayan, Jakarta, sambil membawa pelamar baru 37 orang. Semuanya memperoleh formulir termasuk untuk 40 orang yang dibawa Harto minggu sebelumnya. Hari itu Yohn menerima uang formulir dari Harto Rp 170 ribu. Yohn masih mempertunjukkan kebaikan hatinya: untuk teman di Malang, katanya, Harto boleh membawa 24 lembar formulir -- jadi ztak usah jauh-jauh berbondong-bondong ke Jakarta. Dalam dua hari saja ke 24 formulir yang dibawa Harto habis. Bahkan masih diperlukan lebih banyak lagi untuk melayani peminat yang ternyata membanjir. 'Untung', tak disangka-sangka, Yohn muncul di Malang membawa 60 lembar formulir baru. Untuk menghargai kebaikan Yohn, yang dianggap membantu anak-anak Malang, Elarto melakukan penyambutan yang baik. Sebuah mobil kolt dicarter untuk keperluan Yohn selama di Malang. Sebuah kamar di Hotel Garuda disiapkan, lengkap dengan 'isinya', cewek, untuk menyambut tamu dari Jakarta ini. Biaya untuk semuanya itu diambilkan dari uang penjualan formulir "ditambah uang saya sendiri dan Asory," kata Harto. Akhir Desember Yohn muncul lagi di Malang. Kali ini, bersama "boss" yang diperkenalkannya sebagai "Oom Yan", katanya hendak berlibur ke Bali. Untuk itu perlu uang Rp 200 ribu. Dari penjualan formulir Harto tak repot-repot memenuhi permintaan Yohn. Apalagi Yohn kembali mengumbar janji: "Pokoknya yang tidak punya penyakit TBC pasti diterima . . . " Dan pelamar akan tes Januari di muka. Belum lagi sampai pada hari testing yang ditentukan, mendadak, Harto mendapat interlokal Yohn dari Surabaya. Dia harus menyiapkan 'uang pemberangkatan' untuk 37 pelamar masing-masing Rp 50 ribu. Harto berangkat ke Surabaya. Sementara puluhan dari 169 teman-teman menunggu di Kepanjen. Pada mereka sudah tumbuh kecurigaan: belum tes belum apa sudah ditarik uang Rp 50 ribu lagi? Tapi bagaimana membuktikan ketidakbenaran Yohn GWP ini? Sepulang dari Surabaya, setelah bertemu Yohn di Jalan Tanjung Pinang, Harto diutus teman-temannya ke Jakarta. Untuk mencek kepada PT Multi Jasa Nusantara: siapa gerangan Yohn GWP itu? Benar saja. Perusahaan yang dihubungi Harto tak tahu menahu kegiatan Yohn -- apalagi yang menyangkut uang pemberangkatan segala. Soalnya jadi jelas: Harto dkk telah tertipu. Sambil memupus impian untuk kerja di Timur Tengah, dalam pertemuan di antara mereka, Harto dan kawan-kawan merundingkan taktik untuk menjebak orang yang menipu mereka. Bersama tujuh orang temannya Harto mulai memburu ke Surabaya. Di rumah saudaranya, di Jalan Tanjung Pinang, tidak ada. Di Hotel Ramayana katanya tempat dia biasa menginap, juga tak ada. Bahkan Harto sampai mengubak-ubak tempat pelacuran di Bangunrejo -- juga tak nampak hidung si Yohn. Terus dikejar ke Lawang. Di sana memang ada isteri pertama buronan mereka. Juga kosong. Untung Harto dan teman-temannya tak segera meninggalkan Lawang. Mereka bertahan di sana sambil duduk-duduk di pinggir jalan tak jauh dari rumah isteri Yohn. Tak sia-sia. Tak begitu lama muncullah orang yang mereka cari. Tetap keren mengendarai mobil Corolla. Instruksi Harto berhasil menutupi maksud yang sebenarnya. Dia membujuk agar Yohn ke Kepanjen. Di sana, rayunya, telah menunggu semua pelamar dan siap menyampaikan sendiri uang pemberangkatan masing-masing Rp 50 ribu kepadanya. Yohn terbujuk. Di rumah Harto, di Kepanjen, memang sudah penuh orang. Yohn tak menaruh kecurigaan. Juga tak menyangka yang bukan-bukan ketika Harto pamit ke luar sebentar. Dan tengah hari itulah, 1 Januari, Harto muncul kembali bersama beberapa orang polisi. Yohn tak berkutik lagi. Semua tuduhan diakuinya. Begitu Letkol Herry Akhmad, Danres 1022 Malang, menjelaskan kemudian. Hanya, katanya, dalam pemeriksaan Yohn berusaha melibatkan orang lain. Kepada polisi dia menyatakan, "hanya menjalankan instruksi dari Jakarta saja." Siapa di belakangnya? Polisi mencatat pengakuannya: dua orang pimpinan Multi Jasa Nusantara, Rein Pa'at dan Yan Yusuf. Tentu saja kedua orang yang disebut Yohn itu membantah. "Dia tidak pernah jadi pegawai di sini," kata Yan Yusuf. Dia, katanya, tak lebih hanyalah saIah seorang dari calon atau pelamar pekerjaan biasa saja. Hanya, karena setiap hari muncul di kantor, Yohn sering disuruh mengerjakan ini dan itu. Itu saja. Akan halnya formulir-formulir yang jatuh di tangan Yohn dan diperjual belikan kepada pelamar, diakui Yan, memang suatu kecerobohan dari petusahaannya. Apakah Multi Jasa Nusantara hanya cukup berkata tak tahu menahu kegiatan Yohn yang beroperasi di kantornya? Polisi sedang mengusutnya -- lemari-lemari di kantor itu telah disegel.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus