Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Sengketa "bapak - "anak"

Pengadilan negeri yogya dalam vonisnya perkara gugat menggugat antara direktur akprind dengan mahasiswa akprind yang dipecat, menolak gugatan dari kedua belah pihak. (hk)

12 Februari 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SOAL gugat-menggugat antara "bapak" dan "anak" di Akademi Perindustrian (Akprind), Yogyakarta, berakhir juga. Pengadilan Megeri Yogya dalam vonis Selasa pekan lalu menolak gugatan 10 mahasiswa Akprind yang dipecat. Hakim Ketua Sof Larosa, sekaligus juga menolak gugatan balik dari empat orang pimpinan Akademi itu yang menandatangani pemecatan pada 2 Februari tahun lalu. "Saya merasa lega," kata Siswono Oetoyo, 49 tahun, yang menjadi Direktur Akprind sejak akademi itu berdiri tahun 1972. Kelegaan itu, katanya, terutama karena majelis hakim tak menjatuhkan denda kepada kesepuluh bekas mahasiswanya itu. Padahal, dalam gugatan balik lewat kuasanya, Eddy S. Sofyan, ia dan ketiga penggugat rekonpensi lain, meminta ganti rugi Rp 605,70 juta. Rp 600 juta di antaranya untuk ganti rugi karena pencemaran nama baik. Tuntutan sebesar itu, rupanya untuk "menandingi" gugatan kesepuluh bekas mahasiswanya sebesar Rp 202,5 juta, karena mereka merasa dirugikan akibat tak dibolehkan lagi mengikuti kuliah. Kesepuluh bekas mahasiswa itu ialah Alfian, Agus Darmansyah, Irfan, Iryanto, Guna Dharma, Sri Widodo, Bambang Haryanto, Ganda Putra, Cecep dan Khairuddin Salim. Perselisihan "bapak" dan "anak" itu bermula ketika mahasiswa tingkat dua dan tiga dari jurusan Statistika, Maintenance, Teknologi dan Management itu meragukan keabsahan ijazah direktur Akprind. Dalam suasana ujian semester, Desember 1981, sebagian mahasiswa bergolak. Poster dan plakat juga selebaran bermunculan. Bunyinya mempertanyakan keabsahan ijazah Siswono. Beberapa mobil milik pimpinan akademi di Jalan Urip Sumohardjo, Yogyakarta, itu dirusak para mahasiswa. Siswono buru-buru memajang tiga ijazahnya Sarjana Muda Teknik Kimia dari Akademi Pembangunan Nasional (APN) "Veteran" 1962, Sarjana Muda Hukum Kewarganegaraan FKIP Universitas Cokroaminoto tahun 1965, dan Sarjana Lengkap dari jurusan yang sama 1967. Kemudian Sub Direktorat II Koordinasi Perguruan Tinggi Agama Swasta, Departemen Agama, mengakui bahwa ijazah sarjana lengkap Siswono sah. (TEMPO, 2 Januari 1982). Tapi tak semua mahasiswa percaya. Keributan masih berlangsung. Pada 2 Februari 1982 ke-10 mahasiswa yang dinilai telah menghasut dan menghina pimpinan Akprind, dipecat. Surat pemecatan ditandatangani Siswono, Subardi Partono (Ketua Yayasan), Harri Sudianto (Wakil Dosen/Asisten Tetap) dan Suwardi (Wakil Karyawan). Atas pemecatan itu, 16 mahasiswa Akprind mengadu ke DPR sembari tetap mempertanyakan keaslian ijazah sarjana lengkap Siswono. Karena, menurut informasi yang mereka peroleh, Departemen Agama belum pernah menyelenggarakan ujian negara untuk fakultas umum maupun keagamaan. Dengan dasar itu pula awal Agustus 1982 mereka mengadu ke Pengadilan Negeri Yogyakarta. Majelis Hakim, dalam putusan pekan lalu menyatakan, "bisa memahami tindakan mahasiswa yang penuh idealisme menanyakan status kesarjanaan Direktur Akprind." Hanya saja, kata majelis tindakan mereka terlalu berlebihan. Poster dan selebaran gelap yang beredar, kata hakim tak lagi murni mempersoalkan ijazah, tapi sudah bernada penghinaan terhadap Siswono. Majelis juga menilai tindakan mereka telah mengganggu proses belajar-mengajar, menimbulkan kegelisahan serta mengganggu keamanan kampus. Sebab itu majelis bisa menerima dan menganggap tepat langkah yang diambil pimpinan akademi. Sebab, kata Hakim Sof Larosa, setelah kesepuluh mahasiswa dipecat, suasana kampus tenang sampai sekarang." MESKI begitu, gugatan balik dari Siswono dan kawan-kawan, tak di kabulkan Alasannya: mahasiswa yang dipecat sudah cukup menderita. Hingga, kepada mereka tak perlu lagi dibebani ganti rugi. Tapi, memang, bukan ganti rugi itu benar yang diharap Siswono. Ia semata menghendaki ketertiban dalam kampus, dan bukannya ingin membalas dendam. "Sebetulnya, saya tak sampai hati melakukan pemecatan tapi kami harus menyelamatkan 3.300 mahasiswa lainnya," katanya. Ia, katanya, tetap ingin membantu bekas mahasiswanya itu, bila mereka berniat melanjutkan ke akademi atau perguruan tinggi lain. Juga sekiranya ada yang berniat mencari pekerjaan, "akan saya beri rekomendasi." Memang, berdasar surat keterangan dari Akprind, beberapa di antara mahasiswa yang dipecat itu ada yang melanjutkan ke perguruan lain. Namun Soemarni Basarudin Marsigit dari LBH Yogya selaku kuasa penggugat tetap merasa ada kejanggalan dalam perkara itu. Kesepuluh mahasiswa, katanya tak terbukti sama sekali turut melakukan aksi di kampus pada akhir Januari 1982. Mereka hanya ikut dalam aksi pertama, Desember 1981. Ia pun menilai tindakan pemecatan tidak tepat, sebab seorang mahasiswa lain bernama Sidik Purnomo, yang dalam sidang mengaku sebagai otak aksi corat-coret, ternyata justru tak dipecat. Maka, Soemarni menyatakan, kemungkinan besar ia akan naik banding ke Pengadilan Tinggi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus