Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

Sebuah Kabar Tentang Bir

Ketentuan Dep. Agama, bahwa bir tetap haram. Meskipun tidak sampai memabukkan dan tidak pernah mengeluarkan suatu ketentuan yang menyatakan seolah-olah minum bir halal hukumnya. (ag)

10 Februari 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BIR -- halal atau haram? Jenis minuman yang tak dapat digolongkan soft drink ini, sejak lama dijual bebas. Bahkan juga di beberapa warung minum di kampung-kampung. Di tempat-tempat pelacuran, malah merupakan 'pelengkap '. lapi lantaran bir pula, sering terjadi keributan di tempat-tempat seperti itu, gara-gara orang jadi mabuk. Maka awal Desember tahun lalu, ada larangan penjualan bir di kompleks WTS di Jakarta. Yang terkena bukan hanya para pemabuk, tapi terutama produsen bir. Sebulan setelah larangan tersebut, Asrul Arbi, Kepala Bagian Promosi PT Delta yang memproduksi bir merek Anker dan Skol menyatakan, larangan tersebut sudah dicabut. Sampai di situ ia aman. Tapi ketika ia nenyebut adanya ketentuan Departenen Agama yang menyatakan "bir bulan merupakan minuman keras," Asrul Arbi memasuki wilayah rawan. Tiga minggu sesudah itu, lewat Biro Hukum dan Humasnya, Departemen Agama menjawab: "hukum bir tetap haram meskipun tidak sampai memabukkan." Ditegaskan, Departemen Agama "tidak pernah mengeluarkan suatu ketentuan yang menyatakan seolah-olah minum bir halal hukumnya." Dari mana Asrul Arbi mendasarkan keterangannya? Ia enggan menjawab ketika wartawan TEMPO Widi Yarmanto pekan lalu menemuinya. Tapi dalam buku kecil Penjelasan Tentang Hukum Bier terbitan Biro Humas dan Hubungan Luar Negeri Departemen Agama (1969) memang tidak menyebutkan bahwa bir haram. Disusun oleh Prof. K.H. Ibrahim Hosen, Kepala Biro Humas Departemen Agama waktu itu, buku itu diterbitkan setelah timbul reaksi dari Umat Islam atas keterangan Menteri Agama waktu itu, K.H.M. Dachlan, bahwa "bir itu termasuk masalah khilafiah dan boleh saja bagi yang suka." Dalam hukum Islam, khilafiah berarti "masih diperselisihkan." Buku itu antara lain menyebutkan:  Bir dianggap minuman yang memabukkan tapi tidak termasuk khomar (minuman keras). Karena itu masuk kategori khilafiah.  Biro Humas Departemen Agama waktu itu juga menyiarkan keterangan direktur sebuah perusahaan bir di Jakarta: "bir ialah minuman yang dibuat bukan dari perasan anggur dan meminumnya pada kadar yang wajar adalah untuk menambah vitamin dan menyegarkan tubuh."  Keputusan Syuriah Partai N.U. 1930 di Pekalongan menyebutkan bahwa bir adalah minuman biasa. Tapi pekan lalu sumber Departemen Agama menyatakan, buku kecil tersebut ditulis atas nama pribadi. Karena itu siaran pers Departemen Agama yang terakhir menyatakan bir haram. Dan itulah yang disayangkan oleh Eddy Yusuf, Ketua Asosiasi Minuman yang juga humas perusahaan bir Bintang. Sebab katanya, kadar alkohol dalam bir hanya 4% saja. "Mengapa tape atau brem yang masing-masing mengandung 6% dan 10% alkohol tidak dinyatakan haram?" ucap Eddy Yusuf. Mengaku bahwa minum bir terlalu banyak bisa memabukkan, ia toh masih melihat manfaat minuman tersebut. "Untuk menghangatkan badan, melancarkan air kencing," katanya lagi. Apa pun alasannya, ramai-ramai kecil ini telah mendorong Komisi Fatwa Terbatas Majelis Ulama 2 Pebruari lalu bersidang. Dan sidang yang pertama kali tentang hukum bir itu sepakat memutuskan: haram. Menurut Sekretaris Majelis Ulama Aminuddin Siregar hal itu sesuai ayat 219 surall Al Baqarah dan ayat 90-91 surah Almaidah yang mengidentikkan bir dengan minuman keras. Disebutnya pula Hadits Nabi: "Akan datang.suatu masa, minuman keras disebut dengan nama-nama lain. Maka kalau minum banyak memabukkan, minum sedikit juga haram." Subhat "Sejak dulu saya belum pernah mendengar bir itu halal. Minimal, ada ulama yang mungkin menganggapnya sebagai subhat alias meragukan. Bagi saya subhat itu malah terlalu tinggi," kata Aminuddin lagi. Tapi kalau minum bir untuk obat, menurutnya, hukumnya bisa berubah. Yang semula haram bisa mubah alias boleh. Beberapa buku yang ditulis para ulama besar memang menyebut bir sebagai haram. Misalnya Soal-Jawab Tentang Beberapa Masalah Agama susunan A. Hasan (CV Diponegoro, Bandung, 1968, cetakan IV, halaman 293). Begitu pula buku Fatawa (fatwa-fatwa) tulisan Al-Ustadz Umar Hubeis (Fa Pustaka Progressif, Surabaya, 1978, cetakan I, halaman 178). Buku ini juga menyebut pendapat bekas Menteri Agama K.H.M. Dahlan. Menurut Eddy Yusuf, keputusan Majelis Ulama itu tak akan mengurangi produksi minuman tersebut. "Seperti rokok, meskipun dibilang bisa mengakibatkan kanker, nyatanya malah ada pabrik rokok yang bisa beli helikopter," katanya. Adapun larangan menjual bir di kompleks pelacuran menurut Eddy Yusuf memang ada tapi tanpa peraturan pelaksanaan. Itu adalah larangan secara lisan dari Wakil Gubernur DKI Haji Urip Widodo ketika Rabu 6 Desember lalu meninjau kompleks pelacuran Kramat Tunggak Jakarta Utara.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus