Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Kawasan Wisata Tak Terawat

6 Oktober 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LETAKNYA di persimpangan Jalan Cihampelas, Jalan Ciumbuleuit, dan Tamansari. Dari luar tak tampak seperti kawasan wisata. Di sekitarnya terdapat warung-warung kecil. Di belakang rumah makan yang sudah terbakar itulah kawasan Babakan Siliwangi berada, ruang terbuka hijau yang menuai kontroversi.

Luasnya sekitar 22 ribu meter persegi. Terbentang dari Kebun Binatang Bandung, Kawasan Sabuga Institut Teknologi Bandung, sampai lahan yang selama ini dipakai rumah makan dan galeri seni, juga kantor Kelurahan Lebak Siliwangi. Rumah makan yang disebut Lebak Siliwangi itu terbakar pada 2003. Kini tersisa reruntuhan, tak terawat, dan menjadi hunian liar masyarakat.

Pada malam hari tak ada penerangan yang memadai di kawasan yang rimbun oleh pepohonan itu. Banyak bangunan liar terbuat dari kayu dan plastik didirikan di dalam kawasan hutan Lebak Siliwangi dan sebagai tempat penampungan sampah para pemulung. Di ujung bagian selatan menjadi tempat parkir puluhan mobil milik mahasiswa Institut Teknologi Bandung.

Kawasan yang dilewati Sungai Cikapundung ini banyak ditumbuhi tanaman keras yang sudah tua dan berukuran besar. Pagar yang membatasi kawasan Lebak Siliwangi dengan Jalan Tamansari sudah rusak dan rapuh. Bahkan jalan yang ada di dalam kawasan milik Pemerintah Kota Bandung ini sudah tak terawat dan dibiarkan terbengkalai.

Ketua Sanggar Olah Seni Syarif Hidayat menuturkan kawasan itu dulunya adalah Lebak Gede. Wali Kota Bandung saat itu, Otje Djunjunan, menganggap kawasan ini potensial menjadi tempat wisata. Pada 1972, wali kota mendirikan rumah makan dengan nama Babakan Siliwangi.

Selain menjadi kawasan wisata, dikembangkan seni budaya. Pada 1982, diresmikan Sanggar Olah Seni. Beberapa seniman yang sering mampir di antaranya Popo Iskandar, Barli, dan Tony Yusuf. Di galeri itu, selain seni rupa, dikembangkan pembelajaran seni pertunjukan, seperti teater dan musik.

Pada 2001, penataan dan pengelolaan kawasan ini menjadi kawasan wisata terpadu dicetuskan Wali Kota Bandung saat itu, Aa Tarmana. Di dalamnya akan dibangun apartemen, wahana kawula muda, pusat seni, dan rumah makan.

Kontroversi itu kini kembali mencuat. Masyarakat dan seniman khawatir terhadap terancamnya satu paru-paru kota, sekaligus hilangnya satu wilayah kreativitas yang menjadi media pembelajaran bagi tangan-tangan pencinta seni.

Alwan Ridha Ramdani

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus