BIR -- halal atau haram? Jenis minuman yang tak dapat
digolongkan soft drink ini, sejak lama dijual bebas. Bahkan juga
di beberapa warung minum di kampung-kampung. Di tempat-tempat
pelacuran, malah merupakan 'pelengkap '.
lapi lantaran bir pula, sering terjadi keributan di
tempat-tempat seperti itu, gara-gara orang jadi mabuk. Maka awal
Desember tahun lalu, ada larangan penjualan bir di kompleks WTS
di Jakarta.
Yang terkena bukan hanya para pemabuk, tapi terutama produsen
bir. Sebulan setelah larangan tersebut, Asrul Arbi, Kepala
Bagian Promosi PT Delta yang memproduksi bir merek Anker dan
Skol menyatakan, larangan tersebut sudah dicabut.
Sampai di situ ia aman. Tapi ketika ia nenyebut adanya
ketentuan Departenen Agama yang menyatakan "bir bulan
merupakan minuman keras," Asrul Arbi memasuki wilayah rawan.
Tiga minggu sesudah itu, lewat Biro Hukum dan Humasnya,
Departemen Agama menjawab: "hukum bir tetap haram meskipun tidak
sampai memabukkan." Ditegaskan, Departemen Agama "tidak pernah
mengeluarkan suatu ketentuan yang menyatakan seolah-olah minum
bir halal hukumnya."
Dari mana Asrul Arbi mendasarkan keterangannya? Ia enggan
menjawab ketika wartawan TEMPO Widi Yarmanto pekan lalu
menemuinya. Tapi dalam buku kecil Penjelasan Tentang Hukum Bier
terbitan Biro Humas dan Hubungan Luar Negeri Departemen Agama
(1969) memang tidak menyebutkan bahwa bir haram.
Disusun oleh Prof. K.H. Ibrahim Hosen, Kepala Biro Humas
Departemen Agama waktu itu, buku itu diterbitkan setelah
timbul reaksi dari Umat Islam atas keterangan Menteri Agama
waktu itu, K.H.M. Dachlan, bahwa "bir itu termasuk masalah
khilafiah dan boleh saja bagi yang suka." Dalam hukum Islam,
khilafiah berarti "masih diperselisihkan."
Buku itu antara lain menyebutkan:
Bir dianggap minuman yang memabukkan tapi tidak termasuk khomar
(minuman keras). Karena itu masuk kategori khilafiah.
Biro Humas Departemen Agama waktu itu juga menyiarkan
keterangan direktur sebuah perusahaan bir di Jakarta: "bir
ialah minuman yang dibuat bukan dari perasan anggur dan
meminumnya pada kadar yang wajar adalah untuk menambah vitamin
dan menyegarkan tubuh."
Keputusan Syuriah Partai N.U. 1930 di Pekalongan menyebutkan
bahwa bir adalah minuman biasa.
Tapi pekan lalu sumber Departemen Agama menyatakan, buku kecil
tersebut ditulis atas nama pribadi. Karena itu siaran pers
Departemen Agama yang terakhir menyatakan bir haram. Dan itulah
yang disayangkan oleh Eddy Yusuf, Ketua Asosiasi Minuman yang
juga humas perusahaan bir Bintang. Sebab katanya, kadar alkohol
dalam bir hanya 4% saja.
"Mengapa tape atau brem yang masing-masing mengandung 6% dan 10%
alkohol tidak dinyatakan haram?" ucap Eddy Yusuf. Mengaku bahwa
minum bir terlalu banyak bisa memabukkan, ia toh masih melihat
manfaat minuman tersebut. "Untuk menghangatkan badan,
melancarkan air kencing," katanya lagi. Apa pun alasannya,
ramai-ramai kecil ini telah mendorong Komisi Fatwa Terbatas
Majelis Ulama 2 Pebruari lalu bersidang.
Dan sidang yang pertama kali tentang hukum bir itu sepakat
memutuskan: haram. Menurut Sekretaris Majelis Ulama Aminuddin
Siregar hal itu sesuai ayat 219 surall Al Baqarah dan ayat 90-91
surah Almaidah yang mengidentikkan bir dengan minuman keras.
Disebutnya pula Hadits Nabi: "Akan datang.suatu masa, minuman
keras disebut dengan nama-nama lain. Maka kalau minum banyak
memabukkan, minum sedikit juga haram."
Subhat
"Sejak dulu saya belum pernah mendengar bir itu halal. Minimal,
ada ulama yang mungkin menganggapnya sebagai subhat alias
meragukan. Bagi saya subhat itu malah terlalu tinggi," kata
Aminuddin lagi. Tapi kalau minum bir untuk obat, menurutnya,
hukumnya bisa berubah. Yang semula haram bisa mubah alias boleh.
Beberapa buku yang ditulis para ulama besar memang menyebut bir
sebagai haram. Misalnya Soal-Jawab Tentang Beberapa Masalah
Agama susunan A. Hasan (CV Diponegoro, Bandung, 1968, cetakan
IV, halaman 293). Begitu pula buku Fatawa (fatwa-fatwa) tulisan
Al-Ustadz Umar Hubeis (Fa Pustaka Progressif, Surabaya, 1978,
cetakan I, halaman 178). Buku ini juga menyebut pendapat bekas
Menteri Agama K.H.M. Dahlan.
Menurut Eddy Yusuf, keputusan Majelis Ulama itu tak akan
mengurangi produksi minuman tersebut. "Seperti rokok, meskipun
dibilang bisa mengakibatkan kanker, nyatanya malah ada pabrik
rokok yang bisa beli helikopter," katanya.
Adapun larangan menjual bir di kompleks pelacuran menurut Eddy
Yusuf memang ada tapi tanpa peraturan pelaksanaan. Itu adalah
larangan secara lisan dari Wakil Gubernur DKI Haji Urip Widodo
ketika Rabu 6 Desember lalu meninjau kompleks pelacuran Kramat
Tunggak Jakarta Utara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini